Senin, 21 November 2016

Oral History; Agar Historiografi Lebih Manusiawi


”Wat verschijne, wat verdwijne,
’t Hangt niet aan een los geval,
In ’t voorleden, ligt het heden,
In het nu wat worden zal!”
(“Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam,
Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan,
Hari kemarin memangku hari sekarang
Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”)
(Willem Bilderijk)

Pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future.

Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling mengikat, memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan hidup, menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi pembelajar sejarah, demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif atau dengan kata lain, kejadian sejarah mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive).

Pengungkapan sejarah adalah konsekuensi—tugas yang harus dijalankan sejarawan. Mereka tidak sekedar bermain-main dengan data yang ’dikelilingi sangkar’ subjektivitas, tetapi bergelut mencipta kebenaran. Adalah ’dosa’, jika mereka larut dalam kekuasaan, lalu dengan sadar mencipta segudang pembenaran. Semua bisa terjadi, bukankah bagi penguasa sejarah bisa ditemu-ciptakan?

Sejarawan harus berhati-hati. Nurani yang kemudian bicara. Ia harus mengedepankan posisinya: menjadi sejarawan profesional atau istana. Pilihan yang sulit, tetapi harus diambil. Setiap pilihan punya tanggungjawab. Semua terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai muara tulisan. Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut. Laut itu menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin. Sejarawan juga ibarat raja. Apa yang dikatakan, sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak terbantah.

Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih dipusatkan di satu titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan melirik pada data lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid karena mengandung banyak perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat historiografi Indonesia terkesan hanya ’berdiri di menara gading’. Sindiran halus sering terlontar, ”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?”

Sejarah lisan (oral history) atau James Morison menyebutnya penelitian lisan, membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. Sifatnya yang ’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar. Arsip terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta. Tidak demikian dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun konteks, lebih terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah. Setidaknya, memberi tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja tidak disejarahkan. Paul Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat.

Kemana Sejarah Lisan Dibawa?

Asvi Warman Adam mengatakan bahwa data lisan membuka kesempatan bagi terkuaknya ’sejarah korban’. Ia lebih menitikberatkan kajian tahun 1965 dengan fokus korban pembantaian. Apa yang dituliskan Asvi, hanya satu dari beragam wilayah sejarah yang belum tersentuh. Di Indonesia sendiri, proyek penulisan sejarah lisan sudah dimulai sejak tahun 1972 di bawah koordinasi Jose Rizal Chaniago. Penelitian di bawah naungan ANRI ini, berfungsi untuk menutup kekurangan arsip 1942-1950. Fokus penelitian diarahkan pada tokoh-tokoh lokal, sehingga menurut Asvi, proyek ini bisa menjadi embrio sejarah lokal di Indonesia.

Satu hal yang perlu dicermati adalah, apakah sejarah lisan hanya diperuntukan bagi para elit? Lalu berkaitan dengan dimensi temporal, apakah hanya periode krusial tahun 1965, yang kemudian harus mendapatkan perhatian ekstra setelah orde baru tumbang? Mengapa tidak mencoba menengok kembali pada tempo sebelumnya, misalnya tahun 1950-an.

Dalam pentas sejarah Indonesia, periode tahun 1950-an dianggap paling panas. Periode yang dipenuhi perlawanan ini, umumnya menghasilkan perubahan masyarakat. Beragam konflik yang muncul, terutama untuk wilayah di luar pulau Jawa, menunjukan wajah lokal yang buram. Terutama bagi masyarakat bawah yang hanya mengekor— menjadi korban pertama dan utama. Sebuah masa yang penuh pergolakan, tetapi terkadang lepas begitu saja dari bidikan pengarsipan.

Kalaupun dilakukan pengarsipan, hanya menguak pengalaman kaum elit. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi golongan akar rumput? Pada siapa mereka menyuarakan kegelisahan historis yang dirasakan? Seharusnya sejarawan lebih peka melihat situasi zaman. Apabila kesalahan yang sama diulang—hanya elit yang bicara, selamanya sejarah menjadi kaku dan bisu. Tidak ada proses yang manusiawi.

Hendaknya mulai dibangun kesadaran dengan menggali informasi historis dari kalangan bawah, untuk menghasilkan data sejarah yang lebih kaya. Apa yang dikatakan para elit, terkadang sangat jauh berbeda dari apa yang dilihat dan rasakan kalangan bawah. Bumbu-bumbu politik begitu tampak dalam setiap ucapan. Namun kelompok marginal dalam sejarah, apakah mereka punya tendensi? Mereka hanya menghirup arus, menelan zaman, dan meresapkan kejadian sebagai pelajaran hidup yang pahit.

Bila Kaum Marginal Memiliki Sejarah

Kotak pandora bagi kaum marginal mulai terbuka. Suara mereka akan terdengar di antara barisan sejarah. Sejarah lisan sebagai kunci, membuka dengan lebar. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum marginal? Mereka di antaranya adalah ’kaum terjajah’ bernama: buruh, perempuan, dan minoritas etnis.

Pertama buruh. Mereka adalah ’pahlawan ekonomi’ yang jarang tersentuh sejarah. Pergulatan hidup yang mereka rasakan, hanya tertuang dalam ’teriakan’ sosiologis ataupun antropologis. Pembahasan sosiologis maupun antropologis, umumnya bertujuan membentuk pola, bukan mencari dan melihat celah perubahan sebagaimana dilakukan sejarah.

Kedua, perempuan. Namanya mulai disebut sebagai bagian sejarah tanpa monopoli patriarki, ketika suara-suara berbau feminisme dikumandangkan dengan begitu merdu. Ruth Indiah Rahayu misalnya, begitu tajam mengkritik penulisan sejarah perempuan bercorak kebangsawanan, sebagaimana dianut pada masa kolonial. Lewat tutur sejarah perempuan itulah, ’kran sejarah’ yang semula tertutup, perlahan terbuka.

Data mengalir begitu deras, sehingga mampu meneropong wajah perempuan Indonesia. Sebagai contoh, keberhasilan para peneliti perempuan dalam menguak kehidupan para Gerwani pasca tragedi 1965. Meski sebagian besar bukan sejarawan, akan tetapi data yang mereka peroleh, mampu menggiring ke arah jalannya sejarah. Lewat merekalah, wacana penolakan terhadap Gerwani sebagai ’mawar berbisa’, perlahan mencuat. Seketika, organisasi ini menjadi persoalan historis yang hangat.

Melalui penelitian lisan itulah, segala bentuk penderitaan Gerwani sebagai ’korban situasi’, terpapar dengan jelas. Reni Nuryanti misalnya berhasil menguak kekerasan perempuan di Minangkabau masa pergolakan daerah (1956-1961). Cerita yang tersembunyi selama puluhan tahun, perlahan terbuka.

Ketiga, minoritas etnis. Cerita getir kehidupan mereka yang berusaha ’menjadi Indonesia’ secara umum hanya tercacat dalam memori harian. Cerita etnis Tionghoa, Arab, atau Belanda misalnya, baru terkuak setelah dilakukan kajian intensif dalam bentuk wawancara mendalam. Rustopo misalnya, berhasil menguak sisi lain kehidupan etnis Tionghoa di Jawa yang berjuang mencari identitas. Demikian juga dengan etnis Arab. Penelitian Fatiyah, Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta, menunjukan betapa bimbangnya mereka dalam menentukan identitas. Seperti halnya etnis Tionghoa, pergulatan sejarah akhirnya menggiring mereka untuk ’menjadi Jawa’.

Kajian-kajian bertema ’masyarakat tanpa sejarah’ tersebut, hanya dapat terkuak secara detil dengan data lisan. Dokumen yang mencatat kehidupan mereka, begitu minim. Sudah saatnya, ilmu sejarah bangkit dengan spirit baru. Dengan cara ini, posisi sejarah yang sering dikucilkan, akan bergeser. Pemahaman bahwa sejarah tidak selalu bergelut dengan arsip, tetapi juga data lisan, perlu dibangun. Jika konteks ini sudah matang, baik dalam konsep maupun praktik, maka sejarah akan hadir dengan penampilan khas yang lebih menggigit.

Sejarah lisan membuka peluang baru dalam penambahan koleksi data sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi harga mati yang membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk wawancara mendalam, juga tidak kalah penting untuk menguak pengalaman sejarah yang tidak tertuturkan dalam dokumen.

Data tertulis yang dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak mentalitas masyarakat dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah, Historiografi akan terasa lebih manusiawi—menyentuh permasalahan fundamental manusia.
Share:

Perempuan, Seks, dan Perang; Analisis dalam Pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (1958-1961)

ABSTRAK

Tulisan ini membahas relasi antara: perempuan, seks, dan perang dalam pergolakan PRRI (1958-1961). Selama kurun tiga tahun pergolakan di Sumatera Barat, perempuan Minangkabau dihadapkan pada situasi dilematis. Dalam situasi rumit, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri. Mereka mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya dalam barisan PRRI. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

Perempuan yang kerap dianggap ‘nomor dua’ dalam sejarah, akan terlihat berbeda jika dilihat dalam pandangan yang bersifat komplementer. Dalam perang misalnya, sebenarnya peran perempuan bagi laki-laki tidak hanya terlihat dalam relasi politik-militer, tetapi juga psikologi dan sosial. Seks misalnya, adalah media yang menghubungkan peran perempuan terhadap laki-laki.

Perang yang menimbulkan kekerasan, secara psikologis mengakibatkan ketegangan psikis sebagai pengaruh kontraksi antara kegelisahan dan ketakutan. Laki-laki yang terlibat perang, baik di garis politik maupun militer, adalah subjek yang paling merasakan ketakutan. Dalam tahap akut, ketegangan ini akan memuncak tensinya dan menyebabkan ‘sakit.’ Rasa sakit ini salah satunya hanya dapat direduksi dengan seks. Secara psikologis, seks bukan hanya memberi nuansa kesenangan fisik, tetapi juga ketenangan batin. Relasi seks inilah yang secara langsung melibatkan perempuan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam sejarah tidak hanya dilihat dalam lingkup makro, tetapi secara detil dalam perang yang memunculkan mikrohistori.

A. Pengantar

Laki-laki tidak memungkiri bahwa perempuan adalah kekuatan. Pesona menggetarkan bernama: kematangan emosi dan keagungan spiritual adalah energi yang menguatkan perjuangan. Umar bin Khatab misalnya membahasakan, “Jadilah engkau singa garang di padang pasir pada siang hari dan jadilah bayi di pangkuan istrimu pada malam hari.”

Perempuan adalah daya psikohistoris yang melahirkan para pahlawan. Hamka, lewat kendaraan sastra menggambarkan, “Kedudukan perempuan ibarat tempat kapal bertambat—ialah hati yang terkadang rapuh oleh deburan ombak kehidupan. Pada perempuanlah hati yang bergolak kembali menepi dalam buaian ketenangan.”[1] Tidak ketinggalan, Anis Matta juga menulis, “Ini bukan ketergantungan, tapi kebutuhan yang tak dapat digantikan.”[2]

Pilihan perempuan untuk mengabdi kepada laki-laki, dengan demikian bukan menjadi sebuah kekalahan, tapi kemenangan sejati. Perempuan tidak harus menjadi laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan memanfaatkan dimensi kefeminitasannya, mereka akan mendapatkan kekuasaan di mata laki-laki[3].

Orang-orang besar dalam sejarah, menyerap energi kekuatan dari perempuan. Lihat misalnya Nabi Muhammad yang bersimbah dukungan dari Khadijah. Kehilangan Khadijah menjadi momentum kesedihan yang membuatnya berhijrah. Muhammad mengatakan:
“...Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.”[4]

Besarnya pengaruh perempuan juga tampak dalam suasana perang. Situasi penuh ketakutan, adalah ‘lahan subur’ masuknya perempuan. Cinta yang lahir dalam pertautan seks, adalah obat paling ampuh untuk menurunkan ketegangan[5]. Dari sinilah, muncul ‘gugatan’ bahwa tidak selamanya laki-laki adalah pejuang, sementara perempuan menjadi pecundang. Tidak salah jika Elisabeth Badinter menulis, “Dalam perang perempuan terlihat lebih jantan, sementara laki-laki menjadi lebih feminin.”[6] Badinter menekankan bahwa perempuan, terutama yang sudah menjadi ibu, tidak hanya berpikir keselamatan diri dan suami, tetapi juga anak yang secara fisik bertautan dengannya.

Perang yang mengikutsertakan kekerasan, kerap menggilas ketenangan. Benar kata Marsana Windhu, “Perang bagaimanapun selalu membawa kerusakan yang luas dalam kehidupan manusia.”[7] Kebersamaan dan kehangatan keluarga, mendadak lenyap. Manusia beradu dalam kepentingan. Di antara mereka ada yang masih menyertakan keluarga dalam menapaki konflik, sebaliknya tidak sedikit yang meninggalkan. Fenomena ini pula yang terjadi selama konflik PRRI di Sumatera Barat. Sofyan M. Noor menulis bahwa pemberontakan PRRI ini termasuk sebagai salah satu perang saudara yang paling biadab di dunia.[8] Kekerasan mewarnai serentetan peristiwa yang mengantarkan Minangkabau pada kekalahan sejarah di tahun 1950-an.

Penulisan mengenai PRRI menurut Audrey Kahin, masih menyisakan ‘rongga kosong’ yang harus diisi.[9] Salah satunya adalah kajian mengenai kondisi perempuan pada saat itu. Mereka adalah saksi mata sekaligus pelaku yang terlibat secara langsung dalam peristiwa. Apabila muncul opini bahwa PRRI mengguncang mental masyarakat Sumatera Barat—perempuan pun merasakan hal yang sama.

Tulisan ini akan mengkaji persoalan: bagaimana kondisi perempuan Minangkabau dalam konflik PRRI serta seperti apa dimensi seks yang mengikusertakan perempuan mampu memberikan kekuatan bagi laki-laki. Apakah dalam situasi konflik perempuan selalu menjadi nomor dua atau sebaliknya seperti kata Pak Kuntowijoyo, melalui penulisan sejarah bercorak androgyneusentris[10], perempuan muncul dalam dimensi yang khas.

B. Hidup di Tengah Konflik PRRI

Perbedaaan peran antara laki-laki dan perempuan Minangkabau seperti digambarkan Cora Vreede-De Stuers[11], masih menguat di tahun 1950-an. Tensi politik yang meninggi karena pengaruh konflik PRRI, menimbulkan nuansa tersendiri bagi kaum perempuan. Iklim pusat yang diwarnai ketegangan antara golongan: Islam, nasionalis, dan komunis, secara tidak langsung berpengaruh bagi kehidupan perempuan Minangkabau.

Sebelum konflik memuncak menjadi perang saudara pada tahun 1958, perempuan Minangkabau hanya merasakan ketegangan sosial. Dari segi pendidikan misalnya, tidak sedikit yang putus sekolah. Yulinar yang pada saat itu berusia 18 tahun misalnya, mengalami kondisi itu. Sebelum perang, ia masih bersekolah agama di Padang. April tahun 1958, dia terpaksa berhenti sekolah dan pulang ke kampungnya di Sumpur Kudus.[12]

Pada saat konflik makin panas, sebagian perempuan yang bergabung dalam organisasi, mengindu pada dua poros: Islam dan sosialis-komunis, yang masing-masing gawangi oleh dua partai: Masyumi dan PKI. Masyumi menggandeng perempuan ke dalam satu induk organisasi yang bernama Wanita Muslimat Masyumi. Sementara PKI, mulai mendekati Gerwani. Dua organisasi ini digiring untuk menyebarkan opini partai.

Wanita Muslimat Masyumi misalnya, mengusung tema anti komunis. Mereka kerap mengadakan pengajian untuk para ibu di surau-surau. Kegiatan ini gencar dilakukan di Bukittinggi yang saat itu masih berstatus ibukota Sumatera Barat. Dalam kajian itulah, opini antikomunis disandarkan dengan pandnagan forma bermata agama. Muncul semacam dikotomi Islam dengan marxisme. Persoalan mengenai penciptaan manusia misalnya, menjadi pengantar untuk memahami Islam, sekaligus mematahkan materialime historis yang dibawa Marx. Asma Malin yang saat itu menjadi sekretaris Wanita Muslimat Masyumi misalnya mengatakan:

“Waktu itu, kami dipahamkan tentang penciptaan manusia. Kalau dalam AlQuran, manusia diciptakan dari tanah, lain menurut ajaran komunis. Manusia diciptakan secara evolusi dari kera. Nah inilah bedanya. Kalau Islam dari Saripati tanah, dengan evolusi, kemudian terciptalah manusia. Tapi ajaran komunis tidak. Siapa yang saat itu mulai mengikuti ajaran komunis, maka dia tercipta dari beruk. Waktu itu kami bahkan sempat ditanya guru ngaji, “Kamu mau dicipta dari beruk?”, “Tidak !”, kami menjawab. “Mau tidak Kamu jadi komunis?”, kami juga bilang, “Tidak!”[13]

Secara politis, pertentangan tersebut ditujukan kepada PKI. Partai ini dianggap sudah keluar dari ide gerakan di tahun 1920-an, yang berhasil mengusik kedudukan Belanda melalui pemberontakan Silungkang[14]. Pada saat itu, PKI dianggap sebagai pejuang. Akan tetapi tahun 1950-an, partai ini dicap sudah keluar dari jalur perjuangan.[15]

Sementara itu PKI, tidak mau kalah. Gerwani mulai gencar didekati. Sebelum pecah perang, Gerwani memang tidak ‘seagresif’ Muslimat Masyumi. Kondisi ini berubah pasca perang. Sebaliknya Wanita Muslimat Masyumi yang semula lantang, perlahan-lahan bungkam. Pimpinan Wanita Muslimat Masyumi seperti: Rahmah el Yunusiah dan Ratnasari, bergabung dengan tokoh Masyumi dan PRRI seperti: M.Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Mereka lalu pecah karena pemerintah pusat melancarkan Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Ahmad Yani.

Penyerangan yang tiba-tiba ke kota Padang pada 17 April, pukul 06.00 pagi dengan persenjataan lengkap, seketika memporak-porandakan PRRI. Praktis tidak ada perlawanan yang berarti. Pasukan PRRI berubah arah. Mereka menyingkir ke hutan, meninggalkan kota Padang. Setelah menggempur Padang, APRI lalu bergerak memasuki Bukittinggi. Kondisi pada saat itu semakin kacau. Mereka yang dianggap terlibat PRRI, lari ke hutan untuk melindungi diri.[16]

Pasukan PRRI di bawah pimpinan Ahmad Husein kocar-kacir. Mereka memlilih bergerilya di sepanjang hutan Sumatera. Situasi makin kacau saat tentara pusat yang berada dalam gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), bergerak ke seluruh basis PRRI yakni: Padang, Padang Panjang, Pariaman, Bukittinggi, Solok, Muara Labuh, hingga daerah terakhir di Sumpurkudus.

Dalam situasi yang makin rumit tersebut, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan yang bermain atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri bagi mereka. Mereka kerap mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke dalam organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

C. Seks dalam Konflik; Like and Dislike

Secara umum, seks sering dimaknai sebagai puncak hubungan yang menandai aktivitas fisik. Jersild membahasakan bahwa hubungan seksual adalah suatu keadaan fisiologik yang menimbulkan kepuasan fisik, yang merupakan respon dari bentuk perilaku seksual berupa: ciuman, pelukan, dan percumbuan. Secara fisiologis, seks adalah cara untuk menghilangkan ketegangan fisik setelah muncul dorongan yang bernama libido. Sedangkan secara psikologis, seks adalah cara menyeimbangkan mental, sehingga muncul ketenangan jiwa.

Dalam kehidupan rumah tangga, seks adalah kebutuhan. Pada umumnya, daya seks laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Secara fisik, tiap dua jam laki-laki memproduksi sperma. Ini artinya, mereka selalu berada dalam posisi ‘aktif’. Kondisi ini berbeda dengan perempuan yang mengalami masa aktif hanya pada tiga hingga tujuhbelas hari selepas haid.

Secara khusus dalam kondisi perang, seks adalah problema tersendiri, terutama bagi laki-laki. Perang yang secara psikologis menimbulkan ketegangan fisik dan psikis, kerap membuat mental terganggu. Kondisi ini juga yang terjadi pada konflik PRRI. Keberadaan perempuan ternyata berpengaruh besar. Menurut Rolland Litlewood, dalam situasi perang yang penuh ketegangan, laki-laki mengalami guncangan mental yang hebat. Ketegangan ini akan memuncak tensinya dan menyebabkan laki-laki merasa ‘sakit.’ Rasa sakit ini salah satunya hanya dapat direduksi dengan seks.[17]

Bagi pasukan militer yang telah berkeluarga misalnya, seks adalah beban tersendiri. Persoalan ini yang terkadang menimbulkan ‘kecelakaan sejarah’ berwajah kekerasan. Penyekepan, pelecehan, hingga pemerkosaan adalah kasus yang selalu terjadi dalam tiap situasi perang.

Pada saat PRRI misalnya, ketiga kasus juga mewarnai. Kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh dua pihak: APRI dan PRRI. Inilah yang menjadi dilema tersendiri bagi perempuan Minangkabau. Perang memang mematikan dimensi kemanusiaan. Tidak ada lagi perbedaan kawan dan lawan. Semua terjebak dalam satu kepentingan: kemenangan dan kekuasaan. Tidak heran, kekerasan terhadap perempuan marak terjadi pada masa itu.

Dari pihak APRI misalnya, kekerasan terhadap perempuan mulai menggejala semenjak kedatangan Divisi Diponegoro[18] di pertengahan tahun 1958. Divisi Diponegoro dikenal agresif terhadap pasukan PRRI. Pada 30 Agustus 1958 misalnya, mereka berhasil melancarkan operasi besar-besaran bernama Operasi Badai yang meliputi daerah: Batusangkar, Matur, Maninjau, Limapuluh Kota, dan Tanah Datar.[19]

Pada saat operasi inilah, penyekapan hingga pemerkosaan terjadi. Abdul Samad, aktivis PRRI, misalnya mengatakan bahwa tentara mulai bebas menyekap perempuan di rumah-rumah gadang. Lebih lanjut ia mengatakan, “Dengan dikumpulkannya para perempuan, para tentara tidak akan sudah-susah mencari pelacur ke kota-kota. Begitulah kekejaman Diponegoro.”[20]

Demikian juga pemerkosaan yang menyebabkan kehamilan sebagian perempuan. Pasca perang, mereka menanggung dua beban: moral yang berkaitan dengan adat setempat serta kepada diri mereka sendiri. Sebuah fenomena menyedihkan telihat saat penarikan pasukan Diponegoro. Tidak sedikit perempuan Minang yang meratap di Teluk Bayur karena tidak dapat menikah. Puluhan gadis Minang yang hamil dan memukul-mukul perut, karena malu pulang kampung.[21]

Inilah gambaran perlakuan APRI. Pasukan PRRI juga tidak berbeda. Merekapun melakukan hal yang sama. Soewardi Idris misalnya menggambarkan dalam bentuk cerpen tentang kekejaman pasukan PRRI. Meski dikemas dalam bahasa sastra, namun cerpen ini pada dasarnya adalah catatan pribadi Soewardi Idris selama bergerilya dengan pasukan PRRI. Ia gambarkan:

“Tidak lupa kami membuat lelucon tidak ada dalam kamus manusia beradab, yaitu menanggalkan pakaian wanita-wanita kecuali BH dan rok dalam. Wanita-wanita merupakan hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk-mabukan gembira. Mereka ingin agar wanita dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.”[22]

Pasukan APRI dan PRRI sama-sama ‘berlomba’ untuk memenuhi kebutuhan seks. Dalam situasi darurat seperti ini, seks menjadi bermakna: like dan dislike. Like diberlakukan jika didasarkan pada landasan cinta yang mengikutkan hubungan resmi antara suami-istri atau bisa jadi dilakukan lewat kawin mut’ah. Sebaliknya, seks menjadi dislike jika dihadapkan pada persoalan nafsu sekaligus teror[23]. Nafsu dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Menurut Sutarto, Kepala Kementrian Pertahanan di tahun 1957, para tentara yang tidak dapat dipenuhi kebutuhan seksualnya, mula-mula merasa dirinya sunyi.

Kesunyian akan hilang apabila ia sekedar bergaul dengan perempuan. Bebannya akan terasa ringan apabila ia senenatiasa mendapat perhatian dari para perempuan yang dicintainya dan yang jauh ditinggalkan oleh istrinya.[24] Penyataan Sutarto dibenarkan Soewardi Idris yang dalam penggalan cerpennya menuliskan, “Kehidupan membujang selama petualangan dalam hutan, terasa sepi sekali. Kalau lama-lama macam ini, mungkin jiwaku bisa rusak binasa.”[25] Lebih gamblang, Roland Litlewood juga menulis bahwa dalam studi psikologi, masa setelah terus-menerus mengalami kegelisahan atau kepenatan, secara signifikan bisa diturunkan tensinya dengan memberikan sejumlah perlakuan psikologis. Tentara memandang hubungan seksual adalah sebagai penahan kegelisahan dalam perang.” [26]

D. Perang tanpa Seks; Perjuangan tanpa ‘Senjata’

Persoalan seks sebenarnya bukan hanya berhenti pada posisi laki-laki butuh perempuan. Namun, ada momentum yang secara historiografis dapat menjadi jalan perempuan untuk masuk dalam pusaran sejarah. Posisi perempuan di belakang laki-laki sebagai pendukung psikologis inilah sebenarnya, yang menarik untuk dikaji. Seks adalah simbol dukungan. Perang yang berkecamuk dengan senjata dan pertempuran bahkan berujung kematian, menyimpan cerita yang tidak dapat dilepaskan dari perempuan.

Bagi perempuan yang mengikuti suami bergerilya misalnya, mereka mempunyai kenangan tersendiri. Tidak dipungkiri bahwa tanpa perempuan, laki-laki memang lemah. Persoalannya bukan hanya terletak pada kekhawatiran pada istri pada saat ditinggal, namun lebih pada dorongan seks. Maka tidak heran, tokoh-tokoh penting PRRI seperti: Ahmad Husein, Syafruddin Prawiranegara, dan Natsir, membawa anak dan istri mereka ke dalam hutan.

Istri Ahmad Husein, Desmaniar, bahkan melahirkan anak perempuan di hutan[27]. Hal yang sama juga dialami oleh Waharti, istri Zakaria yang saat itu menjabat sebagai kepala seksi logistik PRRI. Ia melahirkan anak laki-laki bernama Erpi Juntano dalam gerilya di hutan Solok[28].

Keberadaan perempuan dengan demikian menjadi kekuatan tersendiri bagi laki-laki. Dalam situasi sulit, mereka harus tetap berhubungan dengan perempuan. Surat misalnya, adalah media saat fisik tidak dapat bertatap. Ini dialami oleh Djamalus Djamil, Brimob Kompi 5152 di Bukittinggi. Istrinya, Nursyamsi, menceritakan, “Bapak kirim rutin surat-surat. Ibu juga membalasnya lewat kurir. Bapak selalu menanyakan kabar anak-anak. “Sehat-sehat saja kan?”, begitu kata Bapak. Kadang Bapak juga menulis, ”Bu, bapak titip anak-anak.”[29]

Perang di satu sisi ternyata menjadi momentum yang paling menyakitkan bagi laki-laki. Bukan hanya pada persoalan ‘perangnya’, tetapi cara bertahan jika tanpa perempuan. Senjata perang dengan demikian, bukan selalu berwujud peluru dan bayonet, tetapi juga muncul dalam bentuk: perempuan. Inilah yang menurut pengalaman Rusli Marzuki Saria, “Perang menimbulkan satu kesempatan, ‘tembak ‘ateh’, tembak ‘bawah’ (tembak ‘atas’ dan ‘bawah’).”[30]

Pada masa perang inilah terjadi perkawinan, baik sesama penduduk, maupun campuran. Dalam kasus PRRI, paling terlihat percampuran antara orang Jawa dan Sumatera. Pernikahan umumnya dilakukan secara sederhana. Cukup dengan memotong satu ekor ayam atau uang sebanyak Rp. 5.-, mamak siap menjadi wali nikah. Setelah itu diadakan kenduri, dan dalam acara tersebut akan dikatakan, “Ninik mamak hendak menerima keponakan. Tolong diterima bersama.”[31] Dia harus jujur menyebut siapa dirinya. Lalu diterimalah menjadi anak keponakan Dengan diterimanya menjadi anak keponakan, menikahlah tentara dengan dengan calonnya.[32]

Perkawinan terjadi dengan beragam kepentingan. Ada yang didasari rasa suka, adapula yang dilandasi ketakutan, terutama bagi perempuan. Di antara mereka ada yang langgeng, tetapi tidak sedikit yang bercerai karena penelantaran (deprivasi).

Pengalaman menyedihkan dituturkan misalnya oleh Yulinar dan Maidar.Yulinar dinikahkan oleh mamaknya dengan simpatisan PRRI dari Kompi Harimau Minang, Umar Daar, yang berasal dari Kampung Tanah Datar, Batusangkar. Pada saat itu, Daar bekerja di Departemen Pertanian Sawahlunto di bagian administrasi.[33] Karena di masa bergolak para pegawai juga dikenakan wajib militer, Umar Daar kemudian masuk menjadi anggota PRRI di Kompi Harimau Minang.

Atas dasar perjodohan, Yulinar menurut. Di kemudian hari, ia tahu kalau suaminya sudah beranak-istri. Dari sinilah, awal penelantaran itu terjadi. Kesusahan yang berlipat, dirasakan Yulinar. Ia menuturkan, “Itulah ibu, ganja batu[34]. Tak dibalanjo, ibu ditinggal.”[35] Tidak ada pilihan lain kecuali bercerai. Sementara itu Maidar, ia menikah dengan alasan sederhana. Dalam penuturannya, ia mengatakan, “Ibu kawin jo apak, karano apak tu tentara. Lai pulo, ibu indak namuah digoda-goda jo tentara Jawa.”[36] (“Ibu menikah dengan bapak, karena bapak tentara. Lagipula, ibu tidak mau digoda-goda tentara Jawa.”). Selepas PRRI, Maidar juga bercerai.

Pengalaman Yulinar dan Maidar menjadi gambaran bahwa dalam ketegangan perang, laki-laki memang tidak hanya memilih rasa aman dengan perlindungan. Mereka juga memilih perempuan. Pengalaman pahit masa perang, dapat ditepis dengan hadirnya perempuan yang direlasikan dalam pernikahan. Persoalan: bertahan atau bercerai, bukan merupakan kekalahan bagi perempuan. Pada akhirnya, mereka memilih hidup mandiri untuk membesarkan anak.

Pengalaman lain juga dituturkan oleh Mansoersami, yang pada saat konflik menjadi Bupati Sawahlunto, Sijunjung. Pada saat bertugas, Nuraini, istrinya yang berada di Padang, diperistri secara paksa oleh salah seorang anggota Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) UGM[37].

Tidak ada pilihan lain bagi Mansoersami selain menyerahkan sang istri. Sejak saat itu, ia mengalami kegelisahan hebat. “Saya ini habis semuanya,[38] demikian ia menuturkan. Tidak lama sesudah itu, saat berada di wilayah basis terakhir PRRI yakni Sumpurkudus, Mansoersami menikah dengan gadis setempat.[39] Dengan pernikahan itulah, ia mengobati kegelisahan akibat: perang dan kehilangan istri.

E. Penutup

Dalam kompleksitas perang, perempuan adalah bagian ‘tersembunyi’ yang sebenarnya punya pengaruh besar. Terlebih jika dihubungkan dengan persoalan seks, perempuan dan perang akan terlihat dalam nuansa yang berbeda. Ada sisi manusiawi yang mengandung permakluman, bahwa perang yang selalu menampakan wajah warior, ternyata juga menyimpan segi melankolis. Laki-laki terutama yang kerap dianggap sebagai hero, ternyata juga punya kelemahan. Bahkan dalam beberapa hal, perempuan bisa jadi lebih maskulin dibanding laki-laki. Dalam posisi inilah, perubahan mental itu terjadi.

Konflik PRRI yang menimbulkan perang saudara di Minangkabau misalnya, menyisakan perubahan mental, baik bagi laki-laki. Ia merasakan ketegangan hebat. Dalam situasi rumit itulah, laki-laki butuh penopang bernama perempuan. Di sinilah saling ketergantungan (mutual dependence) itu terjadi. Meskipun dibaluri dengan intrik penelantaran atau bahkan kekerasan, tidak dipungkiri bahwa laki-laki juga tergantung pada perempuan.

Secara historiografis, perempuan sebenarnya tidak lagi harus merasa ‘inverior’ untuk mengatakan bahwa mereka adalah bagian penting dari sejarah. Perang misalnya, menjadi kunci masuknya perempuan. Dukungan mereka kepada suami terutama, adalah wujud kuatnya kedudukan perempuan. Secara seksual, tanpa perempuan, laki-laki akan terus-menerus dihinggapi ketegangan mental.


Daftar Pustaka

Abdullah Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, a.b. Ghozi M, Khadijah The True Love Story of Muhammad, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, Jakarta: The Tarbawi Center, 2004.
Azmi, dkk., Adat dan upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1970.
Badinter, Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The Gender Battle, New York: A Cornellia and Michael Bessie Book,1989.
Br. Kris, FIC, “Makna Seksualitas bagi Manusia”, http://www.satunet.com, diakses pada Rabu, 19 Januari 2011, Pk. 17.00 WIB.
Christina Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hamka, Kisah Cinta Para Pejuang dalam “Edisi Surat-Surat Cinta”, Majalah Tarbawi, 2005.
Harian Rakjat, 2 September 1958.
Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jendral Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Latif Datuk Bandaro dkk. (ed.), Minangkabau yang Gelisah; Mencari Startegi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda, Bandung: Lubuk Agung, 2004.
Litlewood, Roland, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April 1997.
Mansoer Fakih, Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM).
Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004.
Munandir, PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001.
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta, UGM, 2009.
R. Sutarto, “Soal Kelamin dalam angkatan Perang”, Benteng Negara, No.7/1957, tahun VIII.
Soewardi Idris, Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, Yogyakarta: Beranda, 2008.
Teks Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi, (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota Bukittinggi, 1958.
Vreede-De Stuers, Cora, Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 30 Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
Wawancara Desmaniar (Des Husen), Jakarta, 2 Agustus 2008, Pk. 19.00-20.30 WIB.
Wawancara Waharti, Jakarta, 3 Agustus 2008, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara via telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
Wawancara Nursyamsi, Solok. 25 Oktober 2008, Pk.13.00 WIB.


[1] Hamka, Kisah Cinta Para Pejuang dalam “Edisi Surat-Surat Cinta”, Majalah Tarbawi, 2005.
[2] Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, (Jakarta: The Tarbawi Center, 2004).
[3] Christina Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
[4] Lihat Abdullah Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, a.b. Ghozi M, Khadijah The True Love Story of Muhammad, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007): 307.
[5] Keterangan lanjut lihat Roland Litlewood, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April 1997: 13.
[6] Badinter, Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The Gender Battle, (New York: A Cornellia and Michael Bessie Book, 1989): 158.
[7] Penjelasan lanjut, baca I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
[8] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007):203. Gusti Asnan menganalisa, ‘ambruknya’ PRRI terlihat dari dua sebab: kesalahan strategi dan over confident dari Ahmad Husein yang tidak mau menghiraukan kekuatan kontra PRRI. Ibid.: 202-203. PRRI dinilai bukan hanya perang kecil. Menurut Nasution, selama perang saudara ini, khusus daerah operasi Kodam III/17 Agustus (Sumatera Barat/Riau), dari kedua belah pihak menelan korban meninggal sebanyak: 7.146 orang, 1.944 luka-luka dan 321 hilang. Korban terbesar yang diderita PRRI, yakni 6.115 tewas dan 627 hilang. Keterangan selanjutnya lihat Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001): 152.
[9] Lihat Kata Pengantar Audrey Kahin dalam Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jendral Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998): v.
[10] Keterangan lanjut lihat, Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).
[11] Corra menulis bahwa perempuan Minangkabau tampak mempunyai kekuasaan yang besar. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku dalam kepemilikan hak suara di keluarga. Di sini mereka tersisih. Perempuan tetap berada di bawah laki-laki. Dalam urusan keluarga misalnya, pengaruh perempuan lemah.. Mereka hanya sebatas memberikan saran demi ketercapaian mufakat, bukan sebagai partisan.. Cora Vreede-De Stuers, op.cit.: 38.
[12] Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 30 Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
[13] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
[14] Lebih lanjut mengenai pemberontakan Silungkang, lihat Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, (Yogyakarta: Syarikat Indonesia), 2004.
[15] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
[16] Lihat Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta, UGM, 2009.
[17] Rolland Litlewood, op.cit.
[18] Secara struktural, Divisi Diponegoro saat itu dipimpin oleh Ali Moertopo, kepala staf RTP II dan Pranoto Rekso Samodra, yang sekaligus menjabat sebagai Komando Operasi 17 Agustus, menggantikan Kolonel Ahmad Yani. Penggantian ini dilaksanakan di stadion Lapangan Banteng, Padang, pada hari Kamis, 4 Juni 1958. Upacara timbang terima tersebut dihadiri oleh KASAD Letnan Jendral A.H. Nasution. Keterangan lebih lanjut, baca Teks Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi, (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota Bukittinggi, 1958): 20.
[19] Harian Rakjat, 2 September 1958.
[20] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
[21] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
[22] Soewardi Idris, Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, (Yogyakarta: Beranda, 2008): 10.
[23] Seks juga kerap dijadikan alat teror untuk melemahkan lawan. Dengan menguasai perempuan, musuh akan merasa terhina dan kalah. Bagi laki-laki, ini adalah beban tersendiri. Jika mental sudah lemah, musuh dengan sendirinya akan mudah didesak dan dikalahkan.
[24] Kebutuhan seksual mempunyai peranan penting di dalam masyarakat dan meminta banyak perhatian. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang primer, kebutuhan seksuallah yang paling banyak mengalami kekecewaan. Di dalam angkatan perang, terutama kesyahwatan, merupakan persolan yang amat penting. Di kalangan tentara, kebutuhan seksual lebih tinggi daripada masyarakat biasa. Lebih lanjut, baca R. Sutarto, “Soal Kelamin dalam Angkatan Perang”, Benteng Negara, No.7/1957, tahun VIII: 5.
[25] Soewardi Idris, op.cit.: 29.
[26] Ibid.
[27] Wawancara Desmaniar (Des Husen), Jakarta, 2 Agustus 2008, Pk. 19.00-20.30 WIB.
[28] Wawancara Waharti, Jakarta, 3 Agustus 2008, Pk. 13.00-14.00 WIB.
[29] Wawancara Nursyamsi, Solok. 25 Oktober 2008, Pk.13.00 WIB.
[30] Wawancara via telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
[31] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September 2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[32] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September 2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[33] Yulinar lahir di Sumpur Kudus, tahun 1940.
[34] Ganja batu dan ganja kayu merupakan istilah budaya di Minangkabau. Kata ’ganja’ berasal dari bahasa Minangkabau, ‘ganjal’, yang berarti landasan. Sebagai gambaran diumpamakan: Seorang pendaki Anai berjalan dari Padang ke Bukittinggi. Ia membawa barang-barang di atas pedati. Suatu hari karena kerbau kelelahan, dihentikanlah pedati tersebut. Untuk menjaga agar barang-barang tidak tumpah, maka roda pedati tersebut diganjal dengan menggunakan batu atau kayu. Kalau mengggunakan batu, maka akan ditinggal, karena batu mudah dijumpai. Lain halnya jika menggunakan kayu, maka akan terus dibawa, karena sulit dijumpai. Perumpamaan ini kemudian dipakai untuk menyebut perempuan yang hanya dinikahi dalam waktu singkat, kemudian ditinggal begitu saja, atau sebaliknya dinikahi selamanya meskipun si laki-laki beristri lebih dari satu. Istilah ini populer khususnya setelah PRRI. Perempuan-perempuan yang dinikahi pada masa PRRI, baik oleh tentara urang awak (PRRI) maupun APRI, sebagian ditinggal begitu saja. Mereka inilah yang mendapat sebutan ganja batu. Adapun mereka yang dibawa oleh suami, mendapat sebutan ganja kayu. Wawancara melalui telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
[35] Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 1 September 2008, Pk. 13.00 WIB.
[36] Wawancara Maidar Sumpur Kudus, 29 Agustus 2008, Pk. 21.00 WIB.
[37] Sejalan dengan program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) dari UGM, kisah romantika memang tidak pernah terlepas. Bagaimanapun, hampir seluruh mahasiswa yang dikirim ke luar Jawa (96,6%) adalah bujangan. Kisah-kasih terbuka lebar untuk terjalin di sana. Hal ini tidak dapat dipungkiri, banyak di antara para mahasiswa yang menjalin kasih dengan para murid. Lihat Munandir, PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001):116.
[38] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
[39] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Share:

Senin, 07 November 2016

Perempuan dalam Sejarah Indonesia; Antara Ada dan Tiada

Pengantar

Penulisan mengenai sejarah perempuan di Indonesia, memang masih ‘miskin’. Sebenarnya, bukan hanya mengenai sejarah perempuan, buku-buku yang khusus menuliskan tentang perempuan dalam perspektif kritis, pun sangat minim. Berita yang mengejutkan tertera dalam tulisan Safrina Thristiawati, Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia. Ia menulis, “Sejak lengernya Suharto tahun 1998, lebih dari 1700 buku mengenai sejarah telah diterbitkan di Indonesia, namun hanya sekitar 2% (34) yang membahas perempuan”[1]. Lebih parah, dari 34 itupun, hanya 16 yang bisa disebut tulisan sejarah dan sebagian besar ditulis oleh orang asing.[2]

Ke-16 tulisan tersebut juga masih didominasi oleh model biografi yang membawa kaum elit. Sebagai contoh adalah Kartini yang terus ditulis dalam beragam versi, tetapi tidak ada kebaruan yang bermakna. Tulisan akademik yang berbentuk penelitian mendalam dan dibukukan, tidak tampil. Demikian juga penulisan perempuan yang mencoba menampilkan sosok ‘kaum akar’ secara jernih, sama sekali tidak tampak.

Kondisi ini cukup memprihatinkan, di tengah banyaknya penulisan sejarah—berperspektif laki-laki dan oleh laki-laki. Apa yang membuat penulisan sejarah bertema perempuan di Indonesia begitu miskin? Tulisan ini akan menjelaskan tentang: konsep perempuan, bagaimana posisi perempuan dalam penulisan sejarah yang diwarnai budaya patriarki, dan pendekatan feminisme untuk penulisan sejarah perempuan.

Perempuan atau Wanita?

Sering muncul perdebatan dalam membicarakan kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’. Ada yang sepakat dengan keduanya, tetapi tidak sedikit menyebut ‘betina’. Namun yang terakhir, ‘betina’, jarang dipakai, karena dipandang berkonotasi dengan binatang, yaitu sebagai lawan kata ‘jantan’.[3]

Agar lebih jelas, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kata ‘wanita’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘wanita’ diartikan sebagai: perempuan dewasa, kaum putri dewasa.[4] Pemaknaan wanita dewasa, kaum putri dewasa, umumnya mengarah pada peran-peran sosial yang disandangnya, dalam hal ini peran sebagai istri dan ibu.

Dalam bahasa Jawa, ‘wanita’ diartikan dengan istilah wani ditata, yang maksudnya adalah dapat diatur. Dalam perluasan istilah Wanita Jawa, kata ‘wanita’ konon juga berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Pernyataan ini menunjukan bahwa seorang wanita adalah sosok yang berani menderita, bahkan untuk orang lain.[5]

Sementara itu Anton E. Lucas, secara implisit membahasakan kata ‘wanita’ dengan istilah kaum bervagina dan harus diatur oleh kaum berpenis (karena hanya terdapat dikotomi jenis kelamin).[6] Istilah lain menyebutkan bahwa kata ‘wanita’ berasal dari bahasa Sansekerta, ‘wan’, yang berarti ‘nafsu’, sehingga kata ‘wanita’ mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks.

Menurut Siusana Kwelja sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, kata ‘wanita’ menunjuk makna pada pemelihara yang sabar, pasif, diam, dan menjadi pesakitan, kurang standar, tidak diharap untuk menonjolkan diri, dan boleh berprofesi, tetapi kurang diakui perannya.[7] Karena makna yang terkesan subordinatif inilah, dalam rangka membangun citra di kalangan publik, kata ‘wanita’ menjadi tidak dipilih.

Selanjutnya, mengenai kata ‘perempuan’. Dilihat dari bahasa Sansekerta, ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang berarti kemandirian.[8] Menurut Raudal Tanjung Banua sebagaimana mengutip pendapat Imam Budi Santoso, kata ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang secara harfiah berarti orang yang ahli atau berprestasi dalam bidang tertentu, yang mendekatkan pada sosok ibu.[9]

Hampir senada Prasetio Murniati menjelaskan, kata ‘perempuan’ berasal dari bahasa Melayu, yang berarti empu atau induk yang memiliki arti memberi yang hidup.[10] Pemaknaan ini terlihat lebih dinamis, dibanding kata ‘wanita’, meskipun dalam beberapa hal, kata ‘wanita’ juga sering digunakan. Sebut saja perkumpulan Wanito Utomo, organisasi putri Budi Utomo.

Dari penjelasan kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ yang telah diuraikan, penulis lebih memilih kata ‘perempuan’. Ada beberapa alasan, diantaranya: pertama, kata ‘perempuan’ mengarah pada makna yang otonom—perempuan bukan lagi sebagai objek seks (the second sex). Kedua, kata ‘perempuan’ menunjuk makna kemandirian. Ini artinya, perempuan bukan makhluk yang selalu tergantung pada laki-laki. Ia sosok yang bisa berdiri sendiri, meski disisi lain tak bisa dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu kesatuan.

Sejarah Perempuan dalam Budaya Patriarki

Satu kata yang sering terlupa ketika menjelaskan suatu sejarah: ‘perempuan’. Namanya seolah menjadi ‘klien’ atas ‘patron’: laki-laki. Terlebih, ketika secara tidak sadar sejarah menjadi tempat menambatkan budaya patriarki ‘berwajah laki-laki’, posisi perempuan makin ditinggalkan. Ada kesan bahwa sejarah hanya milik kaum laki-laki yang berkutat dalam porsi sejarah politik dengan tema-tema konvensional yang melahirkan peperangan dan heroisme.[11]

Secara metodologi menurut Bambang Purwanto, sejarawan UGM, fenomena ini sebagai implikasi ketidakmampuan tradisi Indonesiasentris dalam menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal. Banyak orang, baik secara individu maupun kelompok, tidak memiliki sejarah atau dianggap tidak memiliki sejarah, walaupun mereka semua memiliki masa lalu. Kondisi ini memunculkan situasi atau ungkapan-ungkapan seperti: rakyat tanpa sejarah, sejarah tanpa rakyat, sejarah tanpa perempuan, dan perempuan tanpa sejarah.[12]

Asosiasi yang muncul adalah perempuan sebagai simbol kedamaian (beautiful souls) yang selalu diam, tenang, mengalah, sementara laki-laki diasosiasikan sebagai ‘perang’ yang sarat tantangan. Elisabeth Badinter dalam Unopposite Sex; The of the Gender Battle juga menuliskan, “Ever since homo sapiens, there have always been two activities that were the respective prerogatives of man and woman: hunting and war are masculine, mothering is feminime”.[13]

Pernyataan semacam ini terlalu patriarki dan cenderung mengarah pada sifat dominasi. Terlebih ketika perang dianggap sebagai ekspresi karakter maskulin, nilai-nilai feminitas dengan sendirinya terpinggirkan. Laki-laki selalu mengganggap dirinya menang atas perempuan. Tidak berlebihan agaknya, kalau Cyntia Enloe mengatakan, Laki-laki setelah perang menjadi pejuang, sementara perempuan hanya menjadi pecundang”.

Sayangnya, sejarah sudah ‘dibungkam’ untuk mengamini pandangan ini. Lebih jauh mengenai persoalan ini, Helena Careiras menuliskan:

Stereotypes of men as just warriorsand women as “beautiful soul” have been used to secure woman’s status as noncombatans and men identity as warriors”. However, since war has usually been defined as a male activity and higly valued masculine characteristic are often associated with it, the image of women warriors has been seen as inherently unsettling, entailling symbolic rapture with the dominant gender order based on sparation of male and female. [14]

Pemaknaan dan penyimbolan secara sepihak, telah membunuh karakter perempuan sebagai individu yang mempunyai posisi dan peran. Dimensi perempuan: dalam ruang domestik dan publik, merupakan kesatuan yang mengikat laki-laki. Keduanya—laki-laki dan perempuan membentuk penyatuan. Inilah yang Sukarno katakan dalam Sarinah, sebagai tali sekse jiwa.[15]

Penyatuan laki-laki dan perempuan bukan semata-mata dilihat sebagai sekse biologis, tetapi lebih pada nilai jiwa. Laki-laki dan perempuan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengatur kehidupan. Keduanya adalah kesatuan yang berpadu membangun harmonisasi. Sifat saling memberi dan menerima, membantu dan bekerja sama—inilah yang sebenarnya membentuk sejarah.

Pandangan semacam ini yang seharusnya dimunculkan, bukan lagi pada pembedaan peran yang cenderung diskriminatif sebagaimana terlihat bahwa secara historis, khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, kaum laki-laki selalu identik dengan “lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara perempuan bertugas menyiapkan kebutuhan keluarga di dalam rumah seperti: memasak, mengasuh anak, dan semacamnya. Kaum pria berburu di hutan, sementara kaum wanita menyiapkan makanan di dapur.[16]

Pandangan tersebut juga pernah dituliskan Louise Ricklander, “historically the external worl has been the business of men. Women took care of the internal world. Politics traditonally is external, but not necessarily the business of all men—often olny of the few”.[17] Dalam budaya Jawa khususnya, ini tidak lepas dari munculnya pandangan bahwa perempuan hanya menjadi the second sex, yen awan dadi teklek, yen wengi dadi lemek.

Penulisan Sejarah Perempuan di Indonesia

Dalam penulisan sejarah di Indonesia, tema perempuan masih belum begitu diminati. Kajian ini justru banyak dilakukan dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Sejarawan umumnya beranggapan, tema yang berkait dengan perempuan dianggap kurang menarik. Akibatnya, mereka selalu bergantung pada ilmu-ilmu tersebut, untuk menuturkan kondisi perempuan di Indonesia. Ketergantungan ini bukan pada metodologi, tetapi materi. Ini yang sangat memprihatinkan.

Saya ambil contoh, tulisan komprehensif dan kritis mengenai perkembangan gerakan perempuan di Indonesia, justru ditulis antropolog—Saskia Wieringa Eleonora dan Cora Vreede-De Stuers. Tulisan mereka masing-masing berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dan Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian. Dua tulisan ini menjadi pegangan sejarawan di Indonesia selama bertahun-tahun, untuk menelaah gerakan perempuan di Indonesia. Bahkan banyak opini mengatakan, “Untuk mengkaji gerakan perempuan di Indonesia, tulisan Cora adalah rintisan awal yang menarik”.

Apabila dicermati, tulisan mereka memang sistematis dan metodologinya juga tepat. Namun demikian, karena standar yang mereka pakai adalah ilmu antropologi, dalam kacamata sejarah—kritik yang disajikan sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Saskia misalnya, menyajikan data Gerwani dari koran-koran sezaman, terutama Harian Rakjat. Ia tidak mencoba menggali sumber dari masyarakat yang kontra Gerwani, sebagai bahan cross cek.

Demikian juga Cora. Ia memang baru merintis penulisan sejarah gerakan perempuan Indonesia, jadi sumber yang dipakai masih sebatas arsip dan buku-buku sezaman. Sebagai rintisan, tulisan memang Cora diakui mampu menjadi penguat atas pijakan perempuan Indonesia, saat menggali pemahaman emansipasi. Dalam tulisannya ini, Cora mencoba melihat keterpurukan perempuan Indonesia yang dibelenggu oleh adat. Cora mengambil tiga komponen utama masyarakat Indonesia: Jawa, Minangkabau, dan Batak.

Hingga tulisan Cora dan Saskia beredar—masing-masing tahun 1960-an dan 1980, belum juga tampak kajian kritis mengenai sejarah perempuan Indonesia. Dicontohkan dalam sebuah seminar tahunan (1979) yang diselenggarakan bersama Perhimpunan Indonesia-Australia (Australian-Indonesian Association) cabang Victoria dengan Pusat Studi Asia Tenggara (Centre for Southeast Asian Studies), Universitas Monash, Sejarawan Christian Dobbin yang dalam kesempatan itu menguraikan tiga karya penting: Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite (The Hague); John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Natiionalist Movement, 1927-1934 (Singapore, 1979); dan Benedict R. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation dan Resistance, 1944-1946 (Itacha an London: Cornell University Press, 1972) mengatakan bahwa karya-karya besar tersebut telah mengabaikan wanita [perempuan] sebagai bagian dari proses historis—masa awal pergerakan nasional, tahun 1930-an dan revolusi Indonesia.[18]

Demikian pula menurut Kuntowijoyo, sejauh ia menulis buku Metodologi Sejarah (1994), dalam ilmu sejarah belum ada disertasi yang secara khusus membahas sejarah wanita [perempuan], sekalipun dalam beberapa skripsi S1 maupun S2 sudah mulai tampak perhatian ke arah itu.[19] Kunto menambahkan, padahal di negara seperti Amerika misalnya, kajian tentang perempuan menjadi spesialisasi tersendiri seperti terlihat dalam American Hostorical Association (AHA) dan Teaching Woman History yang merupakan buku panduan untuk pengajaran sejarah perempuan di SLTA dan tahun-tahun pertama di Universitas.[20]

Terlihat realitas baru dimana perempuan ditempatkan dalam kerangka yang sama dengan laki-laki. Ada upaya untuk memunculkan sisi otonomi, dimana perempuan mempunyai pola dan kehidupan sendiri dalam sejarah. Secara metodologis, pelan-pelan terjadi pergeseran penulisan sejarah yang androcentric[21] ke arah androgynouscentric.[22]

Berbeda dengan Indonesia yang masih jarang ‘menyentuh’ perempuan dalam penulisan sejarah. Mengenai hal ini, Ruth Indiah Rahayu dalam Kontruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan mengatakan bahwa perempuan dalam sejarah cenderung bias. Kalaupun ditampilkan, umumnya hanya perempuan berdarah biru yang tidak jarang menjadi personifikasi penulis dengan landasan kekaguman. Lebih lanjut, Ruth mengungkapkan, ”Nyatanya perempuan yang ditampilkan dalam sejarah Indonesia masih berpusat pada ketokohan yang berasal dari kelas berdarah biru dan yang diyakini memiliki takdir kemuliaan (keadiluhungan)”.[23]

Sebagai contoh hal ini terlihat pada masa sebelum kemerdekaan, dimana para penulis Belanda menggolongkan perempuan Indonesia menjadi dua model. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan: melawan, memusuhi, dan menentang penjajahan Belanda, yang dicontohkan seperti: Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Nyi Ageng Serang, Christina Martha Tiahahu, atau yang ‘sejawat’. Meskipun mereka akhirnya dibuang, dihukum mati, atau bahkan gugur dalam peperangan dan dianggap pemberontak, tetapi kebiasaan yang menyimpang dari tradisi laki-laki tersebut justru menarik.

Adapun yang kedua, perempuan yang membuahkan pemikiran, utamanya dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Sebut saja seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis. Usaha dan pemikiran mereka disambut hangat oleh Belanda, sehingga tidak jarang diantara mereka diberikan sanjungan. Tulisan Door Duis Ternis Toot Licht—diterjemahkan Armijn Pane—Habis Gelap Terbitlah Terang., buah pemikiran Kartini yang kemudian dibukukan oleh Ny. Abendanon[24], menjadi contoh nyata sebagai keberhasilan ‘proses pembaratan’ dalam perspektif Belanda.

Kontruksi penulisan sejarah perempuan yang semacam ini sebenarnya sudah mendapat kritik tajam. William Frederick dan Soeri Soeroto sebagaimana dituturkan Ruth Indiah Rahayu, telah memberikan tiga kritik pada tema penulisan sejarah perempuan yang terbatas pada perjuangan: melawan penjajahan Belanda, mengembangkan pendidikan bagi kaum perempuan, dan perjuangan politik oleh organisasi-organisasi perempuan.[25]

Kritik yang dilontarkan oleh William Frederick dan Soeri Soeroto, bisa dibenarkan. Posisi perempuan dalam sejarah bukan hanya terletak di tiga tempat tersebut. Ada yang tidak kalah penting yakni, perempuan di wilayah domestik. Bagaimana mereka berperan, bergulat dalam keluarga untuk membentuk generasi, membesarkan suami—belum tersentuh oleh sejarah, khususnya di Indonesia.

Historiografi perempuan sebenarnya bisa diseting dengan model sejarah keluarga. Meskipun perempuan bergerak di belakang layar, tetapi harus diakui, merekalah arsitek peradaban yang sesungguhnya. Hal ini bisa dikaitkan dengan pernyataan, “Di balik orang-orang besar, ada perempuan yang besar”.

Perempuan adalah penyedia dimensi maternalitas yang tidak bisa tergantikan. Di sinilah para pemimpin menyerap energi maternalitas sebagai nutrisi perjuangan. Simak bagaimana: Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Natsir, Bung Tomo, Sjafruddin Prawiranegora, Hatta—yang menyerap energi perjuangan dari makhluk bernama perempuan.

Pendekatan Feminisme dalam Penulisan Sejarah Perempuan

Pendekatan feminisme dalam penulisan sejarah antara lain dipopulerkan oleh Yayasan Kalayanamitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta. Secara metodologi, pendekatan ini terbukukan dalam karya Shulamit Reinharz.[26] Dalam pendekatan ini, perempuan ditempatkan bukan hanya pada konteks peran yang melahirkan tokoh-tokoh elit. Terbuka peluang bagi perempuan ‘akar’ untuk bisa ‘bersuara’ dalam sejarah. Salah satunya adalah mereka yang mengalami kekerasan, sebagai pengaruh konflik.

Konflik yang membawa perubahan bagi perempuan, perlu dijelaskan secara kritis, dalam perspektif historis. Ingat perspektif historis!, bukan sosiologi atau antropologi. Saya katakan perspektif sejarah, karena banyak peneliti sejarah yang terjebak oleh beragam pendekatan ilmu sosial. Terlalu banyak mengeksplor data dari perempuan, tetapi cenderung anakronis. Kadang-kadang jiwa zaman atau dalam bahasa Kuntowijoyo—sensibilitas, ditinggalkan. Ini fatal. Untuk menghindari kesalahan, ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama, objek penelitian dan kedua, metode pengambilan data.

Baiklah, saya jelaskan satu persatu. Pertama, objek penelitian. Harus jelas, siapa yang diteliti—misalnya mereka adalah kaum terpinggirkan yang terlibat dalam sejarah, tetapi ‘bisu’. Mereka inilah yang dalam kacamata monumental history[27], dikenal sebagai ‘orang-orang kecil’. Tugas peneliti adalah merangsang ‘pita suara sejarah mereka’, agar dapat ‘berbunyi’.

Salah satu objek yang bisa dikaji adalah perempuan dalam perang. Perang yang selalu membawa konsekuensi kerusakan dan kekerasan[28], juga berdampak bagi perempuan. Pengalaman kekerasan seperti: penyekapan, pemerkosaan, pembunuhan, penahanan—bukan harga mati yang ditutup rapat, tetapi merupakan memori sejarah yang harus diketahui oleh generasi.

Bukan bermaksud mengenang dan membuka luka lama, apalagi meromantisir konflik—sama sekali bukan. Sebaliknya, menjadi ‘ungkapan sejarah’ bagi manusia dan kemanusiaannya. Pengalaman mereka adalah cerminan mentalitas manusia pada zamannya.

Produksi sejarah model ini, bisa dibuat dengan menarik periode pasca kemerdekaan, yang memungkinkan ketersediaan informan[29]. Konflik dan perang terbuka yang terjadi pasca kemerdekaan hingga periode orde baru, meninggalkan setumpuk pengalaman historis yang belum terolah secara kritis. Sejarawan dituntut untuk kritis dalam melihat tema sejarah perempuan—meliuk, masuk, dan menukik tajam, pada tema-tema yang belum terjamah. Dengan begitu, sejarah akan muncul dengan wajah baru yang lebih manusiawi dan adil.

Kedua, metode pengambilan data. Satu metode menarik, yang bisa digunakan sejarawan untuk mengungkap pengalaman perempuan adalah sejarah lisan (oral history) atau model yang baru: tutur perempuan.[30] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tutur berarti: kata, ucapan, atau perkataan.[31] Tutur selalu terjadi dalam komunikasi dua arah, yang di situ ada pengenalan, penerimaan, pertukaran, dan akhirnya internalisasi pertukaran informasi antara penutur dan yang ditutur. Apabila dibubuhi “perempuan” di belakangnya, maka proses komunikasi dua arah itu dilakukan oleh dan antar perempuan.[32]

Saya tawarkan dengan tutur perempuan, karena lebih menyentuh sisi keperempuanan. Ingat bahwa jangan menulis perempuan dalam perspektif laki-laki. Tapi tulislah mereka dengan dimensinya. Sentuhlah dimensi maternalitas mereka, sehingga menghasilkan penulisan sejarah perempuan yang total. Dalam hal ini, empati boleh saja, asalkan kritis.

Untuk bisa melakukan penulisan yang semacam ini, sejarawan harus memiliki ketrampilan lapangan yang tinggi, termasuk pendekatan kultur. Pendekatan ini adalah kunci untuk masuk dalam dimensi perempuan. Tanpa ini, penulisan sejarah akan menjadi kaku. Perlu diingat bahwa dalam penulisan ini, peneliti harus total menggunakan data lisan.

Untuk memperlakukan data lisan ini, peneliti melihat dua arah: pengalaman aktual informan dan pendapatnya terhadap peristiwa. Dua pandangan ini harus dibedakan, agar tidak terjebak dengan tulisan yang sudah ada. Terutama bagi informan yang kritis, mereka biasanya sudah mencampurkan bahasa pengalaman dengan buku.

Kalau tidak hati-hati, peneliti hanya akan menjadi ‘penutur sejarah yang terburuk’[33]. Ini artinya, hanya mengulang cerita, tanpa ada sesuatu yang alami, asli, dan baru. Dengan begitu, informasi aktual dan pandangan informan, harus diperlakukan secara ‘ketat’.

Penutup

Banyak peluang untuk menuliskan sejarah perempuan. Apalagi dengan berkembangnya pendekatan post kolonial yang memungkinkan penggunaan beragam sumber sejarah. Ungkapan no document no history seperti dipopulerkan Leopold Van Ranke, sudah mulai digeser.

Sumber sejarah tidak selalu berwujud dokumen seperti arsip dan sejenisnya, tetapi juga lisan (oral history). Bahkan bagi para pengembang dekontruksi sejarah, sumber sejarah dapat berupa: suara (voice), film, gambar, puisi, dan novel. Permasalahan yang paling mendasar bagi sejarawan hanya satu: Dia paham atau tidak, kalau itu adalah sumber sejarah.

Diperlukan kesadaran bagi sejarawan Indonesia, untuk menuliskan mengenai perempuan. Sungguh memprihatinkan apabila melihat tulisan mengenai perempuan yang menghiasi perpustakaan—selalu ditulis oleh orang asing. Memang diakui, mereka menang dalam metodologi, tetapi sebenarnya Indonesia juga tidak kalah dengan sumber, terutama untuk periode kontemporer. Sayangnya, sejarawan di Indonesia masih enggan beranjak ‘menyapa’ para pelaku, sehingga akhirnya orang asinglah yang mendapat tempat di hati mereka. Harus muncul pemahaman dan perenungan, untuk mengisi ruang kosong sejarah perempuan di Indonesia. Sejarawan perempuan terutama, jangan terlalu larut dengan tema-tema umum yang patriarki, tapi cobalah sentuh dimensi perempuan yang masih ‘bisu’.


Daftar Pustaka

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Bandung: Rafika Aditama. 2001.
 
Badinter, Elisabeth. Unopposite Sex; The of the Gender Battle. New York: Harper and Row Publisher. 1989.

Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?. Yogyakarta: Ombak. 2006.

Carreiras, Helena. Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies. Routledge: Taylor and Francis Group. 2001.

Haryati Soebadio. “Mempelajari dan Belajar Sejarah”. Prisma. Tahun VIII. Agustus 1980.

I Marsana Windhu. Kekuasaan dan Kekekrasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Jenny Firth-Cozens and Michael A. West (ed). Women at Work, Psychological and Organizational Perspective. Philadelphia: Open University Press. 1993.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.

Lucas, Anton E. ”Wanita dalam Revolusi (Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950)”. Prisma. 5 Mei 1996.

Maria Ulfah Soebadio dan Ihromi (ed.). Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Bunga Rampai). Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Muhammad Asfar. ”Wanita dan Politik (Antara Karir Pribadi dan Politik)”. Prisma, 5 Mei 1996.

Ruth Indiah Rahayu. “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”. Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif. Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan. 2008.

Reinharz, Shulamit. Feminist Method in Social Research, a.b. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung. metode-Metode Feminist dalam Penelitian Sosial. Jakarta: Woman Research Institue. 2005.

Safrina Thristiawati. “Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia”. Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif. Yogyakarta. 2-4 Juli 2007.

Soekarno. Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno. 1963.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.1995.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.

Umar Junus. “Betina-Perempuan-Wanita”. Prisma. 4 April 1979.

Vreede-De Stuers, Cora. Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.

Wieringa, Saskia. The Parfumed Nightmare.a.b. Hersri Setiawan. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra. 1998.


Tentang Penulis

Reni Nuryanti, Alumnus Pascasarjana UGM. Menamatkan S1 di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2006. Tahun 2008 terpilih sebagai National The Best Young Researcher in Social and Cultural, Institute for Sciences of Indonesia (LIPI) Jakarta.


[1] Safrina Thristiawati, “Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 1.

[2] Mengenai daftar buku tersebut, lihat Safrina Thristiawati, ibid., hlm. 15-16.

[3] Umar Junus, “Betina-Perempuan-Wanita”, Prisma, 4 April 1979, hlm. 23.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 1125.

[5] Umar Junus, op.cit.

[6] Anton E. Lucas, ”Wanita dalam Revolusi (Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950)”, Prisma, 5 Mei 1996. hlm. 17.

[7] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Korban Kekerasan Seksual, (Bandung: Rafika Aditama, 2001), hlm. 29.

[8] Anton E. Lucas, op.cit.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Menurut Kuntowijoyo, sejarah Indonesia masih bersifat konvensional, hanya dipenuhi tema-tema sejarah politik dan militer, jenis sejarah yang paling menarik perhatian umum. Sejarah politik dan militer adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki. Oleh karena itu rekontruksi sejarah kita bercorak androcentric, karena sejarah berpusat pada kaum lelaki saja. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 115.

[12] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hal. xiv.

[13] Elisabeth Badinter, Unopposite Sex; The of the Gender Battle, (New York: Harper and Row Publisher, 1989), hlm. 158.

[14] Keterangan yang lebih menarik, baca Helena Carreiras, Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies, (Routledge: Taylor and Francis Group, 2001), hlm. 5.

[15] Soekarno, Sarinah, (Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963), hlm. 17.

[16] Muhammad Asfar, ”Wanita dan Politik (Antara Karir Pribadi dan Politik)”, Prisma, 5 Mei 1996, hlm. 3.

[17] Louise Ricklander, ”Women an d Politics”, dalam Jenny Firth-Cozens and Michael A. West (ed). Women at Work, Psychological and Organizational Perspective, (Philadelphia: Open University Press, 1993), hlm. 185.

[18] Ibid., hlm. 17.

[19] Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 113. Contoh tulisan S1 (skripsi) adalah tulisan Fatia Nadia, mahasiswa UGM, Tenaga Kerja Wanita di Perkebunan Teh Malaber—Afdelingen Cianjur Regentshapen Priangan tahun 1880-1900. Sedangkan contoh tesis (S2), juga dari UGM, Soedarmono, Munculnya Kelompok Pengusaha Batik di Laweyan pada Awal Abad XX, 2005. Keterangan lanjut, Lihat Kuntowijoyo, Ibid., hlm. 120-121 dan 126.

[20] Di Amerika Serikat, perkembangan pesat mengenai kajian tentang wanita, tidak lepas dari menguatnya feminisme. Peranan wanita tidak hanya dipahami sebagai fenomena perubahan sosio-kultural dari suatu masyarakat tertentu, bahkan di Amerika Serikat, gerakan wanita telah mencapai suatu tahap keilmuan. Artinya, gerakan feminisme di sana telah mampu mengembangkan fenomena peranan wanita menjadi suatu kajian ilmu sendiri, bahkan menjadi subfield yang penting dalam ilmu politik. Muhammad Asfar, op.cit., hal. 5. Tidak hanya itu, penelitian yang dilakukan oleh Michelle Zimbalist Rosaldo dan Louise Lamphere (terbitan Stamford University Press, Stamford California, tahun 1974), melihat bahwa memang dalam banyak kebudayaan, ada kecenderungan bahwa peranan wanita terbatas pada hal-hal tertentu yang ada hubungannya dengan fungsi melahirkan anak. Tetapi hal itu tidak mutlak demikian, karena cukup banyak masyarakat yang memberi kepada wanita fungsi-fungsi yang dianggap sebagai khas fungsi pria, seperti: mengepalai kerajaan, menjadi pemimpin agama, dan menjadi pemimpin peperangan. Maria Ulfah Soebadio dan Ihromi (ed.), Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Bunga Rampai), (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. x.

[21] Penulisan sejarah yang bersifat andocentric dimaksudkan sebagai model penulisan sejarah yang bercorak patriarki yakni menggunakan pola kekuatan laki-laki sebagai simbol kekuatan sejarah. Penulisan sejarah yang semacam ini cenderung menggunakan materi yang bersifat politik militeristik—dua kekuatan ini adalah kecenderungan yang terdapat pada laki-laki. Penulisan sejarah yang semacam ini dianasir telah meminggirkan peran perempuan dalam sejarah sekaligus menghapus keberadaannya.

[22] Penulisan sejarah androgynouscentric, dimaksudkan sebagai model penulisan sejarah dimana baik kaum laki-laki dan perempuan bersama bersama mengambil bagian di dalamnya.

[23] Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan, Makalah Workshop Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hal. 6. Lebih lanjut lihat Ismail Sofyan, dkk, Wanita Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Agung Offset, 1994).

[24] Mengenai alasan politis Ny. Abendanon dalam menerbitkan Surat-Surat Kartini, Alisa Thomson Zainuddin mengemukakan dua hal: menunjukan hasil pendidikan Barat, dan menggunakan uang penghasilan dari penerbitan buku ini untuk meneruskan pekerjaan mendidik gadis-gadis Jawa. Keterangan lebih lanjut, lihat Wieringa, Saskia, The Parfumed Nightmare.a.b. Hersri Setiawan, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia sesudah 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1998), hlm. 10.

[25] Ibid.

[26] Keterangan selanjutnya, baca Shulamit Reinharz, Feminist Method in Social Research, a.b. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung, metode-Metode Feminist dalam Penelitian Sosial, (Jakarta: Woman Research Institue).

[27] Keterangan yang menarik mengenai penjelasan monumental history, baca Haryati Soebadio, “Mempelajari dan Belajar Sejarah”, Prisma, Tahun VIII, Agustus 1980.

[28] Penjelasan lanjut, baca I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekekrasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

[29] Dalam penelitian kualitatif, termasuk sejarah, tidak digunakan istilah responden, tetapi informan. Responden sifatnya hanya merespon, bukan memberikan informasi, sebagaimana informan.

[30] Metode tutur perempuan diperkenalkan antara oleh Yayasan Kalyanamitra, Jakarta. Sebagai contoh, pernah dituliskan dalam makalah Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan.

[31] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002). hlm. 1231.

[32] Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 13.

[33] Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 192.
Share:

Memunculkan Karakter, Menguatkan Identitas; Peran Guru dalam Mencipta Kualitas Pendidikan melalui Optimalisasi IESA Quotiens



Saya mempunyai keyakinan, bahwa seandainya bangsa kita tidak putus naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang.
(Ki Hadjar Dewantara)

Guru, digugu lan ditiru atau dengan kata lain: dipatuhi dan diteladani. Menjadi guru berarti menyandang tanggungjawab untuk: membimbing, memotivasi, sekaligus menjadi pemimpin yang mencitrakan keteladanan. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya piwulang: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Menyinggung piwulang tersebut, ada hal penting yang harus dimunculkan oleh guru di era globalisasi yang sarat tantangan. Mereka harus punya bekal yang dinamakan profesionalitas yang menunjuk pada kemampuan: akademik, praktik, dan moral yang mencakup sikap: jujur, tanggungjawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli.

Ketiganya harus berjalan berirama, sehingga akan memunculkan sosok guru yang berkualitas. Salah satu cara adalah membangun pendidikan yang berbasis kearifan lokal, tanpa mencabut akar budaya. Semua ini dilakukan untuk mewujudkan karakter dan identitas peserta didik—dua komponen pokok yang membentuk jati diri.

Komponen ini menjadi agenda besar pendidikan di Indonesia. Karakter yang bertumpu pada nilai moral adalah pondasi, sedangkan identitas adalah cerminan bangsa yang berbudaya. Untuk membentuk keduanya, sentuhan kontinyu harus dilakukan pada sisi psikologis yang bernama mental.

Para guru dapat berkreasi secara aktif. Pendidikan berkualitas tidak musti selalu mengedepankan fasilitas berbasis IT. Justru yang penting dan mendasar adalah mengembangkan dimensi lokal. Ada mutiara hikmah yang membentuk manusia secara utuh. Paulo Freire mengingatkan bahwa guru tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi harus memerankan diri sebagai pekerja kultural (cultural workers) yang melandaskan kearifan. Sebuah dimensi penting berbasis IESA (Intelectual, Emotional, Spiritual, And Adversity Quotiens), menjadi garda depan dalam membangun kualitas pendidikan.

Pendidikan Berkarakter, Pendidikan Masa Depan

Membentuk manusia berkarakter, menjadi agenda besar pendidikan masa depan. Jerman FW Foerster, salah satu perintis pendidikan karakter, mengatakan bahwa model ini merupakan sintesis sekaligus alternatif mengatasi kejumudan model: natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Agenda tersebut seharusnya melekat pada guru sebagai salah komponen dasar keberhasilan pendidikan. Keberhasilan tersebut bukan hanya disimbolkan dengan pemberian nilai akademik yang tercermin secara kognitif. Namun demikian, tertera pada pembentukan sikap mental peserta didik yang merupakan bangunan: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pendidikan sebagai sebuah ‘komunikasi’ antara fisik dan mental peserta didik, seharusnya dikembangkan secara tepat dalam upaya membentuk manusia yang merdeka serta memiliki: martabat, mentalitas, dan sikap demokratik. Sifat inilah inilah yang akan menumbuhkan karakter. Karena itulah menurut Driyarkara, komunikasi ini harus terus dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan.

Niccolo Machievelli menuliskan bahwa karakter yang kokoh mampu menggantikan kekurangan kodrati yang tumbuh secara alamiah dengan penyempurnaan yang terus menerus. Dengan demikian menurut Martin Buber, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari orang lain yang membentuk kepribadian. Campur tangan orang lain adalah penentu yang mampu merubah dan membina karakter. Di sinilah peran guru menjadi kunci. Lebih jauh, Foerster menyinggung bahwa karakter merupakan jalan untuk menjadi identitas untuk mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

IESA Quotiens; Komponen Pokok Pembentukan Pendidikan Berkarakter

Manusia secara umum dikarunia tiga kecerdasan yaitu: intelektual, emosional, dan spiritual. An. Ubaedy menambah satu lagi, Adversity Quotient (AQ). Lalu apa kaitanya dengan peran guru dalam membentuk pendidikan berkarakter?

Pertama, kecerdasan intelektual dibedakan menjadi delapan kelompok yakni: Kecerdasan Linguistik (Lingusitic Intellegence), Kecerdasan Logika-Matematika (Logical-Mathematical Intellegence), Kecerdasan Spasial (Spatial Intellegence), Kecerdasan Kinestetik Tubuh (Bodily-Khinestetic Intellegence), Kecerdasan Musikal (Musical Intellegence), Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intellegence), Kecerdasan Intrapersonal (Interpersonal Intelligence), dan Kecerdasan Naturalis (Natural Intelligence).

Semuanya merupakan modal pokok yang seharusnya dipahami oleh seorang guru. Tiap siswa mempunyai kecenderungan dalam mengolah kecerdasan. Tugas guru adalah membimbing dan memotivasi agar mereka mampu memaksimalkan sebagai kunci kesuksesan hidup.

Secara emosional, kesuksesan ini kemudian ditunjang oleh kecerdasan emosional. Intelektual saja tidak cukup. Tanpa dukungan sikap emosi yang tangguh, manusia menjadi egois. Sikap ini yang terkadang membuat seseorang terpuruk dalam hubungan sosial. Tidak heran, muncul sindiran, “Cerdas tapi tak mampu mengolah hidup.” Inilah yang harus dijembatani. Quraish Shihab misalnya mengatakan, akal dan hati harus berpadu dalam membangun pengetahuan, termasuk dalam pendidikan. Pengetahuan tidak hanya digerakan oleh akal, tetapi juga hati. Singkatnya dikatakan, fungsi hati adalah meneguhkan akal.

Keteguhan tersebut akan lebih mengakar apabila ditopang oleh kecerdasan spiritual. Bagian ini yang kadang kurang disentuh, padahal sangat utama dalam kehidupan. Makna spiritual adalah mendekatkan manusia, dalam hal ini peserta didik, kepada hakikat dan nilai-nilai ketuhanan.

Kesadaran pada hakikat Tuhan inilah, yang membuat manusia tunduk dan patuh pada kebenaran. Ia akan menjalankan roda kehidupan berdasar ketentuan dan aturan yang universal, sekaligus mengandung makna ukhrawi. Ari Ginanjar Agustian, pencetus ISQ Power, menuliskan bahwa titik Tuhan (God Spot) itu tercermin dari laku manusia yang selalu mengembalikan aktivitasnya sebagai implementasi nilai-nilai ketuhanan. Ketika manusia mengingat Tuhannya, segala aktivitas bukan hanya bermakna humanis, tetapi juga agamis. Ini artinya, ada proses perubahan dari keyakinan (believes) menjadi perilaku (behaviours).

Agama bukan hanya menjadi ilusi infantil—tempat berkeluh kesah sementara—tetapi menjadi tujuan akhir, termasuk menjembatani ketika filsafat dan ilmu pengetahuan tak lagi mampu menjawab persoalan hidup. Titik kulminasi dari kejenuhan menjawab masalah ilmu pengetahuan, hanya dapat ‘ditanyakan’ secara langsung kepada agama.

Selanjutnya ketika kesulitan hidup menghampiri, AQ ‘menyapa’ dengan optimis. Kesulitan bukan menjadi halangan apa lagi titik akhir untuk menjalani kehidupan. Justru semua itu adalah pelajaran dan pendidikan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Kesulitan justru menjadi peluang, sekaligus tantangan kehidupan. Keberanian menghadapinya adalah keputusan terbijak. Kekuatan mengolahnya, adalah manifestasi kecerdasan.

Persoalan semacam ini, sudah menjadi fenomena umum dalam dunia pendidikan. Beragam masalah kerap melanda peserta didik. Kadarnya beragam, bisa ringan maupun berat. Kompleksitas yang terangkai di dalamnya adalah komponen pelajaran hidup yang harus dihadapi dengan penuh keberanian. Seperti dikatakan oleh RA. Kartini, “Maju dan berani! Semua harus diawali dengan keberanian! Barang siapa tidak berani, dia tidak akan mampu mengarungi tiga perempat dunia.”

Karakter dan Identitas Berbasis IESA Quotiens; Pilar Manusia Masa Depan

Kualitas seorang guru bukan hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi seberapa besar ia mampu membangun: karakter dan identitas. Inilah pola pemikiran yang harus dibangun di tengah perubahan zaman. Beragam masalah yang timbul pada peserta didik seperti: tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba—wujud memudarnya karakter dan identitas peserta didik.

West C. mengingatkan, kejahatan manusia (brutality) merupakan tanda menurunkanya moral manusia yang sekaligus menandai lemahnya karakter dan indentitas mereka. Dari sisi kecerdasan, IQ yang tidak diimbangi dengan EQ dan SQ, hanya akan menjerumuskan manusia pada ‘malapetaka kehidupan.’ Dengan demikian, tugas guru sebenarnya sangat kompleks. Secara filosofis, ia memegang 3 peran: epistimologi, aksiologi, dan metafisika (forma). Sedangkan secara praktik, ia menggenggam peran sebagai: teladan, pembimbing, sekaligus pemimpin.

Dengan filsafat epistemologi, guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Sedangkan filsafat aksiologi, mengarahkan guru untuk memahami kebutuhan warga belajar, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keduanya akan terekam kuat dalam diri peserta didik, apabila dilandasi oleh keyakinan yang kokoh. Keyakinan ini dilandaskan pada jembatan trasendental yang dinamakan agama.

Kekokohan tersebut akan lebih terlihat, jika didukung oleh kearifan lokal. Jangan anggap enteng nilai-nilai lokal, karena dari sinilah bermulanya sebuah identitas. Bangsa Indonesia sedang dilanda ‘penyakit akut’ yakni kehilangan identitas. Bahkan sebuah sindiran pedas sering didengar, “Orang Indonesia kalau tidak ke-Barat-Baratan, ya Ke-Arab-Araban.” Lalu di mana identitas Indonesia yang katanya berakar pada nilai budaya bangsa nan luhur? Di mana adat ke-Timuran yang menjunjung moral?

Persoalan tersebut dapat disemai melalui pendidikan. Peran guru sebagai teladan menjadi sangat sentral. Ia bukan hanya berkewajiban menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga moral sebagai kaidah pokok pembentukan karakter peserta didik.

Mau tidak mau, harus diakui bahwa mental dan identitas manusia Indonesia sedang berada di persimpangan antara ‘pingsan dan ‘mati suri’. Tugas guru adalah menghidupkan karakter dan identitas peserta didik sebagai bagian dari masyarakat yang akan menjadi pemimpin. Paul Suparno misalnya mengatakan, “Bangsa Ini tidak maju sebenarnya bukan pertama-tama karena anak-anak tidak baik, tetapi karena banyak orang tua, orang dewasa, termasuk pimpinan yang tidak berkaraketer baik.” Wakil presiden, Budiono, juga mengatakan, “Seorang pemimpin bukan hanya harus terampil dan pandai, tapi juga harus memiliki karakter. Karakter ini yang akan menentukan seorang pemimpin lebih unggul daripada pemimpin lain, apalagi kita harus bersaing di kancah globalisasi dunia di berbagai bidang. Karakterlah yang akan menguji seorang pemimpin di saat yang sulit. Apakah bisa benar-benar menjadi pemimpin, atau malah hanya sebagai pengikut dan penonton saja." Singkat kata menurut Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta mengingatkan, ”Pendidikan karakter dapat menjadikan individu ''smart and good''.

Dengan demikian, menjadi guru berarti harus siap untuk menjadi ‘empu’ yang menempa, membentuk, dan mencipta manusia masa depan yang berkarakter dan punya identitas nasional yang kokoh. Dua pilar inilah yang akan mewujudkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, komponen utama kualitas pendidikan bertumpu pada: kemampuan (capability) guru dalam ‘mengolah’ mental peserta didik.

Kualitas peserta didik ditentukan pada optimalisasi kecerdasan yang ditopang kekuatan: intelektual, emosional, spritual, dan kekuatan memanfaatkan peluang dalam kehidupan. Optimalisasi kecerdasan yang ditopang oleh kearifan lokal, akan memunculkan bentuk identitas yang utuh sebagai manusia Indonesia. Sehebat apapun pendidikan, jangan sampai mencabut akar budaya lokal. Sebaliknya, justru menjadikannya tonggak masa depan bagi peserta didik.

Penutup

Menjadi guru, berarti harus siap untuk membentuk dan mencipta manusia masa depan yang berkarakter dan punya identitas nasional yang kokoh. Dua pilar inilah yang akan mewujudkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, komponen utama kualitas pendidikan bertumpu pada: kemampuan (capability) guru dalam ‘mengolah’ mental peserta didik.

Kualitas peserta didik sebagai in put yang telah merasakan olah throught put, ditentukan pada optimalisasi kecerdasan yang ditopang kekuatan: intelektual, emosional, spritual, dan kekuatan memanfaatkan peluang dalam kehidupan.

Optimalisasi kecerdasan yang ditopang oleh kearifan lokal, akan memunculkan bentuk identitas yang utuh sebagai manusia Indonesia. Sehebat apapun pendidikan, jangan sampai mencabut akar budaya lokal. Sebaliknya, justru menjadikannya tonggak masa depan bagi peserta didik.
Share:

Selasa, 01 November 2016

LANGIT UNTUK BINTANG


Seekor weling merayap pelan. Matanya menatap tajam mangsa yang ada di depannya. Perut kembang kempis menunjukan hasrat memakan korban. Ia terus berjalan sambil menjulurkan lidah. Pelan dan pasti. “Hap!” Mangsa dililit kuat-kuat meski terus meronta. Segala daya dikerahkan untuk melepas lilitan. Ia meronta dan terus meronta, hingga akhirnya:

“Tolong! Tolong ! Tolong!” 

Bintang berteriak hingga serak. 

Seketika tetangga lari blingsatan. Rumah kos berisi tiga kamar itu, seola
h guncang. Ranjang reot milik tiga penghuni serasa ambruk. Teriakan Bintang membuat nyamuk bringas beterbangan. Cicak memaku dalam remang. Kodok yang sedang berpesta di genangan air, sejenak terdiam. Suasana panik dalam teriakan ketakutan.

“Ada apa, Mbak Bintang?” 

Pintu kamar digedor berkali-kali. Mata Bintang terbelalak. Secepat kilat ia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Dua tetangga kamar berdiri memaku. Yuni si gadis Batak erat memeluk guling. Sementara Mimin si ‘pujakesuma[1] sibuk merapikan rambut panjangnya. Wajah kusut mereka menunjukan kepanikan. 

“Aku digigit ular.”

“Hah! Mana? Mana? Mana ularnya, Mbak?” Tanya Yuni dan Mimin dengan nada bercampur kepanikan.

“Rupanya hanya mimpi. Bukan ular sungguhan,” jawab sambil menggaruk kepala.

Bintang terdiam. Mimin dan Yuni senyum-senyum sambil menggoda.

“Ularnya cakep apa tidak, Mbak?” 

“Ah, kalian! Masih saja bercanda.”

Bintang menutup pintu. Ia terdiam mengusir bimbang. Pikirannya melayang pada cerita-cerita yang kerap diumbar banyak orang. Tafsir mimpi digigit ular memang lekat di hati masyarakat. Tak jauh-jauh dari pertanda: jodoh telah tiba. 

Jarum jam bergerak ke angka empat. Berkali-kali Bintang menarik nafas panjang. Tak lama kemudian, perempuan berbadan ramping itu beranjak untuk bersuci. Bintang lalu tenggelam dalam lautan sajadah. Sejam kemudian, nama Tuhan disebut lewat alunan adzan. Bintang membuka hari dengan satu pertanyaan, “Apa maksud mimpiku malam ini?” 

Bukankah ular bukan pertanda kebaikan? Ia diyakini sebagai jelmaan jin. Ular masuk dalam mimpi buruk untuk menggelisahkan anak Adam. Bukankah begitu Nabi mengatakan? Bintang berpikir bahwa ular adalah pertanda jeratan. Bukankah makhluk melata ini gemar menjerat mangsa dengan juluran dan lilitannya. Mudah-mudahan, jerat kebahagiaan. Sebab Bintang memang sedang resah menunggu jodohnya. Akankah pertanda, laki-laki yang diimpikan telah datang untuk menjerat hatinya?

***

Dua bulan berlalu semenjak Bintang memberi amplop warna biru. Dua lembar surat terselip di dalamnya. Tertuang jawaban yang sebelumnya ditunggu laki-laki bernama: Fardan. “Aku menerimamu kembali, Far. Tetapi, mungkinkah kita mampu mereguk makna bahagia? Seperti Adam yang setia pada Hawa atau bahkan Muhammad yang menyejarah cintanya kepada Khadijah?” Kini Bintang menunggu. Kapan kiranya Fardan membalas suratnya. Sebab di akhir tulisan Bintang bilang, “Aku menunggu jawabanmu.” 

Dua bulan berlalu. Fardan belum memberi kepastian. Padahal saat terakhir berjumpa di Yogyakarta ia bilang, “Bintang, maukah engkau menerimaku kembali. Kendati waktu dan jarak sempat memisah?“ Tak perlu banyak waktu untuk bilang: “iya”, sebab Bintang masih berharap pada Fardan. Namun harapan berubah ketidakpastian. Ibarat musim, hujan berubah kering. Kemarau. Tandus. Gersang. Bintang merasakan kibasan badai kebimbangan. Menunggu, biarpun menyakitkan. 

***

“Mbak Bintang, ada tamu.”

Suara lembut Mimin membuat Bintang berhenti menggores pena. Sejak kuliah, Bintang menempa diri di dunia menulis. Artikel, cerpen, novel, hingga buku sudah dibuatnya. Bintang menulis bukan sekedar memenuhi hasrat hobi. Lebih dari itu katanya, “Aku menulis untuk hidup. Hidup jiwa. Hidup hati. Hidup pikiran. Juga hidup perut.“ Bintang tak bisa bersandar pada penghasilan pas-pasan. Semenjak merantau ke Serambi Mekah sebagai dosen, ia memang harus ekstra berjuang. Gajinya tak sanggup untuk bayar kontrakan dan kebutuhan yang lain. 

Dosen: kertase sak dus, duwite sak sen[2], begitulah kiranya ungkapan yang tersemat untuk dosen muda di kampus swasta. Tapi bukan itu sebenarnya. Bagi Bintang, pengabdian yang dinaungi ketenangan, jauh lebih menghidupkan. Bergelimang materi bukan menjadi bukti menjadi manusia sejati. Sebab tujuan hidup adalah mengejar yang satu: keridhaan Tuhan. Apa, di mana, dan bagaimanapun, jika Tuhan ridha, maka yang terlekat adalah: kebahagiaan. 

Universitas Hasjimi bagi Bintang adalah lumbung pengalaman. Pahit-manis hidup dalam perbedaan budaya, membuatnya harus bertahan. Dalam bimbang yang kadang menyerang, Bintang merindukan sosok kawan. Fardan adalah sandaran harapan. Namun waktu tak segera memberi jawaban. Haruskah Bintang berpaling, tak lagi memicingkan mata pada kumbang-kumbang yang datang?

“Siapa, Min?”

“Dua lelaki, Mbak. Penampilannya sangat rapi.” 

Bintang digerus rasa penasaran. Ia menghampiri Mimin. Hatinya terus menoreh tanya, “Siapa ya?” Tak lama kemudian, ia berjalan tergesa. Mata Bintang terbelalak saat membuka pintu. Dua laki-laki berbadan tegap dan berkulit putih duduk di kursi. Mereka mematung melihat Bintang. Kikuk, itulah yang dirasakan keduanya. Lelaki bernama Langit dan Panca itu saling pandang. Sementara Bintang salah tingkah dengan raut muka memerah.

“Maaf, ini dengan Mbak Bintang?” 

Panca, menyapa dengan nada seolah tak percaya. Bintang jadi bingung, kenapa laki-laki yang sebelumnya pernah ia kenal lewat cerita mahasiswanya itu, seolah heran melihat dirinya. Bintang memang tahu sedikit tentang lelaki yang belum dua tahun menyandang gelar duda ini. Istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua. Kabarnya, Panca sedang mencari pengganti sang istri, perempuan tercantik di kampungnya yang juga anak pengusaha. 

Kepergian sang istri, membuat Panca kehilangan pegangan. Ia kasihan melihat anaknya yang tumbuh tanpa dekapan seorang ibu. Panca terpaksa menitipkan gadis mungil bernama Syifa itu kepada ibunya. Ia sendiri bekerja sebagai penyuluh di Gampong[3] Rayeuk. 

Empati tentang Panca, memang pernah merasuk ke jiwa Bintang. Saat itu mahasiswanya bilang, “Ibu, menikah saja dengan Pak Panca. Orangnya sangat baik.” Bintang memandang sesaat kepada lelaki yang dari kejauhan tampak sigap menjaga anaknya. Kejadian itu rasanya belum lekang dari ingatan Bintang. Sebab hanya seminggu berselang saat Bintang jalan-jalan ke balai kota. Kini, laki-laki bermata sendu itu hadir, tepat di depannya. 

“Iya, betul. Saya Bintang. Ada apa ya?”

“Saya sangat menyukai tulisan Mbak di koran Serambi. Kalau tidak salah, judulnya Khadijah; Cinta yang Tak Lekang. Saya berulang-ulang membaca dan merenungkannya.”

“Terima kasih sebelumnya, sudah baca tulisan saya.”

“Ya, mungkin Mbak Bintang kaget dengan kedatangan saya dan Langit ke mari. Saya ingin bertemu langsung dengan Mbak. Barangkali, saya bisa belajar menulis. Almarhumah istri saya juga suka menulis. Hanya saja, tidak pernah dipublikasikan.”

“O, begitu. Baiklah, kita atur saja waktunya.”

“Begini saja, Mbak Bintang,” sela Langit dengan suara lembut.

“Ya, bagaimana Mas?”

“Setiap Jumat sore di pendopo ada pelatihan menulis. Bagaimana kalau Mbak ikut membagi ilmu di sana. Bang Panca juga bisa sekalian hadir.”

“Hemm…bisa juga. Kebetulan, kalau Jumat sore saya jarang ada kegiatan.”

***

Sebulan berlalu semenjak kedatangan Langit dan Panca. Bintang gelisah. Ia terngiang dengan e-mail Panca yang dikirimkan kepadanya.

“Mbak Bintang, bolehkah aku memanggil dengan nama: Bintang? Rasanya lebih akrab karena umur Bintang juga jauh lebih muda dari saya. Kita terpaut hampir delapan tahun. Bintang, aku hampir dua tahun menduda. Anakku menginjak usia dua tahun. Ia mendamba ibu. Aku sudah berusaha untuk memberi. Namun Tuhan belum mengamini. Anakku pernah melihatmu di toko buku. Saat itu, engkau tersenyum padanya. Ia girang. Ia senang. Seolah menyangka, engkau ibunya. “Papa, itu mama ya?” Suara cedalnya, Bintang. Aku tak sanggup. Aku tak kuasa mendengarnya. Aku ingin Nafisa hadir. Tapi itu tidak mungkin. Haruskah aku menggali kuburnya. Membuka kafannya. Aku terlalu cinta. Ia sempurna bagiku.” 

“Bintang, anggaplah aku pengemis atau bahkan gila. Tapi aku susah mencari cara. Bintang, kamu masih ingat Langit kan? Aku berharap, engkau menjadi pendampingnya. Dia baik lagi sederhana. Aku kenal dekat dengannya. Bahkan saat aku merasa hancur sejak kepergian Nafisa, Langit menampung kesedihanku. Bara semangatnya menghangatkan jiwaku yang beku. Berhari-hari aku meratapi nasib. Tapi Langit membuka pintu harapan: kehilangan seseorang tak berarti hilang segalanya. Setidaknya jika Langit bersamamu, Syifa bisa merogoh kasih sayangmu. Sebab aku tak pantas buatmu.”

Bintang terkejut membaca pernyataan Panca. Prasasti penerimaan yang sedang dipahat, hancur berkeping. Mungkin bagi Panca, Bintang tak lebih bersinar dibanding Nafisa. Apalagi posisi sebagai perantau, membuat Panca harus berpikir panjang. Terlalu banyak aral melintang. Doa berakhir pada satu kata: mundur. Bintang juga tak habis pikir, apakah Langit memang kado Tuhan untuknya. Sebab aneh rasanya, kenapa ia sanggup membuat Panca membuang perasaan padanya.

***

“Bintang, aku ingin meminangmu.”

Langit mengucap lembut lewat ponsel. Bintang terdiam. Ia menggantung jawaban. Bagi Bintang, Langit memang istimewa. Saat Panca mengajak ke kostnya, hati Bintang berdesir. Langit, guru muda yang baru dua tahun menyandang pegawai. Ia sosok sederhana yang setia menaiki cup 70. Panca tahu segala kekurangan hidup Langit. Bahkan katanya, “Bintang, engkau harus sanggup makan nasi campur garam.” Perkataan Panca membawa nilai tersendiri pada Langit. Tak bisa dipungkiri, keteduhan wajah Langit seolah jadi cahaya buat Bintang. 

Namun Bintang masih ragu. Ada Fardan di hatinya. Masih saja, nama laki-laki yang sudah dikenalnya sejak kuliah ini, nongkrong di ruang hatinya. Bintang bimbang dalam penantian. Sudah dua bulan suratnya dilayangkan. Tak ada tanda-tanda Fardan akan mengirim jawaban. Bintang mencoba menghubungi Fardan. Berkali-kali ia memencet nomor tujuan. Namun jawaban sungguh menyakitkan: “Nomor yang anda hubungi sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.” Bintang tak putus asa. Ia tetap menunggu. Suatu hari Fardan akan memberi jawaban. Mungkin lewat panggilan atau sekedar pesan.

Hari berganti. Bulan berlalu. Fardan tak kunjung menghubungi. Bintang mulai berpikir, mungkin ini jawaban Tuhan atas segenap curahan hatinya. Hingga dua minggu kemudian, ia memberi kejutan pada Langit. Dalam hening malam. Saat manusia larut dalam kantuk. Saat badan membujur dalam mimpi. Bintang berucap pelan, “Mas Langit, aku menerima pinanganmu.” 

Bintang teringat pada mimpinya beberapa bulan lalu. Gigitan ular adalah jeratan. Langit menjerat hatinya untuk menerima hadiah yang dinanti perempuan: kepastian. Sejak itu, Bintang pelan-pelan membuang ingatan pada Fardan. Tak ada lagi tempat di hati, meski sehari setelah itu Fardan mengirim jawaban.

“Bintang, aku sudah beli sepeda motor baru. Aku bekerja keras demi memberi yang terbaik untukmu. Kamu kan tahu, aku hanya punya ‘astuti butut’. Mana mungkin sanggup membawa kita jalan-jalan keliling Yogyakarta. Aku berjanji pada diriku, akan menghubungimu jika motor impian itu sudah ada di tangan. Maafkan aku Bintang, jika membuatmu bimbang. Tapi percayalah, aku akan selalu setia untukmu.” 

Bintang meneteskan air mata. Bibirnya berucap lirih, “Terlambat.”  [selesai]

[1] Pujakesuma adalah sebutan untuk orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatera.
[2] Ungkapan berbahasa Jawa yang artinya: kertas satu dus, uang hanya satu sen.
[3] Gampong adalah kata berbahasa Aceh yang artinya dengan kata: desa/kampong. 

Share:

Arsip Blog

Artikel Terbaru