Senin, 07 November 2016

Perempuan dalam Sejarah Indonesia; Antara Ada dan Tiada

Pengantar

Penulisan mengenai sejarah perempuan di Indonesia, memang masih ‘miskin’. Sebenarnya, bukan hanya mengenai sejarah perempuan, buku-buku yang khusus menuliskan tentang perempuan dalam perspektif kritis, pun sangat minim. Berita yang mengejutkan tertera dalam tulisan Safrina Thristiawati, Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia. Ia menulis, “Sejak lengernya Suharto tahun 1998, lebih dari 1700 buku mengenai sejarah telah diterbitkan di Indonesia, namun hanya sekitar 2% (34) yang membahas perempuan”[1]. Lebih parah, dari 34 itupun, hanya 16 yang bisa disebut tulisan sejarah dan sebagian besar ditulis oleh orang asing.[2]

Ke-16 tulisan tersebut juga masih didominasi oleh model biografi yang membawa kaum elit. Sebagai contoh adalah Kartini yang terus ditulis dalam beragam versi, tetapi tidak ada kebaruan yang bermakna. Tulisan akademik yang berbentuk penelitian mendalam dan dibukukan, tidak tampil. Demikian juga penulisan perempuan yang mencoba menampilkan sosok ‘kaum akar’ secara jernih, sama sekali tidak tampak.

Kondisi ini cukup memprihatinkan, di tengah banyaknya penulisan sejarah—berperspektif laki-laki dan oleh laki-laki. Apa yang membuat penulisan sejarah bertema perempuan di Indonesia begitu miskin? Tulisan ini akan menjelaskan tentang: konsep perempuan, bagaimana posisi perempuan dalam penulisan sejarah yang diwarnai budaya patriarki, dan pendekatan feminisme untuk penulisan sejarah perempuan.

Perempuan atau Wanita?

Sering muncul perdebatan dalam membicarakan kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’. Ada yang sepakat dengan keduanya, tetapi tidak sedikit menyebut ‘betina’. Namun yang terakhir, ‘betina’, jarang dipakai, karena dipandang berkonotasi dengan binatang, yaitu sebagai lawan kata ‘jantan’.[3]

Agar lebih jelas, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kata ‘wanita’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘wanita’ diartikan sebagai: perempuan dewasa, kaum putri dewasa.[4] Pemaknaan wanita dewasa, kaum putri dewasa, umumnya mengarah pada peran-peran sosial yang disandangnya, dalam hal ini peran sebagai istri dan ibu.

Dalam bahasa Jawa, ‘wanita’ diartikan dengan istilah wani ditata, yang maksudnya adalah dapat diatur. Dalam perluasan istilah Wanita Jawa, kata ‘wanita’ konon juga berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Pernyataan ini menunjukan bahwa seorang wanita adalah sosok yang berani menderita, bahkan untuk orang lain.[5]

Sementara itu Anton E. Lucas, secara implisit membahasakan kata ‘wanita’ dengan istilah kaum bervagina dan harus diatur oleh kaum berpenis (karena hanya terdapat dikotomi jenis kelamin).[6] Istilah lain menyebutkan bahwa kata ‘wanita’ berasal dari bahasa Sansekerta, ‘wan’, yang berarti ‘nafsu’, sehingga kata ‘wanita’ mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks.

Menurut Siusana Kwelja sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, kata ‘wanita’ menunjuk makna pada pemelihara yang sabar, pasif, diam, dan menjadi pesakitan, kurang standar, tidak diharap untuk menonjolkan diri, dan boleh berprofesi, tetapi kurang diakui perannya.[7] Karena makna yang terkesan subordinatif inilah, dalam rangka membangun citra di kalangan publik, kata ‘wanita’ menjadi tidak dipilih.

Selanjutnya, mengenai kata ‘perempuan’. Dilihat dari bahasa Sansekerta, ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang berarti kemandirian.[8] Menurut Raudal Tanjung Banua sebagaimana mengutip pendapat Imam Budi Santoso, kata ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang secara harfiah berarti orang yang ahli atau berprestasi dalam bidang tertentu, yang mendekatkan pada sosok ibu.[9]

Hampir senada Prasetio Murniati menjelaskan, kata ‘perempuan’ berasal dari bahasa Melayu, yang berarti empu atau induk yang memiliki arti memberi yang hidup.[10] Pemaknaan ini terlihat lebih dinamis, dibanding kata ‘wanita’, meskipun dalam beberapa hal, kata ‘wanita’ juga sering digunakan. Sebut saja perkumpulan Wanito Utomo, organisasi putri Budi Utomo.

Dari penjelasan kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ yang telah diuraikan, penulis lebih memilih kata ‘perempuan’. Ada beberapa alasan, diantaranya: pertama, kata ‘perempuan’ mengarah pada makna yang otonom—perempuan bukan lagi sebagai objek seks (the second sex). Kedua, kata ‘perempuan’ menunjuk makna kemandirian. Ini artinya, perempuan bukan makhluk yang selalu tergantung pada laki-laki. Ia sosok yang bisa berdiri sendiri, meski disisi lain tak bisa dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu kesatuan.

Sejarah Perempuan dalam Budaya Patriarki

Satu kata yang sering terlupa ketika menjelaskan suatu sejarah: ‘perempuan’. Namanya seolah menjadi ‘klien’ atas ‘patron’: laki-laki. Terlebih, ketika secara tidak sadar sejarah menjadi tempat menambatkan budaya patriarki ‘berwajah laki-laki’, posisi perempuan makin ditinggalkan. Ada kesan bahwa sejarah hanya milik kaum laki-laki yang berkutat dalam porsi sejarah politik dengan tema-tema konvensional yang melahirkan peperangan dan heroisme.[11]

Secara metodologi menurut Bambang Purwanto, sejarawan UGM, fenomena ini sebagai implikasi ketidakmampuan tradisi Indonesiasentris dalam menghadirkan masa lalu rakyat secara optimal. Banyak orang, baik secara individu maupun kelompok, tidak memiliki sejarah atau dianggap tidak memiliki sejarah, walaupun mereka semua memiliki masa lalu. Kondisi ini memunculkan situasi atau ungkapan-ungkapan seperti: rakyat tanpa sejarah, sejarah tanpa rakyat, sejarah tanpa perempuan, dan perempuan tanpa sejarah.[12]

Asosiasi yang muncul adalah perempuan sebagai simbol kedamaian (beautiful souls) yang selalu diam, tenang, mengalah, sementara laki-laki diasosiasikan sebagai ‘perang’ yang sarat tantangan. Elisabeth Badinter dalam Unopposite Sex; The of the Gender Battle juga menuliskan, “Ever since homo sapiens, there have always been two activities that were the respective prerogatives of man and woman: hunting and war are masculine, mothering is feminime”.[13]

Pernyataan semacam ini terlalu patriarki dan cenderung mengarah pada sifat dominasi. Terlebih ketika perang dianggap sebagai ekspresi karakter maskulin, nilai-nilai feminitas dengan sendirinya terpinggirkan. Laki-laki selalu mengganggap dirinya menang atas perempuan. Tidak berlebihan agaknya, kalau Cyntia Enloe mengatakan, Laki-laki setelah perang menjadi pejuang, sementara perempuan hanya menjadi pecundang”.

Sayangnya, sejarah sudah ‘dibungkam’ untuk mengamini pandangan ini. Lebih jauh mengenai persoalan ini, Helena Careiras menuliskan:

Stereotypes of men as just warriorsand women as “beautiful soul” have been used to secure woman’s status as noncombatans and men identity as warriors”. However, since war has usually been defined as a male activity and higly valued masculine characteristic are often associated with it, the image of women warriors has been seen as inherently unsettling, entailling symbolic rapture with the dominant gender order based on sparation of male and female. [14]

Pemaknaan dan penyimbolan secara sepihak, telah membunuh karakter perempuan sebagai individu yang mempunyai posisi dan peran. Dimensi perempuan: dalam ruang domestik dan publik, merupakan kesatuan yang mengikat laki-laki. Keduanya—laki-laki dan perempuan membentuk penyatuan. Inilah yang Sukarno katakan dalam Sarinah, sebagai tali sekse jiwa.[15]

Penyatuan laki-laki dan perempuan bukan semata-mata dilihat sebagai sekse biologis, tetapi lebih pada nilai jiwa. Laki-laki dan perempuan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengatur kehidupan. Keduanya adalah kesatuan yang berpadu membangun harmonisasi. Sifat saling memberi dan menerima, membantu dan bekerja sama—inilah yang sebenarnya membentuk sejarah.

Pandangan semacam ini yang seharusnya dimunculkan, bukan lagi pada pembedaan peran yang cenderung diskriminatif sebagaimana terlihat bahwa secara historis, khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, kaum laki-laki selalu identik dengan “lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara perempuan bertugas menyiapkan kebutuhan keluarga di dalam rumah seperti: memasak, mengasuh anak, dan semacamnya. Kaum pria berburu di hutan, sementara kaum wanita menyiapkan makanan di dapur.[16]

Pandangan tersebut juga pernah dituliskan Louise Ricklander, “historically the external worl has been the business of men. Women took care of the internal world. Politics traditonally is external, but not necessarily the business of all men—often olny of the few”.[17] Dalam budaya Jawa khususnya, ini tidak lepas dari munculnya pandangan bahwa perempuan hanya menjadi the second sex, yen awan dadi teklek, yen wengi dadi lemek.

Penulisan Sejarah Perempuan di Indonesia

Dalam penulisan sejarah di Indonesia, tema perempuan masih belum begitu diminati. Kajian ini justru banyak dilakukan dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Sejarawan umumnya beranggapan, tema yang berkait dengan perempuan dianggap kurang menarik. Akibatnya, mereka selalu bergantung pada ilmu-ilmu tersebut, untuk menuturkan kondisi perempuan di Indonesia. Ketergantungan ini bukan pada metodologi, tetapi materi. Ini yang sangat memprihatinkan.

Saya ambil contoh, tulisan komprehensif dan kritis mengenai perkembangan gerakan perempuan di Indonesia, justru ditulis antropolog—Saskia Wieringa Eleonora dan Cora Vreede-De Stuers. Tulisan mereka masing-masing berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dan Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian. Dua tulisan ini menjadi pegangan sejarawan di Indonesia selama bertahun-tahun, untuk menelaah gerakan perempuan di Indonesia. Bahkan banyak opini mengatakan, “Untuk mengkaji gerakan perempuan di Indonesia, tulisan Cora adalah rintisan awal yang menarik”.

Apabila dicermati, tulisan mereka memang sistematis dan metodologinya juga tepat. Namun demikian, karena standar yang mereka pakai adalah ilmu antropologi, dalam kacamata sejarah—kritik yang disajikan sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Saskia misalnya, menyajikan data Gerwani dari koran-koran sezaman, terutama Harian Rakjat. Ia tidak mencoba menggali sumber dari masyarakat yang kontra Gerwani, sebagai bahan cross cek.

Demikian juga Cora. Ia memang baru merintis penulisan sejarah gerakan perempuan Indonesia, jadi sumber yang dipakai masih sebatas arsip dan buku-buku sezaman. Sebagai rintisan, tulisan memang Cora diakui mampu menjadi penguat atas pijakan perempuan Indonesia, saat menggali pemahaman emansipasi. Dalam tulisannya ini, Cora mencoba melihat keterpurukan perempuan Indonesia yang dibelenggu oleh adat. Cora mengambil tiga komponen utama masyarakat Indonesia: Jawa, Minangkabau, dan Batak.

Hingga tulisan Cora dan Saskia beredar—masing-masing tahun 1960-an dan 1980, belum juga tampak kajian kritis mengenai sejarah perempuan Indonesia. Dicontohkan dalam sebuah seminar tahunan (1979) yang diselenggarakan bersama Perhimpunan Indonesia-Australia (Australian-Indonesian Association) cabang Victoria dengan Pusat Studi Asia Tenggara (Centre for Southeast Asian Studies), Universitas Monash, Sejarawan Christian Dobbin yang dalam kesempatan itu menguraikan tiga karya penting: Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite (The Hague); John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Natiionalist Movement, 1927-1934 (Singapore, 1979); dan Benedict R. Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation dan Resistance, 1944-1946 (Itacha an London: Cornell University Press, 1972) mengatakan bahwa karya-karya besar tersebut telah mengabaikan wanita [perempuan] sebagai bagian dari proses historis—masa awal pergerakan nasional, tahun 1930-an dan revolusi Indonesia.[18]

Demikian pula menurut Kuntowijoyo, sejauh ia menulis buku Metodologi Sejarah (1994), dalam ilmu sejarah belum ada disertasi yang secara khusus membahas sejarah wanita [perempuan], sekalipun dalam beberapa skripsi S1 maupun S2 sudah mulai tampak perhatian ke arah itu.[19] Kunto menambahkan, padahal di negara seperti Amerika misalnya, kajian tentang perempuan menjadi spesialisasi tersendiri seperti terlihat dalam American Hostorical Association (AHA) dan Teaching Woman History yang merupakan buku panduan untuk pengajaran sejarah perempuan di SLTA dan tahun-tahun pertama di Universitas.[20]

Terlihat realitas baru dimana perempuan ditempatkan dalam kerangka yang sama dengan laki-laki. Ada upaya untuk memunculkan sisi otonomi, dimana perempuan mempunyai pola dan kehidupan sendiri dalam sejarah. Secara metodologis, pelan-pelan terjadi pergeseran penulisan sejarah yang androcentric[21] ke arah androgynouscentric.[22]

Berbeda dengan Indonesia yang masih jarang ‘menyentuh’ perempuan dalam penulisan sejarah. Mengenai hal ini, Ruth Indiah Rahayu dalam Kontruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan mengatakan bahwa perempuan dalam sejarah cenderung bias. Kalaupun ditampilkan, umumnya hanya perempuan berdarah biru yang tidak jarang menjadi personifikasi penulis dengan landasan kekaguman. Lebih lanjut, Ruth mengungkapkan, ”Nyatanya perempuan yang ditampilkan dalam sejarah Indonesia masih berpusat pada ketokohan yang berasal dari kelas berdarah biru dan yang diyakini memiliki takdir kemuliaan (keadiluhungan)”.[23]

Sebagai contoh hal ini terlihat pada masa sebelum kemerdekaan, dimana para penulis Belanda menggolongkan perempuan Indonesia menjadi dua model. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan: melawan, memusuhi, dan menentang penjajahan Belanda, yang dicontohkan seperti: Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Nyi Ageng Serang, Christina Martha Tiahahu, atau yang ‘sejawat’. Meskipun mereka akhirnya dibuang, dihukum mati, atau bahkan gugur dalam peperangan dan dianggap pemberontak, tetapi kebiasaan yang menyimpang dari tradisi laki-laki tersebut justru menarik.

Adapun yang kedua, perempuan yang membuahkan pemikiran, utamanya dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Sebut saja seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis. Usaha dan pemikiran mereka disambut hangat oleh Belanda, sehingga tidak jarang diantara mereka diberikan sanjungan. Tulisan Door Duis Ternis Toot Licht—diterjemahkan Armijn Pane—Habis Gelap Terbitlah Terang., buah pemikiran Kartini yang kemudian dibukukan oleh Ny. Abendanon[24], menjadi contoh nyata sebagai keberhasilan ‘proses pembaratan’ dalam perspektif Belanda.

Kontruksi penulisan sejarah perempuan yang semacam ini sebenarnya sudah mendapat kritik tajam. William Frederick dan Soeri Soeroto sebagaimana dituturkan Ruth Indiah Rahayu, telah memberikan tiga kritik pada tema penulisan sejarah perempuan yang terbatas pada perjuangan: melawan penjajahan Belanda, mengembangkan pendidikan bagi kaum perempuan, dan perjuangan politik oleh organisasi-organisasi perempuan.[25]

Kritik yang dilontarkan oleh William Frederick dan Soeri Soeroto, bisa dibenarkan. Posisi perempuan dalam sejarah bukan hanya terletak di tiga tempat tersebut. Ada yang tidak kalah penting yakni, perempuan di wilayah domestik. Bagaimana mereka berperan, bergulat dalam keluarga untuk membentuk generasi, membesarkan suami—belum tersentuh oleh sejarah, khususnya di Indonesia.

Historiografi perempuan sebenarnya bisa diseting dengan model sejarah keluarga. Meskipun perempuan bergerak di belakang layar, tetapi harus diakui, merekalah arsitek peradaban yang sesungguhnya. Hal ini bisa dikaitkan dengan pernyataan, “Di balik orang-orang besar, ada perempuan yang besar”.

Perempuan adalah penyedia dimensi maternalitas yang tidak bisa tergantikan. Di sinilah para pemimpin menyerap energi maternalitas sebagai nutrisi perjuangan. Simak bagaimana: Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, Natsir, Bung Tomo, Sjafruddin Prawiranegora, Hatta—yang menyerap energi perjuangan dari makhluk bernama perempuan.

Pendekatan Feminisme dalam Penulisan Sejarah Perempuan

Pendekatan feminisme dalam penulisan sejarah antara lain dipopulerkan oleh Yayasan Kalayanamitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta. Secara metodologi, pendekatan ini terbukukan dalam karya Shulamit Reinharz.[26] Dalam pendekatan ini, perempuan ditempatkan bukan hanya pada konteks peran yang melahirkan tokoh-tokoh elit. Terbuka peluang bagi perempuan ‘akar’ untuk bisa ‘bersuara’ dalam sejarah. Salah satunya adalah mereka yang mengalami kekerasan, sebagai pengaruh konflik.

Konflik yang membawa perubahan bagi perempuan, perlu dijelaskan secara kritis, dalam perspektif historis. Ingat perspektif historis!, bukan sosiologi atau antropologi. Saya katakan perspektif sejarah, karena banyak peneliti sejarah yang terjebak oleh beragam pendekatan ilmu sosial. Terlalu banyak mengeksplor data dari perempuan, tetapi cenderung anakronis. Kadang-kadang jiwa zaman atau dalam bahasa Kuntowijoyo—sensibilitas, ditinggalkan. Ini fatal. Untuk menghindari kesalahan, ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama, objek penelitian dan kedua, metode pengambilan data.

Baiklah, saya jelaskan satu persatu. Pertama, objek penelitian. Harus jelas, siapa yang diteliti—misalnya mereka adalah kaum terpinggirkan yang terlibat dalam sejarah, tetapi ‘bisu’. Mereka inilah yang dalam kacamata monumental history[27], dikenal sebagai ‘orang-orang kecil’. Tugas peneliti adalah merangsang ‘pita suara sejarah mereka’, agar dapat ‘berbunyi’.

Salah satu objek yang bisa dikaji adalah perempuan dalam perang. Perang yang selalu membawa konsekuensi kerusakan dan kekerasan[28], juga berdampak bagi perempuan. Pengalaman kekerasan seperti: penyekapan, pemerkosaan, pembunuhan, penahanan—bukan harga mati yang ditutup rapat, tetapi merupakan memori sejarah yang harus diketahui oleh generasi.

Bukan bermaksud mengenang dan membuka luka lama, apalagi meromantisir konflik—sama sekali bukan. Sebaliknya, menjadi ‘ungkapan sejarah’ bagi manusia dan kemanusiaannya. Pengalaman mereka adalah cerminan mentalitas manusia pada zamannya.

Produksi sejarah model ini, bisa dibuat dengan menarik periode pasca kemerdekaan, yang memungkinkan ketersediaan informan[29]. Konflik dan perang terbuka yang terjadi pasca kemerdekaan hingga periode orde baru, meninggalkan setumpuk pengalaman historis yang belum terolah secara kritis. Sejarawan dituntut untuk kritis dalam melihat tema sejarah perempuan—meliuk, masuk, dan menukik tajam, pada tema-tema yang belum terjamah. Dengan begitu, sejarah akan muncul dengan wajah baru yang lebih manusiawi dan adil.

Kedua, metode pengambilan data. Satu metode menarik, yang bisa digunakan sejarawan untuk mengungkap pengalaman perempuan adalah sejarah lisan (oral history) atau model yang baru: tutur perempuan.[30] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tutur berarti: kata, ucapan, atau perkataan.[31] Tutur selalu terjadi dalam komunikasi dua arah, yang di situ ada pengenalan, penerimaan, pertukaran, dan akhirnya internalisasi pertukaran informasi antara penutur dan yang ditutur. Apabila dibubuhi “perempuan” di belakangnya, maka proses komunikasi dua arah itu dilakukan oleh dan antar perempuan.[32]

Saya tawarkan dengan tutur perempuan, karena lebih menyentuh sisi keperempuanan. Ingat bahwa jangan menulis perempuan dalam perspektif laki-laki. Tapi tulislah mereka dengan dimensinya. Sentuhlah dimensi maternalitas mereka, sehingga menghasilkan penulisan sejarah perempuan yang total. Dalam hal ini, empati boleh saja, asalkan kritis.

Untuk bisa melakukan penulisan yang semacam ini, sejarawan harus memiliki ketrampilan lapangan yang tinggi, termasuk pendekatan kultur. Pendekatan ini adalah kunci untuk masuk dalam dimensi perempuan. Tanpa ini, penulisan sejarah akan menjadi kaku. Perlu diingat bahwa dalam penulisan ini, peneliti harus total menggunakan data lisan.

Untuk memperlakukan data lisan ini, peneliti melihat dua arah: pengalaman aktual informan dan pendapatnya terhadap peristiwa. Dua pandangan ini harus dibedakan, agar tidak terjebak dengan tulisan yang sudah ada. Terutama bagi informan yang kritis, mereka biasanya sudah mencampurkan bahasa pengalaman dengan buku.

Kalau tidak hati-hati, peneliti hanya akan menjadi ‘penutur sejarah yang terburuk’[33]. Ini artinya, hanya mengulang cerita, tanpa ada sesuatu yang alami, asli, dan baru. Dengan begitu, informasi aktual dan pandangan informan, harus diperlakukan secara ‘ketat’.

Penutup

Banyak peluang untuk menuliskan sejarah perempuan. Apalagi dengan berkembangnya pendekatan post kolonial yang memungkinkan penggunaan beragam sumber sejarah. Ungkapan no document no history seperti dipopulerkan Leopold Van Ranke, sudah mulai digeser.

Sumber sejarah tidak selalu berwujud dokumen seperti arsip dan sejenisnya, tetapi juga lisan (oral history). Bahkan bagi para pengembang dekontruksi sejarah, sumber sejarah dapat berupa: suara (voice), film, gambar, puisi, dan novel. Permasalahan yang paling mendasar bagi sejarawan hanya satu: Dia paham atau tidak, kalau itu adalah sumber sejarah.

Diperlukan kesadaran bagi sejarawan Indonesia, untuk menuliskan mengenai perempuan. Sungguh memprihatinkan apabila melihat tulisan mengenai perempuan yang menghiasi perpustakaan—selalu ditulis oleh orang asing. Memang diakui, mereka menang dalam metodologi, tetapi sebenarnya Indonesia juga tidak kalah dengan sumber, terutama untuk periode kontemporer. Sayangnya, sejarawan di Indonesia masih enggan beranjak ‘menyapa’ para pelaku, sehingga akhirnya orang asinglah yang mendapat tempat di hati mereka. Harus muncul pemahaman dan perenungan, untuk mengisi ruang kosong sejarah perempuan di Indonesia. Sejarawan perempuan terutama, jangan terlalu larut dengan tema-tema umum yang patriarki, tapi cobalah sentuh dimensi perempuan yang masih ‘bisu’.


Daftar Pustaka

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Bandung: Rafika Aditama. 2001.
 
Badinter, Elisabeth. Unopposite Sex; The of the Gender Battle. New York: Harper and Row Publisher. 1989.

Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?. Yogyakarta: Ombak. 2006.

Carreiras, Helena. Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies. Routledge: Taylor and Francis Group. 2001.

Haryati Soebadio. “Mempelajari dan Belajar Sejarah”. Prisma. Tahun VIII. Agustus 1980.

I Marsana Windhu. Kekuasaan dan Kekekrasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Jenny Firth-Cozens and Michael A. West (ed). Women at Work, Psychological and Organizational Perspective. Philadelphia: Open University Press. 1993.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.

Lucas, Anton E. ”Wanita dalam Revolusi (Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950)”. Prisma. 5 Mei 1996.

Maria Ulfah Soebadio dan Ihromi (ed.). Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Bunga Rampai). Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Muhammad Asfar. ”Wanita dan Politik (Antara Karir Pribadi dan Politik)”. Prisma, 5 Mei 1996.

Ruth Indiah Rahayu. “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”. Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif. Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan. 2008.

Reinharz, Shulamit. Feminist Method in Social Research, a.b. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung. metode-Metode Feminist dalam Penelitian Sosial. Jakarta: Woman Research Institue. 2005.

Safrina Thristiawati. “Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia”. Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif. Yogyakarta. 2-4 Juli 2007.

Soekarno. Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno. 1963.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.1995.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.

Umar Junus. “Betina-Perempuan-Wanita”. Prisma. 4 April 1979.

Vreede-De Stuers, Cora. Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008.

Wieringa, Saskia. The Parfumed Nightmare.a.b. Hersri Setiawan. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra. 1998.


Tentang Penulis

Reni Nuryanti, Alumnus Pascasarjana UGM. Menamatkan S1 di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2006. Tahun 2008 terpilih sebagai National The Best Young Researcher in Social and Cultural, Institute for Sciences of Indonesia (LIPI) Jakarta.


[1] Safrina Thristiawati, “Perempuan dalam Penulisan Sejarah Indonesia”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 1.

[2] Mengenai daftar buku tersebut, lihat Safrina Thristiawati, ibid., hlm. 15-16.

[3] Umar Junus, “Betina-Perempuan-Wanita”, Prisma, 4 April 1979, hlm. 23.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 1125.

[5] Umar Junus, op.cit.

[6] Anton E. Lucas, ”Wanita dalam Revolusi (Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950)”, Prisma, 5 Mei 1996. hlm. 17.

[7] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Korban Kekerasan Seksual, (Bandung: Rafika Aditama, 2001), hlm. 29.

[8] Anton E. Lucas, op.cit.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Menurut Kuntowijoyo, sejarah Indonesia masih bersifat konvensional, hanya dipenuhi tema-tema sejarah politik dan militer, jenis sejarah yang paling menarik perhatian umum. Sejarah politik dan militer adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki. Oleh karena itu rekontruksi sejarah kita bercorak androcentric, karena sejarah berpusat pada kaum lelaki saja. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 115.

[12] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hal. xiv.

[13] Elisabeth Badinter, Unopposite Sex; The of the Gender Battle, (New York: Harper and Row Publisher, 1989), hlm. 158.

[14] Keterangan yang lebih menarik, baca Helena Carreiras, Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies, (Routledge: Taylor and Francis Group, 2001), hlm. 5.

[15] Soekarno, Sarinah, (Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963), hlm. 17.

[16] Muhammad Asfar, ”Wanita dan Politik (Antara Karir Pribadi dan Politik)”, Prisma, 5 Mei 1996, hlm. 3.

[17] Louise Ricklander, ”Women an d Politics”, dalam Jenny Firth-Cozens and Michael A. West (ed). Women at Work, Psychological and Organizational Perspective, (Philadelphia: Open University Press, 1993), hlm. 185.

[18] Ibid., hlm. 17.

[19] Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 113. Contoh tulisan S1 (skripsi) adalah tulisan Fatia Nadia, mahasiswa UGM, Tenaga Kerja Wanita di Perkebunan Teh Malaber—Afdelingen Cianjur Regentshapen Priangan tahun 1880-1900. Sedangkan contoh tesis (S2), juga dari UGM, Soedarmono, Munculnya Kelompok Pengusaha Batik di Laweyan pada Awal Abad XX, 2005. Keterangan lanjut, Lihat Kuntowijoyo, Ibid., hlm. 120-121 dan 126.

[20] Di Amerika Serikat, perkembangan pesat mengenai kajian tentang wanita, tidak lepas dari menguatnya feminisme. Peranan wanita tidak hanya dipahami sebagai fenomena perubahan sosio-kultural dari suatu masyarakat tertentu, bahkan di Amerika Serikat, gerakan wanita telah mencapai suatu tahap keilmuan. Artinya, gerakan feminisme di sana telah mampu mengembangkan fenomena peranan wanita menjadi suatu kajian ilmu sendiri, bahkan menjadi subfield yang penting dalam ilmu politik. Muhammad Asfar, op.cit., hal. 5. Tidak hanya itu, penelitian yang dilakukan oleh Michelle Zimbalist Rosaldo dan Louise Lamphere (terbitan Stamford University Press, Stamford California, tahun 1974), melihat bahwa memang dalam banyak kebudayaan, ada kecenderungan bahwa peranan wanita terbatas pada hal-hal tertentu yang ada hubungannya dengan fungsi melahirkan anak. Tetapi hal itu tidak mutlak demikian, karena cukup banyak masyarakat yang memberi kepada wanita fungsi-fungsi yang dianggap sebagai khas fungsi pria, seperti: mengepalai kerajaan, menjadi pemimpin agama, dan menjadi pemimpin peperangan. Maria Ulfah Soebadio dan Ihromi (ed.), Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Bunga Rampai), (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. x.

[21] Penulisan sejarah yang bersifat andocentric dimaksudkan sebagai model penulisan sejarah yang bercorak patriarki yakni menggunakan pola kekuatan laki-laki sebagai simbol kekuatan sejarah. Penulisan sejarah yang semacam ini cenderung menggunakan materi yang bersifat politik militeristik—dua kekuatan ini adalah kecenderungan yang terdapat pada laki-laki. Penulisan sejarah yang semacam ini dianasir telah meminggirkan peran perempuan dalam sejarah sekaligus menghapus keberadaannya.

[22] Penulisan sejarah androgynouscentric, dimaksudkan sebagai model penulisan sejarah dimana baik kaum laki-laki dan perempuan bersama bersama mengambil bagian di dalamnya.

[23] Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan, Makalah Workshop Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hal. 6. Lebih lanjut lihat Ismail Sofyan, dkk, Wanita Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Agung Offset, 1994).

[24] Mengenai alasan politis Ny. Abendanon dalam menerbitkan Surat-Surat Kartini, Alisa Thomson Zainuddin mengemukakan dua hal: menunjukan hasil pendidikan Barat, dan menggunakan uang penghasilan dari penerbitan buku ini untuk meneruskan pekerjaan mendidik gadis-gadis Jawa. Keterangan lebih lanjut, lihat Wieringa, Saskia, The Parfumed Nightmare.a.b. Hersri Setiawan, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia sesudah 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1998), hlm. 10.

[25] Ibid.

[26] Keterangan selanjutnya, baca Shulamit Reinharz, Feminist Method in Social Research, a.b. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung, metode-Metode Feminist dalam Penelitian Sosial, (Jakarta: Woman Research Institue).

[27] Keterangan yang menarik mengenai penjelasan monumental history, baca Haryati Soebadio, “Mempelajari dan Belajar Sejarah”, Prisma, Tahun VIII, Agustus 1980.

[28] Penjelasan lanjut, baca I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekekrasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

[29] Dalam penelitian kualitatif, termasuk sejarah, tidak digunakan istilah responden, tetapi informan. Responden sifatnya hanya merespon, bukan memberikan informasi, sebagaimana informan.

[30] Metode tutur perempuan diperkenalkan antara oleh Yayasan Kalyanamitra, Jakarta. Sebagai contoh, pernah dituliskan dalam makalah Ruth Indiah Rahayu, Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan.

[31] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002). hlm. 1231.

[32] Ruth Indiah Rahayu, “Kontruksi Historiografi Indonesia dari Tutur Perempuan”, Makalah Workshop Historiografi Indonesia Diantara Historiografi Nasional dan Historiografi Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 13.

[33] Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed)., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 192.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Artikel Terbaru