Senin, 31 Oktober 2016

Bacakak Badunsanak; Gerwani Minangkabau pada Masa Dewan Banteng dan PRRI 1956-1961

A. Pengantar

Keberadaan Gerwani dalam pergolakan daerah tahun 1950-an di Sumatera Barat, hampir tidak pernah dituliskan. Penjelasan Gusti Asnan bahwa hanya organisasi Wanita Tionghoa dan India yang menolak memberikan dukungan kepada Dewan Banteng, justru keliru. Gerwanilah yang sebenarnya sangat keras gaungnya dalam menentang Dewan Banteng hingga PRRI. Tulisan ini akan menjelaskan seputar: keterlibatan Gerwani dalam demontrasi menentang Dewan Banteng dan PRRI, penahanan Gerwani, penggabungan kekuatan Gerwani ke dalam APRI, serta hubungan antara Gerwani, PKI, dan APRI.

B. Melawan Lewat Demontrasi

“Jadi kalau ingat itu, kalau ibu banding-bandingkan tahun lima tujuh/lima delapan (1957/1958), ibu tidak sedikit adanya rasa menyesal. Ibu tu berjuang untuk tegaknya Negara Republik kan? Kemarin ini (1965), apa salah saya, diambil. Nah gitulah. Jadi ibu sudah dua kali masuk itu (tahanan). Memang indak (tidak) rela rasanya, indak (tidak) puas, kita. Jadi saya ditangkap waktu tahun 1957/1958 karena menentang Pemerintahan Revolusioner, artinya membela pemerintahan yang sah indak? (tidak?). Jadi nak Reni, kami sejak awal berjuang untuk itu, supaya tidak pecah belah negara ini.”[1]

Sejak awal tahun 1957, Gerwani di Sumatera Barat mulai menyatukan barisan. Penyatuan tersebut terbentuk seiring kedekatan Gerwani dengan PKI dan ‘keluarganya’, yang pada saat itu sudah mulai mengalami intimidasi dari Dewan Banteng. Kedekatan inilah, yang menjadi jalan bersatunya Gerwani dan PKI, untuk melawan Dewan Banteng. Dua organisasi ini bekerja sama, meski secara struktural, belum menjadi satu tubuh. Hubungan mereka masih kompleks, seperti digambarkan oleh Saskia Wieringa Eleonora[2].

Menurut Ma, Pimpinan Gerwani Bukittinggi, ia sering mengadakan rapat untuk mencari strategi menentang Dewan Banteng. Selain rapat, Ma juga menjadi agen penyelundupan Harian Rakyat ke Sumatera Barat. Harian milik PKI ini semenjak tercetus Dewan Banteng, dilarang masuk ke Sumatera Barat. Karena itulah, Ma yang kemudian bertindak sebagai agen rahasia. Ia katakan, “Ibulah yang menerima tuh. Mau kirim ke Payakumbuh, mau kirim ke Padang, lewat ibu dulu.”[3] Lebih jelas, simak penuturannya berikut ini.

“Waktu itu Harian Rakyat, harian PKI itu, tidak boleh masuk ke sini lagi. Akhirnya kemudian diselundupkan itu, ibulah yang menerima tu. Jadi kalau mau dibawa ke Padang, Payakumbuh, semuanya lewat ibu dulu. Biasanya, saya masukan ke dalam baju karena takut ditanya atau diinterogasi sama polisi. Saya masukan rapat-rapat dalam baju, kemudian diikat sehingga orang tidak ada yang tahu. Pernah suatu hari saya ceroboh dan mengatakan, “Saya membawa koran”. Untunglah yang ada di hadapan saya adalah mantan guru sekolah menengah dan dia hanya mengatakan, “Kamu tuh ceroboh. Jangan menegur saya”. Oya bu, maaf, saya indak mengerti. “Besok jangan diulangi lagi”, begitu kata ibu. “Indak bu”, saya bilang.”[4]

Harian Rakyat dibredel semenjak PKI secara terang-terangan menentang Dewan Banteng. Selain Harian Rakyat, dibredel juga terbitan: Bintang Timur, Sulindo, dan Pemuda.[5] Pada saat itu hanya: Abadi, Indonesia Raya, Pedoman, Keng Po, dan Haluan yang masih menyambangi pembaca di Sumatera Barat.[6] Terakhir, Haluan, merupakan koran yang menjadi corong Dewan Banteng.

Pengiriman Harian Rakyat bukan semata-mata menyebar informasi. Sejak akhir tahun 1956, Harian Rakyat menyediakan kolom khusus yang mencermati perkembangan Dewan Banteng. Berikutnya pada tahun 1957, seiring dengan penangkapan anggota PKI, keberadaan Harian Rakyat makin penting sebagai corong pembelaan. Melalui harian ini, PKI seolah ingin membukakan mata masyarakat Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya, mengenai kekejaman Dewan Banteng. Karena kekejaman ini pula, Gerwani dan PKI berusaha menentang.

Sejak Desember 1957, pasca dikeluarkankannya kecaman Simbolon[7], terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota PKI. Penangkapan sebenarnya sudah dimulai pada pertengahan tahun 1957, pasca diumumkannya Dewan Nasional. Setelah ditangkap, mereka dipenjarakan di tiga tempat: Muara Labuh, Suliki, dan Situjuh[8]. Menanggapi penangkapan yang makin marak, orang-orang PKI bersuara keras. Mereka bukan hanya berasal dari Sumatera Barat, tetapi juga Sumatera Utara. Sebagai gambaran, pada 20 Juni 1957 Harian Rakjat memberitakan:

“Atas nama kaum Komunis dan pemilih PKI Sumatera Utara, kami protes atas pendudukan kantor provcum PKI Sumatera Tengah oleh Dewan Banteng. Bebaskan pemimpin-pemimpin rakyat yang ditahan seperti Djamhur Hamzah dan lain-lain. Hentikan tindakan fasis Dewan Banteng.”[9]

Penentangan mulai terasa pasca sidang penandatanganan persetujuan Dewan Banteng, awal tahun 1957 di Bukittinggi. Dalam sidang tersebut, Dewan Banteng mencoba menghadirkan semua elemen masyarakat, termasuk Gerwani yang mewakili organisasi perempuan. Sidang ini dipimpin langsung oleh Ahmad Husein. Sebagai peserta yang hadir, Ma mengatakan:

“Waktu itu pada awal tahun 1957, ibu hadir dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Ahmad Husein dan kawan-kawannya. Ibu datang sebagai wakil Gerwani di Sumatera Barat ini. Dalam rapat itu, diantaranya ibu diberikan daftar peserta yang isinya mengenai persetujuan pembentukan Dewan Banteng. Tentu saja ibu tidak mau tanda tangan. Orang-orang yang ada di dalam rapat itu, mulai mempertanyakan kehadiran ibu. Tentu saja ibu menjawab begini, “Saya datang ke sini kan untuk menghadiri, bukan untuk menyetujui dan menandatangani pembentukan Dewan Banteng.” Ibu lalu meninggalkan rapat, karena tidak sesuai dengan rencana ibu. Sejak itulah, ibu mulai dianggap musuh oleh eksponen Dewan Banteng, mulai dianggap sebagai masyarakat yang tidak memahami kondisi daerah. Tapi ibu tidak peduli. Ibu tahu, bahwa pembentukan dewan ini sifat politiknya pecah belah.”[10]

Sikap Ma yang terang-terangan menentang Dewan Banteng, masih dibiarkan. Bahkan ketika ia menolak menandatangani piagam persetujuan, tidak ada tindakan reaktif dari Dewan Banteng. Selepas pertemuan tersebut, Ma mulai menggalang kekuatan antar Gerwani dan ‘keluarga PKI’ seperti: Pemuda Rakyat, SOBSI, dan BTI di Sumatera Barat, untuk mengadakan demontrasi. Dia kemudian dipercaya sebagai pimpinan demontrasi di Bukittinggi. Pada saat itu, sudah dipetakan daerah-daerah yang menjadi basis demontrasi. Dua wilayah utama adalah: Bukittinggi dan Padang Pariaman[11]. An, pimpinan Gerwani di Padang Pariaman, misalnya mengatakan:

“Dari tempat darurat pos, kawan kita keluarkan resolusi. Di Padang Pariaman itu, ibu yang memimpin; di Bukittinggi, Ma dan Nadiar. Kalau ibu dengan Djawani, waktu itu. Kini Djawani itu sudah meninggal. Jadi kami memimpin sama-sama. Hari Minggu untuk Ma, sedangkan Sabtu untuk ibu dan Djawani di Padang Pariaman.”[12]

Sikap reaktif Gerwani mengundang kekhawatiran keluarga masing-masing, seiring maraknya penangkapan terhadap orang-orang PKI. Untuk menghindari penangkapan, Ma dibujuk oleh kakaknya untuk pindah sementara waktu ke Sibolga, Sumatera Utara. Demi ibunya, semula Ma menurut. Akan tetapi begitu mendengar upaya penentangan terhadap Dewan Banteng yang makin gencar disuarakan kawan-kawannya, dia berubah pikiran. Ma minta dipulangkan kembali ke Bukittinggi. Ia menuturkan demikian.

“Jadi akhirnya, situasi sudah mulai gawat dan mulai ada penangkapan segala. Itu terjadi pada awal tahun 1957, setelah Dewan Banteng terbentuk. Ibu ini anak perempuan yang tertua, dipindahkanlah aku ke Sibolga, itu. Ku minta dulu mandat sama pos pusat kami di Ujung Guguk. Katanya kalau masih ada jiwa juang untuk rakyat, jangan tinggalkan daerah. Waktu itu celana nih masih putih, belum seperti sekarang. Di celana itu, ada tertulis mengenai slogan semangat bagi kami. Setiap pergi ke WC baca tuh, “Kalau masih ada jiwa juang untuk rakyat, jangan tinggalkan daerah! Jangan tinggalkan daerah!” Lalu macam mana aku ini mak, kalau saya tidak kembali ke Bukik (penyebutan kota Bukittinggi), begitu saya katakan pada amak. “Ya apa boleh buat, namanya juga dipercayakan sama saya”, gitu kata saya. “Ya sudahlah, terserah kamu”, kata amak. Akhirnya saya pergi dengan membawa lampu stromking, karena anak gadis indak boleh keluar. Abang menemani saya berjalan dari satu desa ke desa lain. “Kau di sini sajalah katanya, tidak usah menampakan diri. Simbolon ini kan ibarat dari mulut harimau ke mulut buaya”, gitu kata abang. “Tapi kalau saya di sini, saya sama saja berkhianat. Saya balik sajalah bang”, kataku. Kata abang, “Ya terserahlah. Kalau ditangkap saya tidak menengok. Aku usahakan belikan kamu gelang ya?” “Ah enggaklah. Keputusan balik, turunkan saya di Kampung Cina (Bukittinggi) tu.” Pada waktu itu, orang tua ibu sudah tidak di kampung.”[13]

Keputusan Ma untuk kembali ke Bukittinggi bukan semata-mata dorongan psikologis, tetapi karena ideologi yang mulai mengembang dalam dirinya. Ketika itu ia bahkan menuliskan kata-kata, “Kalau masih ada jiwa juang untuk rakyat, jangan tinggalkan daerah!. Jangan tinggalkan daerah!”[14] di celana panjang putihnya. Saat mandi, celana itu ia gantung di dinding, sehingga setiap saat bisa membaca dan menghayati.

Ma tetap berpegang pada keputusan awal untuk memimpin demontrasi. Sewaktu sampai di Bukittinggi, dia kembali bergabung bersama anggota Gerwani dan ‘keluarga’ PKI. Menurut keterangan Ma, Gerwani dan PKI sudah mendapatkan keterangan dari pimpinan pusat. Keterangan tersebut memberitahukan bahwa tindakan Dewan Banteng ini merupakan upaya pecah belah negara yang harus dicegah. Dewan Banteng dianggap mengarah pada pembentukan negara baru—memisahkan diri dari RI. Ma mengatakan:

“Kami di Gerwani tahu itu, dan lama-lama mereka kan ingin membentuk negara baru. Apakah itu namanya bukan pemberontak. Jadi nak Reni, kami sejak awal berjuang untuk itu, supaya tidak pecah belah, negara ini.”[15]

Penentangan terhadap Dewan Banteng memang sudah membawa misi nasional, bukan lagi persoalan lokal. Ada transformasi kepentingan pemerintah pusat yang mengalir ke dalam tubuh Gerwani.

Suasana politik di Bukittinggi makin panas. Gerwani dan PKI kemudian membentuk barisan untuk menguatkan pesan dari pimpinan pusat. Mengenai gambaran yang terjadi saat itu, Ma mengatakan:

“Waktu itu, kami sudah mengamati Dewan Banteng. Waktu itu ya nak Reni, kalau mau berangkat bilang pimpinan maka berangkatlah! Satu menit terlambat, berarti kematian. Misalnya, tinggalkan rumah itu kalau dimata-matai. Waktu itu, kalau tidak patuh pasti mati. Bukankah sudah begitu panas, Dewan Banteng tu. Jadi waktu itu kalau mengingkari garis, mati tu. Tapi kalau orang sudah biasa dalam disiplin, dia mau camkan itu.”[16]

Kesiapan Gerwani menentang Dewan Banteng sudah matang. Sebuah slogan bahkan ditanamkan, “Kalau mengingkari garis, mati!.[17] Tekad untuk melawan Dewan Banteng ini makin mengakar dengan dukungan penuh dari PKI dan ‘keluarganya’. Tidak heran ketika terjadi penangkapan terhadap orang-orang PKI, Gerwani bereaksi keras menuntut pembebasan.

Mereka membentuk kesatuan aksi demontrasi sebagai wujud penentangan terbuka terhadap Dewan Banteng. Tindakan mereka terstruktur, terencana, dan rapi. Sebagai contoh sebelum melakukan demontrasi, mereka diajarkan pidato oleh Ketua Gerwani Sumatera Barat, Dahliar, yang berasal dari Padang Payo.

Dalam pidato tersebut, Dahliar ‘meramu’ kalimatnya dengan ‘bumbu-bumbu’ agama. AlQuran sebagai tonggak agama Islam, menjadi alat yang menambah kekuatan kata-katanya. Ma mengistilahkan, “Seperti air turun, dia membaca AlQuran.”[18] Posisi Dahliar sebagai guru agama, menambah kepercayaan masyarakat terhadapnya. Dalam pidatonya tersebut, Dahliar menyeru untuk mendukung pembubaran Dewan Banteng[19].

Selepas pidato, hari berikutnya turun ke jalan. Bulan Agustus 1957 kondisi makin kritis dan sejak itulah, diputuskan melakukan demontrasi dengan membawa jargon, “Berdiri di kita di belakang pusat.”[20] Untuk menguatkan informasi ke pusat, dikirimlah telegram yang berisi kejelasan bahwa Gerwani menentang kehadiran Dewan Banteng dan membela pemerintah republik yang sah.[21] Demontrasi merupakan titik balik bagi masyarakat di Sumatera Barat, bahwa ada yang menentang Dewan Banteng.[22]

Demontrasi dilaksanakan pada Rabu, 21 Agustus 1957, di Pasar Bukittinggi. Para demonstran tidak hanya dari Bukittinggi, tetapi juga Lubuk Basung. Mereka datang dengan pedati serta membawa poster yang digulung.[23] Bukittinggi dipilih sebagai pusat demontrasi karena daerah ini merupakan ibukota Sumatera Barat.

Massa yang berdemo, jumlahnya tidak sedikit. Menurut keterangan Ma, ada sekitar 2.000 orang yang beramai-ramai mendatangi Pasar Bukittinggi. Untuk menambah semarak suasana, sebagian mereka bahkan membawa alat musik talempong. Mereka berdemo di depan kantor bupati. Massa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, diberikan penugasan.

Perempaun yang sebagian besar para ibu, bertugas mencari bupati. Pada saat itu, sang bupati dikabarkan berada di Padang. Mereka tidak putus asa. Pernyataan tegas tetap digemakan, “Kami dari Masyarakat Sumatera Barat berdiri di belakang pemerintahan Sukarno.“[24] Adapun agenda demontrasi salah satunya menuntut pembebasan Djamhur Hamzah.[25] Dalam demontrasi tersebut, juga tampil Camat Baso, Zayni Zar, yang menuntut pembebasan mamaknya.
C. Bertahan dalam Gelombang Penangkapan

Pada saat demontrasi di Bukittinggi makin panas, datang pasukan PRRI. Mereka menggunakan senjata lengkap, sehingga massa seketika bubar. Ketakutan muncul, sehingga mereka berhamburan tanpa kendali. Ma akhirnya ditangkap. Mengenai suasana saat itu, Ma menuturkan:

“Nah, saat kami berdemo itulah tiba-tiba datang sepasukan tentara PRRI. Masa yang semula berteriak keras, seketika panik. Ya gimana nak Reni, mereka bawa senjata lengkap. Sedangkan kami, tidak membawa apa-apa. Kami hanya membawa keberanian untuk menentang Dewan Banteng. Apa boleh buat, banyak kawan kami menyelamatkan diri, ada pula yang ditangkap. Tidak sedikit, kawan kami yang dibawa dan ditahan oleh mereka. “[26]

Sementara itu di Padang Pariaman, kondisinya juga sama. Daerah ini juga menjadi pusat demontrasi, karena di sinilah masa PKI berpusat, terutama di daerah Sungai Sarik. An dan Djawani sebagai pimpinan demontrasi, juga ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Mereka beberapakali mengalami pemeriksaan dan interogasi, bahkan hingga disuruh membuka baju.[27]

Sementara itu di Bukittinggi, Ma ditahan bersama lima kawannya. Dua perempuan bernama: Nilawati dan Nadiar, sedangkan 3 laki-laki dari Pemuda Rakyat, di antaranya bernama Muchtar. Mereka kemudian dibawa ke kantor polisi yang ada di sebelah jam gadang, Bukittinggi. Selama Tiga hari, mereka ditahan dan diinterogasi. Menurut keterangan Ma, waktu itu antara lain ditanya, “Siapa yang menyuruh-nyuruh?” Para tahanan berusaha menyembunyikan dan hanya menjawab, “Tidak ada.” 24 Pada saat itu, Ma mengaku tidak sedih atas penangkapan yang terjadi. Dia merasa berjuang supaya Indonesia tidak pecah belah. Kesedihan justru muncul, ketika mengingat ibunya. Ma menceritakan demikian.

“hari berikutnya, ibu datang dengan membawa selimut dan bantal. Menangis, ibu. Ndak usah menangis, begitu ku bilang. Ini kan sebuah perjuangan. Jangan menangis ibu, tidak usah menangis, saya bilang begitu. “[28]

Dua kakak laki-laki Ma: Hasan Basri dan Hasan Zubir, adalah simpatisan Dewan Banteng. Karena itulah begitu mengetahui dia ditangkap, mereka bersikeras membujuk Ma untuk meninggalkan Gerwani. Melihat struktur politik keluarga Ma, tampak ada pertentangan yang tersembunyi. Satu rumah terdapat ‘musuh’ dan ‘lawan’. Ma tetap berpegang pada prinsip Gerwani, sedangkan dua kakaknya tegak mendukung Dewan Banteng. Gambaran ini menjadi contoh dilematis kehidupan politik masyarakat Sumatera Barat pada saat itu. Mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit: memegang ideologi atau mempertahankan daerah. Kondisi ini yang tidak jarang mengorbankan persaudaraan dalam keluarga. Keragaman pemikiran sering menuai konflik, apabila tidak muncul penerimaan satu sama lain. Semula kondisi ini terlihat biasa, tanpa konflik. Akan tetapi, semenjak kepentingan daerah ‘bertabrakan’ dengan ideologi—konflik perlahan-lahan muncul.

Selepas ditahan di kantor polisi Bukittinggi, Ma dipindahkan ke Rumah Tahanan Padang. Setelah itu, tahanan laki-laki dibawa ke RTT (Rumah Tahanan Tentara), sementara Ma dan 2 orang lainnya dibawa ke Muaro di RTU (Rumah Tahanan Umum). Selama 4 bulan, mereka di sana.

Pada yang bersamaan, ibu dan dua kakak Ma terus membujuk agar dirinya meninggalkan aktivitas Gerwani. Kedua kakaknya bahkan sudah bersiap untuk pembebasan dirinya. Ma tetap berpegang pada prinsip Gerwani. Ia yakin bahwa sikapnya yang menentang Dewan Banteng, adalah benar. Dengan tegas Ma mengatakan bahwa kekuatan perjuangan bukan hanya terletak pada senjata, tetapi dukungan rakyatnya. Di sisi lain, Ma yakin bahwa tentara pusat akan datang dan membebaskan dirinya.[29]

Sementara itu An dan Djawani, lebih susah dibanding Ma. Mereka terus diinterogasi, diancam, lalu diperlakukan sebagi tukang cuci. Situasi ini dirasakan saat mereka berada di Lembaga Pemasyarakatan Pariaman kemudian dibawa ke LP (Lembaga Pemasyarakatan) Padang Panjang. Tidak lama kemudian, mereka dipindahkan dari Padang Panjang. Dalam pemindahan tersebut, terdapat tahanan laki-laki sebanyak 167 yang dibawa dengan mobil. [30] An menyaksikan sebagian mereka dibunuh, ditembak, lalu dibakar di sana.[31] Peristiwa pembunuhan itu tidak mengakhiri penahanan. Para tahanan yang masih tersisa kemudian dimasukan ke Asrama Thawalib Padang Panjang.[32]

Dalam situasi dan kondisi yang sama, Ma masih beruntung karena mendapat perlindungan dari dua kakaknya, meski akhirnya tidak mau dibebaskan. Dua kakaknya, mengalah dan membiarkannya ditahan. Kedua kakaknya ini juga terikat kepentingan kelompok. Ibunya yang kemudian datang ke Padang untuk menjenguk. Ma mengatakan, “Ada rasa iba terpancar di mata ibu.”[33]

Ma menyadari perasaan ibunya, tetapi rasa malu dan prinsip kebersamaan yang ditanamkan terhadap teman-temannya, membuatnya memilih tetap berada dalam tahanan. Akhirnya ibu Ma mengalah dan memilih untuk setia menjenguk dan mengantar makanan. Ma mengakui hidup sebagai tahanan memang sulit. Setiap pagi, ia hanya makan dua potong ubi rebus. Lauk ikan baru dirasakan saat ibunya mengirim. Tapi itulah perjuangan. Ma mengatakan, “Asal sabut terapung, asal batu membenam.”[34]

Ibu Ma menghubungi jaksa serta keluarga teman-teman Ma. Cara itu dilakukan dengan harapan bisa membantu membebaskan atau memberikan jaminan. Informasi mengenai usaha ibunya itu, dibenarkan Ma. Ia mengatakan, “Akhirnya, ibu meminta surat kepada jaksa. Akhirnya, setelah saya tahu kalau teman-teman saya juga dijamin oleh oleh famili mereka, aku baru menerima tawaran itu.”[35]

Saat upaya pembebasan dilakukan, kondisi politik di Sumatera Barat makin panas. Ini sejalan dengan pengumuman PRRI, 15 Februari 1958. Dua bulan kemudian, pada april 1958, APRI datang untuk membebaskan Padang. Setelah itu, beruntun dilakukan pembebasan terhadap daerah lain. Orang-orang yang semula tergabung dalam PRRI, mulai bergerak untuk menyelamatkan diri. Kondisi ini sejalan dengan kekalahan mereka melawan APRI. Strategi bertahan dalam hutan, diambil sebagai langkah mempertahankan diri.

Sementara itu para tahanan segera diamankan dengan cara berpindah-pindah tempat. Ma dipindah dari Padang menuju Solok, lalu ke Muara Labuh, terakhir di Lubuk Gadang. Saat dilakukan pemindahan itulah, Ma bertemu dengan anggota Pemuda Rakyat. Para pemuda tersebut mengingatkan Ma, “Jangan mau dipisahkan dengan kami. Anak gadis dibawa laki-laki. Jangan mau dipisah-pisah”.[36] Lebih lanjut, simak penuturannya berikut ini.

“Kami lalu dimasukan ke truk. Seperti memasukan ubi tu. Sesak, sampai ibu sulit bernafas. Inilah baru terasa tahanan. Ibu dibawa ke Solok. Indak berapa hari, lalu dipindahkan. Di sana banyak laki-laki yang dari Pemuda Rakyat. Mereka sudah punya kode, katanya, kalau tanda kain merah, itu bahaya. Jangan mau dibawa, kalau tidak semua diberangkatkan. Lebih baik ditembak di sini. Akhirnya tambah lagi tiga orang, juga dari Pemuda Rakyat. Biasa ketika malam minggu, di kota kan mereka rapat-rapat. Ditangkapnya mereka, tapi mereka dijamin oleh keluarganya. Jadi, kalau tidak ikut demontrasi, kan hukumannya tidak berat. Akhirnya menuju ke Muara Labuh. Akhirnya di sana lagi, terjadi pembunuhan. Ya Allah, ya Robbi, tidak bisa dilupakan seumur hidup. Dari Muara Labuh, kami dipindahkan ke Lubuk Gadang. Eh, terdengarlah di sana bahwa APRI sudah masuk ke kota Padang.“[37]

Kedatangan APRI membawa harapan bagi Ma. Pada bulan April 1958, Ma dibebaskan dari tahanan Lubuk Gadang. Akan tetapi, pembebasan itu tidak serta merta memberikan keamanan total. Rintangan kembali dirasakan Ma. Dia mengatakan:

“Awak mudo kan? Masih gadis kan? Ada tentara muda tuh, Sersan Mayor, naksir sama ibu. Katanya, “Biarlah kuselamatkan kamu, saya nikahi.” “O, indak bang”, kata saya. Aku ke dalam ni bukan untuk cari suami. Dia bilang lagi, “Tidak, untuk menyelamatkan kamu, biarlah aku nikahi.” “Indaklah, nyawaku entah besok, entah kapan juga akan abang bunuh.” Diajaklah saya jalan-jalan ke Kayu Waru, ke kebun teh. Dia pakai celana panjang dan mulai mau pegang-pegang ibu. Kita berduaan tu. Saya tetap menolak. Ya bagaimana, saya tidak mau mati dengan tanpa tanggungjawab. Biarlah mati, kita sudah dibekali dengan agama. Lebih baik mati daripada diperkosa. Ini bekal bagi ibu. Jadi sewaktu di penjara, sempat mengaji dan sholat. “[38]

Ma menolak ajakan itu dan minta kembali ke Padang. Untuk kembali ke Padang, ternyata juga tidak mudah. Kondisi sudah kacau oleh konflik terbuka antara APRI dengan pasukan PRRI. Pada saat itu, APRI juga sudah menyerukan agar rakyat yang mendukung PRRI menyerah. Seruan tersebut terutama ditujukan kepada masyarakat yang masuk dalam jajaran pemerintahan. Ma kembali mengatakan:

“Ada seruan dari tentara pusat, supaya tentara, pegawai, menyerah. Waktu itu seruannya begini, “Hei kamu menyerahlah. Suruh teman-teman, adik kakak kamu untuk menyerah, dijamin. Baik kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mengapa kamu di hutan!””[39]

D. Bergabung dengan APRI

Gerwani akhirnya bekerjasama dengan PKI dan ‘keluarganya’, untuk membantu APRI. Meskipun dalam konstelasi politik nasional, PKI dan militer cenderung berlawanan, kondisi ini tidak terjadi dalam suasana penumpasan PRRI. Sebaliknya, PKI dan Gerwani tampak sebagai mitra setia APRI. Dalam keterangannya, Ma mengatakan, “Ya waktu itu, saya memang membantu APRI. Jadi waktu itu, PRRI ini menyerah dengan membawa senjata. Lalu senjatanya ini saya bawa dan masukan ke karung, lalu dijunjung.”[40]

Pada saat itu, dibentuk Panitia Pembela Korban Dewan Banteng, yang diketuai Rasyid Manggih. Orang-orang yang tergabung di dalamnya adalah Putra Minang yang anti PRRI. Usaha selanjutnya adalah mengadakan pertemuan dengan Departemen Dalam Negeri yang dipimpin Kyai Haji Wachid Hasyim. Pertemuan ini bertujuan untuk menghubungkan Bupati dan Walikota se-Sumatera Barat.

Usaha yang dilakukan oleh Ma dan kawan-kawan tidak berjalan mulus. Mereka kembali menemui rintangan saat berhadapan dengan pasukan PRRI. Ma kembali ditangkap oleh PRRI di daerah Air Mancur. Pada saat itu, Ma baru saja mengantar ketua Gerwani, Dahliar, ke Payakumbuh. Dalam aksi pencegatan tersebut, Walikota Payakumbuh menjadi korban. Kondisi makin parah ketika sudah sampai di Padang sudah larut malam dan hujan lebat. Ma menuturkan:

Kami dimasukan dalam truk. Bayangkan, kami didorong-dorong seperti pasir. Sakit badan saya. Pelurunya berdentum-dentum menembak konvoi-konvoi itu. Tidak ada perlawanan, ya seolah-olah kami pasrah mati semua. Sudah dengan suaranya yang kasar, “Maju!”, begitu. Waktu itu saya bilang, “Ya Allah, saya mau mati di sini.” Setelah kondisi reda, saya dibawa ke asrama tentara tu. Baru dikasih lampu 250 watt, baru disuruh ngomong. Saya tidak bisa ngomong. Entah karena kedinginan atau ketakutan, yang jelas semuanya campur.“[41]

Ma kemudian dilepaskan. Dia lalu meninggalkan Padang, menuju Bukittinggi, tempat keluarganya. Sambutan hangat dirasakan oleh Ma. Saat itulah, ia menyaksikan keluarganya bersatu. Kedua kakaknya sudah kembali dari hutan. Begitupun adik perempuannya, berada di rumah. Mengenai suasana saat itu, Ma menuturkan:

“Pagi-pagi pukul 9, saya berangkat sendirian ke Bukittinggi, ke kantor polisi. Begitu sampai di sana, mereka menyambut sambil mengatakan, “Eh, anak Pak Rauf masih hidup”, begitu kata mereka. Iyalah, begitu kataku. Lalu saya bertemu dengan adiku yang sudah menikah itu. Dia sudah menikah 1 bulan tu. Begitu melihat ibu masih hidup, dia minta cerai. “Aku tidak mau menikah, aku minta cerai, aku tidak mau bersuami”. “Uniku, kakaku, masih hidup”, begitu dia bilang. Jadi kumpullah lagi, kami semua. Abang sudah menyerah, sampai akhirnya saya aktif kembali di Gerwani“.[42]

Semenjak kedatangan APRI itulah, orang-orang kontra PRRI bisa merasakan kebebasan. Karena itulah, mereka sangat mendukung APRI. Sejak awal, APRI disambut dengan meriah. Mengenai penyambutan ini Ro, anggota Pemuda Rakyat, menuturkan:

“Waktu itu, saya bertugas untuk menyambut Pak Yani dan kawan-kawannya di Pantai Padang. Kami sampai ke depan penginapannya. Kami waktu itu, atas nama Pemuda Rakyat. Saya, termasuk salah seorang yang dipercaya oleh Pemuda Rakyat untuk menyambut. Setelah itu, kami pun mulai bertugas untuk melayani perbekalan dan makanan bagi APRI. Kami yang menyediakan makanan untuk mereka. “[43]

Selain Ro, An yang baru keluar dari tahanan Padang Panjang, juga ikut menyambut kedatangan Ahmad Yani. Menurut An, ada satu kalimat penting yang diucapkan oleh Ahmad Yani, “Gerwani itu, adalah air. APRI adalah ikan. Jadi, air dan ikan, tidak dapat dipisahkan.”[44] Sambutan makin meriah ketika dinyanyikan lagu Sorak-Sorak Bergembira[45], beriringan dengan tebaran spanduk bertuliskan, “Selamat Datang APRI, Selamat Datang Tentara Pusat.” Mereka juga bergabung dengan APRI sambil meneriakan, “Selamat datang APRI!, Hidup Sukarno!, Hidup APRI!”[46]

Euforia kebebasan muncul di kalangan masyarakat yang kontra PRRI. Demikian juga para tahanan, lambat laun dibebaskan. Ro misalnya menuturkan, “Waktu itu, ada pembebasan PRRI besar-besaran. Kampung ibu kan dekat dengan tempat pembebasan itu. Kita waktu itu bersama-sama menyanyi, “Husein, Lubis, Simolon, Djambek!” Begitu, kami dulu.”[47] Masyarakat mulai merasakan perubahan. Ro misalnya menyaksikan banyak pengungsi dari Pasaman yang datang ke Bukittinggi untuk meminta perlindungan APRI. Berikut gambaran pada saat itu:

“Ada satu pengalaman yang paling tidak bisa ibu lupakan, yaitu pengungsian dari Pasaman. Orang-orang Pasaman itu kan diteror. Ada yang ditindas dengan banser, dibariskan, lalu digilaslah mereka. Ngeri itu. Ibu lihat, mereka berjalan, sampai ada yang anaknya meninggal di jalan. Lalu dibuatnya kuburan di tengah jalan, digali tanah dengan alat kayu, karena tidak ada cangkul, dikuburkannya anak di sana. Sang ibu, saat itu lemah sekali kondisinya, tapi ya bagaimana. Ada juga waktu itu yang sedang hamil, ikut mengungsi. Kami dari Pemuda Rakyat membantu mereka. Kami sambut mereka yang menggendong-gendong anak kecil, kami bagikan nasi. Kami minta periuk nasi dan beras kepada Departemen Sosial. Kami memasak dan memberi makan mereka. Lama tu, orang tu di sini. Kita bikinkan dapur umum. “[48]

Massa penentang PRRI di daerah Pasaman, tersebar di kampung-kampung. Semenjak kedatangan APRI, mereka mulai bersuara. Menurut keterangan Ro, di Kampung Pahambek, Koto Panjang, Payakumbuh, masyarakat bersama simpatisan PKI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat, mulai menggalang kesatuan. Mereka membangun kekuatan dari bawah. Bahkan anak-anak usia belasan tahun, sudah diajak bergabung untuk sekedar menjadi penyemangat. Ro sendiri mengaku, usianya baru 16 tahun. Ia bergabung dengan Pemuda Rakyat, saat berusia 14 tahun. Tahun 1958 Ro sudah mulai aktif di kancah pergolakan, meski hanya sebatas membantu. Ia menuturkan:

“Memang waktu itu, ibu baru tamat Sekolah Rakyat (SR). Usia masih muda, ya 14 sampai 16 tahunlah. Kecil, ibu masih kecil. Tapi ibu sudah mulai mengerti politik yang begitu-gitu. Ya karena lingkungan ibu memang begitu. Jadi, kita didorong untuk ikut itu. Apalagi di hutan, kita disuruh membuat pamflet-pamflet. Kita bersama orang-orang anti PRRI, ikut mendukung. Kita juga waktu itu di hutan membuat pamflet penyambutan. Tulisannya, “Ganyang PRRI!” Ya begitulah, ramai-ramai. Kalau di kampung itu (Pahambek), 100% anti PRRI. Jadi anak-anak kecil itu aja, kalau masuk APRI, mereka bilang, “Bu ada tentara!” Kodenya juga ada, masing-masing. Misalnya bunyi burung, berarti tandanya gini. Nah kalau burung itu bunyinya, pit! pit! pit!, itu artinya, kita disuruh menjauh, begitu. Ada kalau laki-laki tuh, kan bunyinya seperti berburu, “ayo! ayo! ayo!!”, itu tandanya bisa berkumpul. Kalau aman tuh, “alo! alo! alo!” [49]

Ro juga menuturkan pengalamannya bahwa sejak masa Dewan Banteng hingga PRRI, dia merasakan begitu susah hidupnya. Dia dan keluarganya selalu dibayangi ketakutan. Kehidupan mulai aman sejak APRI datang dan melakukan ‘pembebasan’ hingga ke kampung-kampung. Berikut ini penuturannya.

“Tahun 1958 Sumatera Barat ni dibebaskan. Orang lari semua, dan kita yang masuk. Kita hidup aja, dikasih makan sama tentara. Kita tidak punya makanan. Cuma dari kecil itu, kita ditanamkan sifat untuk menjaga, tidak ada diantara kami yang mengambil. Di sini banyak rumah yang ditinggalkan. Banyak barangnya, banyak semuanya. Jadi, tidak benar, kalau ada tuduhan, kami mengambil barang-barang mereka. Buktinya, kita tidak mengambil. Jadi kalau waktu itu kita ingin kaya, mungkin kita dobrak saja. Begitu banyaknya rumah yang ditinggalkan, begitu banyak barang-barang mereka. Tidak ada manusia satupun waktu itu, kecuali kami dan tentara. Kita saja, rumah dikawal sama tentara“.[50]

Kedatangan tentara APRI juga dirasakan sebagai ‘penjaga nyawa’ bagi para penentang PRRI yang sebelumnya bersikap kejam terhadap penduduk yang disinyalir tidak mendukung. Mereka datang menangkap orang-orang yang pro pusat, baik tua maupun muda. Selain itu, mereka juga mengancam dengan berteriak, “Ada orang sini yang pro pusat?”[51] Menurut Ro, tindakan PRRI terhadap orang-orang yang kontra memang berlebihan. Sebagai penjelas, simak penuturannya berikut ini.

“Mereka itu ganas, akan bunuh kita. Kan tentara PRRI sama-sama bunuh kita. Kampung kita nih kan pelarian, jadi pemimpin-pemimpin yang anti Dewan Banteng dan PRRI, di sini tidak aman. Sebab di sini orang-orang PRRI datang menangkap. Banyak di sini yang terbunuh. Tentu, kalau indak salah ada tiga korban. Mereka ditangkap sama PRRI, langsung dibunuh. Nanda tahu, kalau mengenai peristiwa PRRI, mengenai pembakaran di Payakumbuh? Ada satu gedung sekolah yang berisi orang-orang yang anti Dewan Banteng. Mereka disiram bensin, ditembaki, lalu dibakar. Nah sudah tuh, sudah pembebasan, kita kunjungi makam mereka, bahkan kita kumpulkan tengkorak-tengkorak yang masih berserakan. Di Payakumbuh ko, ada di Situjuh. Ada kami menyanyi buat mereka. Kami punya lagu khusus untuk mengenang mereka yang meninggal oleh orang-orang Dewan Banteng.“[52]

Penuturan Ro dibenarkan Datuk Madjo Sati dalam tulisannya berikut.
“Merekalah yang mula-mula menerima neraka buatan manusia PRRI di Situjuh. Dikurung di rumah sekolah yang terletak di lembah sempit. Di senjakala dilempari dengan granat. Belum tjukup! Dihujani dengan peluru mitraliyur. Dan akhirnya dibakar pula. Agar jangan ada yang membuat peringatan untuk korban-korban itu. Agar hilang tak tentu rimbanya. Tapi Tuhan adil. Ada saksi-saksi hidup untuk itu. Jaham dan Laweh yang dapat lolos. Dan rakyat di kampung sekeliling itu. Mereka menamakan dirinya Dewan Banteng dan PRRI itu mencoba menghilangkan bekas-bekas pembunuhan itu dengan api.“[53]

Kondisi ini dibenarkan oleh Buya Muslim Saleh, tokoh agama di Padang Pariaman. Ia menuturkan bahwa sebenarnya pembunuhan itu, sebabnya jelas, yakni PKI dipandang atheis. PKI tidak dibenarkan oleh Masyumi dan ulama di Sumatera Barat. Dengan demikian, pembunuhan bukan semata-mata politik, tapi juga adat dan agama di Minangkabau.[54]

Menurut pengalaman Muslim Saleh, sejak 1957, banyak pemuda PKI di Padang yang secara terang-terangan mengaku anti agama. Ia sendiri sering berdebat dengan mereka, untuk membuktikan entitas Tuhan. Keberadaan para pemuda ini dianggap merusak aqidah Islam yang dipegang oleh masyarakat Minangakabau. Perdebatan itu biasanya dilakukan di Balai Pemuda Padang. Lebih lanjut dikatakan:

“Saya masih ingat, waktu itu saya bicara. “Jadi saudara katakan Tuhan itu tidak ada, buktikan!, Apakah saudara mengatakan yang tidak tampak=tidak ada?” Akhirnya katanya, “Dimana tuhan itu?”[55]

Perdebatan panjang yang diramu dalam kultur dan politik itulah, yang akhirnya menimbulkan tragedi pembunuhan terhadap orang-orang PKI. Sebagai contoh pembunuhan yang terjadi di Situjuh, memang meninggalkan kesan bagi orang-orang PKI dan ‘keluarganya’. Setiap tahun, semenjak peristiwa PRRI, mereka berziarah ke Payakumbuh. An misalnya mengatakan demikian.

“Kita yang menggali sejarah waktu itu. Kita setiap tahun datang berziarah ke tempat itu. Bermobil-mobil anggota kita, anggota Gerwani, Pemuda Rakyat, anggota PKI, anggota SOBSI berpuluh-puluh bis kita datang, ke tempat-tempat pembunuhan masal itu. Bukan kelihatan lagi. Kalau hari-hari nasional, atau hari ulang tahun partai, ziarah ke sana. Seluruh keluarga korban Dewan Banteng datang. Berapa banyak anak kita yang menjadi korban, berapa anak-anak kita yang jadi janda, berapa anak kita yang jadi yatim piatu oleh PRRI. “[56]

Begitu kuat hubungan yang terjalin antara PKI dengan Gerwani. Dari penuturan Ma, Ro, dan A, terlihat mereka begitu gigih membantu APRI. Sifat inilah yang diistilahkan bagak. Atas nama perjuangan, mereka memasuki ‘medan tantangan’. Mereka rela meninggalkan keluarga, demi slogan politik yang digemakan oleh pemimpin, “Berdiri di belakang Sukarno dan pemerintah pusat.”

E. Gerwani, PKI, dan APRI

Semenjak Dewan Banteng terbentuk, hubungan antara Gerwani di Sumatera Barat dengan pimpinan di pusat di Jakarta semakin erat. Hubungan ini semakin menguat dengan bersatunya Gerwani bersama ‘keluarga’ PKI yang lain: SOBSI, BTI, serta Pemuda Rakyat. Secara tidak langsung terbentuk mutualisme politik. Gerwani memberi kekuatan baru terhadap PKI. Terlebih pada saat itu, PKI mempunyai kekuatan legalitas formal yang kuat dalam pemerintahan. Sukarno menempatkan PKI sebagai ‘anak emas’.

Perubahan dan sepak terjang Gerwani makin terlihat matang. Pada mulanya, organisasi ini hanya bergerak di tataran sosial. Akan tetapi setelah menyatukan visi dengan PKI, berubah lebih vokal. Sikap ini mulai terlihat ketika menentang Dewan Banteng, dilanjutkan perlawanan yang keras terhadap PRRI. An, pimpinan Gerwani di Pariaman, misalnya mengatakan:

“Waktu itu Dewan Banteng sudah terbentuk. Kawan-kawan kita yang anti Dewan Banteng, seperti: PKI, SOBSI, BTI, tidak senang dengan pemerintah Dewan Banteng. Karena pembentukan Dewan Banteng itu sudah menentang keputusan pemerintah pusat. Kita dianaktirikan pusat, dia adalah anti Sukarno.“[57]

Pernyataan An menunjukan bahwa arah dan tujuan Gerwani dalam konflik daerah memang terlihat nyata. Secara tidak langsung, Gerwani telah mempengaruhi jalannya konflik. Bahkan semenjak kedatangan APRI, Gerwani ikut menjadi bagian kekuatan. Ini terlihat ketika Gerwani turut aktif, mulai penyambutan APRI hingga operasi PRRI. Bahkan dengan jelas, Ahmad Yani mengatakan, “Gerwani dan APRI ibarat ikan dan air yang tidak bisa dipisahkan.” Dalam hal ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi.

Pertama, secara militer. Situasi yang menekan, membuat PKI semakin menguatkan barisan ‘keluarga’, termasuk Gerwani untuk mendukung kekuatannya. Kesamaan visi dan misi yang ditawarkan PKI, menjadi alat yang merekatkan persatuan ideologi antara PKI dengan Gerwani. Keterpaduan kekuatan ini, menjadi jalan yang mempermudah APRI menarik keduanya dalam operasi PRRI. APRI tidak mampu bergerak sendiri, tanpa bantuan Gerwani dan PKI. Kondisi ini terutama dikaitkan dengan medan Sumatera Barat. Sifat ekologi kewilayahan yang rumit, membuat APRI menjalankan strategi mobilisasi untuk mendapatkan kekuatan.

Kedua, secara kultural. Ideologi Gerwani yang dipengaruhi oleh pandangan gender, memberikan peluang kepada perempuan untuk tampil vokal, sama seperti laki-laki. Kemunculan Gerwani menjadi alat untuk menambah ketersediaan permintaan tenaga atas dasar gender. Ini artinya, perempuan dan laki-laki mempunyai kesamaan hak untuk menentang situasi yang dirasa tidak menguntungkan. Mengenai gambaran ini, Ma pernah mengatakan:

“Kami Gerwani dan PKI menganut sama rata-sama rasa di bidang perjuangan. Sama haknya perempuan dan laki-laki dalam partai. Jadi tidak ada diskriminasi. Memang PKI adalah satu-satunya partai yang meninggikan harkat dan martabat manusia.“[58]

Ketiga, dari segi sosial ekonomi. Gerwani menjadi pemegang kunci ekonomi dalam perang. Mereka inilah yang kemudian mengajak penduduk setempat, terutama kaum perempuan, untuk bekerja sama membantu APRI. Mereka membuat dapur umum dan menyediakan kebutuhan makanan. Keterlibatan Gerwani dalam konflik terbuka menunjukan bahwa perspektif yang menganggap bahwa laki-laki identik dengan perang dan maskulin, sementara perempuan hanya menjadi simbol maternal dan feminitas, tidak selalu benar. Elisabeth Badinter menuliskan bahwa dalam perang modern, perempuan juga selalu masuk menjadi backing pasukan. Mereka berjalan bersama laki-laki—kaburlah dimensi feminitas mereka.[59]

Untuk memperkuat ideologi, Gerwani terus dikader oleh PKI melalui ceramah-ceramah politik. Di Pariaman misalnya, dikenal tiga nama yang selalu memberikan ceramah, yakni: Mansur, Urip, dan Ummu Katimura. Ceramah biasanya dilakukan di masjid. Menjabat sebagai ketua panitia adalah Burhani Rasyid, pemuda setempat. An. Menuturkan demikian:

“Buru-buru pagi setelah memasak, cepat-cepat datang ke masjid untuk mendengarkan pidato. Apalagi si Urip, senang kita mendengarnya. Padahal dia buta huruf. Tapi kalau memberi penerangan, jangan sebut lagi dia. Pintarnya bukan main. “[60]

Dengan menguatnya opini menentang Dewan Banteng yang disuarakan PKI, Gerwani di Sumatera Barat gencar melakukan demontrasi. Dalam setiap konferensi yang diadakan oleh Gerwani, PKI dan ‘keluarganya’ selalu hadir. Kedatangan mereka bukan sebatas meramaikan rapat, tetapi juga memberikan pertimbangan bahkan menyetujui program yang diusung Gerwani.

Dalam konferensi daerah di Sumatera Barat misalnya, PKI memberi kata sambutan, menyambut isi laporan, menyokong atau menyetujui keputusan Gerwani setelah dibacakan di depan pimpinan daerah. Begitu juga SOBSI dan Pemuda Rakyat datang ke acara tersebut. Mereka memberi sambutan atas nama laporan umum yang diberikan sebagai laporan daerah.[61] Dari sinilah, terlihat hubungan yang erat antara Gerwani, PKI, Pemuda Rakyat, dan SOBSI. An misalnya mengatakan:

“Kita bersatu dengan Pemuda Rakyat juga SOBSI. Dengan PKI, kita juga kita satu ide, satu perjuangan. Jadi kita sama-sama seirama. Kantor kita gede-gede. Dekat pinggir laut, juga di Pasar kota Padang itu.“[62]

Dukungan besar dari PKI itulah, yang membuat Gerwani tampil radikal membantu APRI. Dua kepentingan—PKI dan APRI berjalan apik, dengan kekuatan Gerwani. Kenyataan ini menunjukan, perang tidak selalu dianggap sebagai ‘industri’ yang ‘mencetak’ pejuang laki-laki (warriors). Asosiasi yang muncul bahwa perempuan adalah simbol kedamaian (beautiful souls), yang selalu diam, tenang, mengalah, sementara laki-laki diasosiasikan sebagai ‘perang’ yang sarat tantangan, tidak selalu benar.

Pernyataan tersebut terlalu patriarki dan cenderung mengarah pada sifat dominasi. Terlebih ketika perang juga dianggap sebagai ekspresi karakter maskulin, nilai-nilai feminitas dengan sendirinya akan terpinggirkan. Laki-laki akan selalu mengganggap dirinya menang atas perempuan. Tidak berlebihan agaknya, kalau Cyntia Enloe mengatakan, Laki-laki setelah perang menjadi pejuang, sementara perempuan hanya menjadi pecundang.” Akan tetapi, ‘sejarah sudah didikte’ untuk ‘mengamini’ pandangan ini. Lebih jauh mengenai persoalan ini, Helena Careiras menuliskan:

“Stereotypes of men as “just warriors” and women as “beautiful soul” have been used to secure woman’s status as noncombatans and men identity as warriors”. However, since war has usually been defined as a male activity and higly valued masculine characteristic are often associated with it, the image of women warriors has been seen as inherently unsettling, entailling symbolic rapture with the dominant gender order based on sparation of male and female.” [63] (“Stereotip laki-laki sebagai pejuang dan perempuan sebagai jiwa yang lembut, telah digunakan untuk menilai status perempuan sebagai seorang yang bukan pejuang dan identitas laki-laki sebagai pejuang. Bagaimanapun sejak dulu, perang selalu didefiniskan sebagai aktivitas laki-laki yang diposisikan secara tinggi untuk menilai karakteristik maskulin atau sering diasosiasikan dengan hal-hal yang serupa. Imej perempuan sebagai pejuang, dinilai tidak tidak pada tempatnya dan mengguncang pesona simbolik dengan dominasi aturan gender yang didasarkan pada pemisahan laki-laki dan perempuan.“)

Stereotip yang mendikotomi laki-laki dan perempuan akan menciptakan identitas timpang yang semakin meminggirkan kedudukan perempuan. Perang jangan sampai dijadikan alat untuk ‘membunuh’ nilai-nilai ‘kedirian’ yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan dapat memainkan peran yang sejalan, tanpa harus meninggalkan dimensi kodrati masing-masing. Demikian pula dalam perang, tidak selalu laki-laki lebih kuat dan sebaliknya perempuan lemah.

F. Kesimpulan

Keterlibatan Gerwani dalam konflik selama pergolakan tahun 1956-1961, menandai adanya kuasa politik perempuan Minangakabau. Dari sisi ideologi, mereka menginduk kepada PKI untuk menentang Dewan Banteng dan PRRI yang dianggap sebagai embrio pembentukan negara baru. Secara historis, keterlibatan Gerwani dalam konflik, mempengaruhi jalannya pergolakan. Bahkan dapat dikatakan, tanpa Gerwani, PKI dan APRI bekum tentu mempunyai basis kekuatan yang mapan. Ini dikarenakan dalam situasi konflik, Gerwani bukan hanya tampil sebagai aktor yang mendukung basis militer, tetapi juga sebagai alat penggerak dalam kebutuhan ekonomi.

Daftar Pustaka

Koran

Harian Rakjat, 2 Juli 1958.

Harian Rakjat, 2 September 1958.

Harian Rakjat, 20 Juni 1957.

Harian Rakjat, 23 Desember 1957.

Harian Rakjat, 7 Mei 1958.

Wawancara

An, Bukittinggi, 29 Oktober 2008, Pk. 21.00-22.30 WIB dan Padang, Kamis, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB.

Buya Muslim Saleh, 23 Desember 2008 08 Pk 16.15-17.10.

Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.30 WIB.

Syafri Segeh, Padang, 29 September 2008, Pk. 11.00-12.30 WIB.

Buku

Carreiras, Helena Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies, Routledge: Taylor and Francis Group, 2001.

Badinter, Elisabeth Unopposite Sex; The of the Gender Battle, (New York: Harper and Row Publisher, 1989.

Datuk Majo Sati, Aku Menggugat, Jakarta: C.V.R. Hamzah dan Co, 1959.

Eleonora, Saskia Wieringa, The Politization of Gender Realations in Indonesia Women’s Movement and Gerwani until the New Order State, terj. Hersri Setiawan, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba Budaya, 1999.

Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Kahin, Audrey Dari Pemberontakan ke Integrasi; Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.


[1] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[2] Saskia Eleonora Wieringa, The Politization of Gender Realations in Indonesia Women’s Movement and Gerwani until the New Order State, terj. Hersri Setiawan, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, (Jakarta: Garba Budaya, 1999).

[3] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[4] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[5] Datuk Majo Sati, Aku Menggugat, (Jakarta: C.V.R. Hamzah dan Co, 1959): 69.

[6] Ibid.

[7] Simbolon mengeluarkan pernyataan terbuka yang berbunyi, “Pemerintah pusat yang jelek dan korup, dan tuntutan terhadap otonomi serta desentralisasi adalah isu-isu yang dihangatkan setahun lalu. Sekarang kami membawa masyarakat pada perlawanan yang terbuka terhadap komunis” Lihat Gusti Asnan, Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, op.cit.: 187.

[8] Ketiga wilayah tersebut berada di kota Payakumbuh.

[9] Harian Rakjat, 20 Juni 1957.

[10] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[11] Padang Pariaman adalah wilayah di Sumatera Barat, yang menjadi basis PKI. Salah satu wilayah yang menjadi pusat kegiatan adalah Sungai Sariak.

[12] Wawancara An, Padang, Kamis, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB.

[13] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[14] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[15] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[16] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[17] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[18] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[19] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[20] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[21] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[22] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[23] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[24] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB. Keterangan lain mengenai situasi demontrasi di Bukittinggi, lihat Harian Rakjat, 2 September 1958.

[25] Djamhur Hamzah adalah juru bicara komite propinsi dari Komite PKI di Sumatera Tengah. Keterangan lebih lanjut, baca Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi; Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005): 295. Menurut keterangan Ma, pada saat ditangkap, Djamhur Hamzah masih berstatus sebagai tunangannya. Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[26] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[27] Wawancara An, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 22.00-23.30 WIB.

[28] Syafri Segeh, Padang, 29 September 2008, Pk. 11.00-12.30 WIB.

[29] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[30] Wawancara An, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 22.00-23.30 WIB.

[31] Wawancara An, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.30 WIB.

[32] Wawancara An, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.30 WIB. Mengenai keterlibatan An dalam demontrasi melawan Dewan Banteng, juga diberitakan dalam Harian Rakjat. Dalam keterangan, dituliskan “Dalam demontrasi patriotik rakyat Pariaman, Dewan Banteng melancarkan balasan dengan menangkap pemimpin-pemimpinnya yang dicintai oleh wanita Pariaman. Mereka diantaranya adalah An dan Djawani. Keterangan lengkap.” lihat Harian Rakjat, 7 Mei 1958.

[33] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[34] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[35] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[36] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[37] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[38] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[39] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[40] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[41] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[42] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.

[43] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00 WIB.

[44] Wawancara An, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00 WIB.

[45] Sorak-Sorak Bergembira, bunyi liriknya adalah sebagai berikut, “Sorak-sorak bergembira/Bergembira semua/Sudah bebas negeri kita/Indonesia merdeka/Indonesia merdeka, merdeka!/Menuju bahagia, bahagia!/ Itulah Indonesia, untuk selama-lamanya.


[46] Wawancara An, Padang, 24 Desember 2008, Pk. 21.00-22.30 WIB.
[47] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.
[48] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.
[49] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.
[50] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.
[51] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.
[52] Wawancara Ro, Bukittinggi, 2 November 2008, Pk. 08.00-09.00 WIB.

Peristiwa di Situjuh dan Suliki ini, mengundang reaksi keras dari PKI dan ‘keluarganya’. Sebagai contoh, Pemuda Rakyat cabang Bukittinggi, menuntut kepada pemerintah atas pembunuhan masal yang dilakukan pada 23 Mei di Situjuh dan 27 Mei di Suliki. Tuntutan berbunyi: “Kami menuntut kepada pemerintah supaya tanggal 23 Mei dan 28 Mei dijadikan sebagai hari berkabung nasional; Kami menuntut kepada pemerintah agar memberi jaminan kepada keluarga-keluarga korban tersebut; Kami menyerukan kepada pemuda dan rakyat supaya memberi bantuan kepada keluarga korban; Kami menyerukan agar nasib para pengungsi lebih diperhatikan; Kami menyerukan kepada pemerintah agar segera menempatkan kerja, memberi makanan, pakaian, alat-alat lain yang layak bagi mereka; kami mengusulkan agar menyekolahkan anak-anak mereka tanpa pembayaran uang sekolah dan mendapatkan bantuan alat-alat sekolah; Kami menuntut agar pemerintah menghukum secara militer pada orang yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan dan penyiksaan; dan Memecat pegawai pro Dewan Banteng/PRRI yang dinaikan pangkatnya.” Keterangan lanjut, baca Harian Rakjat, 2 Juli 1958.
[53] Datuk Majo Sati, op.cit: 8.
[54] Wawancara Buya Muslim Saleh, 23 Desember 2008 08 Pk 16.15-17.10.
[55] Wawancara Buya Muslim Saleh, 23 Desember 2008 08 Pk 16.15-17.10.
[56] Wawancara An, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 21.30-23.00 WIB.
[57] Wawancara An, Padang, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB
[58] Wawancara Ma, Bukittinggi, 1 November 2008, Pk. 20.00-21.30 WIB.
[59] Elisabeth Badinter, Unopposite Sex; The of the Gender Battle, (New York: Harper and Row Publisher, 1989): 158.
[60] Wawancara An, Padang, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB. Pemberitaan mengenai keterlibatan Ma dan Nadiar, juga diberikan dalam Harian Rakjat, 23 Desember 1957.
[61] Wawancara An, Padang, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB.
[62] Wawancara An, Padang, 24 Desember 2008, Pk. 20.00-22.00 WIB.
[63] Keterangan yang lebih menarik, baca Helena Carreiras, Gender and Militery; Women in the Armed Forces of Western Democracies, (Routledge: Taylor and Francis Group, 2001): 5.
Share:

Api yang Tak Pernah Padam; Tiga Srikandi dalam Hidup Sukarno

A. Pengantar; Mengapa Sukarno selalu Butuh Perempuan?

Perikehidupan bakal tertanam, jika tali sekse antara laki-laki dan perempuan dapat tertanam. Tali sekse ini bukan semata biologis, tetapi juga jiwa.
(Sukarno)

Bagi Sukarno, kehadiran perempuan bukan semata teman di ranjang. Lebih dari itu: sosok yang membesarkan jiwa. Sebab itulah, Sukarno membenarkan penyataan Baba O’Illah bahwa laki-laki dan perempuan adalah bagai dua sayap seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya. Namun jika patah satu dari dua sayap itu, maka burung itu tak akan dapat terbang sama sekali.[1]

Sukarno mulai merasa pentingnya kehadiran perempuan, saat ia mengenal Sarinah. Meski nama ini sering dianggap hanya sosok imajiner, namun Sukarno mengatakan bahwa Sarinah memang nyata dalam hidupnya. Bahkan dialah, orang yang pertama kali mengajari arti cinta kepada orang-orang kecil. Jenis cinta inilah yang membuat Sukarno berani menggelorakan kata: ‘merdeka’. Sebab menurutnya, hanya kemerdekaan yang mampu membebaskan manusia dari penindasan.

Sepanjang mengimani kata ‘merdeka’, Sukarno selalu ‘dibayangi perempuan.’ Bahkan di puncak gelora jiwanya pada tahun dua puluhan. Sukarno saat itu tampil paripurna bersama janda cantik bernama Inggit Garnasih. Perempuan yang lima belas tahun lebih tua ini, nyatanya mampu menjadi api yang menyulut semangat perjuangan Sukarno. Bukan semata saat tertatih meraih gelar insinyur di THS. Lebih dari itu, bahkan kala merasakan sepinya penjara dan pembuangan.

Begitupun saat Sukarno rindu dipanggil: ayah. Fatmawati yang akrab dengan panggilan Fatma, memberinya seorang jagoan bernama Guntur. Tak lama kemudian, beruntun nama-nama yang sangat dicintai Sukarno: Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Kehidupan Sukarno dengan segala dinamikanya, tak bisa lepas dari perempuan. Nama-nama seperti: Haryati, Ratnasari Dewi, Hartini, Kartini Manopo, dan Heldy Djafar menghias hidupnya. Mereka adalah istri sah Sukarno dengan segala kekurangan dan kelebihannya. 

Sejarah mencatat Sukarno punya banyak istri. Ia diibaratkan don juan yang mahir bercinta. Sukarno tak bisa jauh dari perempuan. Bahkan ia sendiri mengatakan, “I’am a very physical man. I must have sex every day.” Sebab itulah Fatma mengatakan, “Rayuannya sangat mematikan.” Namun ironi tak dapat dihindari. Saat Sukarno menutup mata, hanya Inggit Garnasih yang datang secara khusus untuk berkirim doa. Sementara Fatma hanya mewakilkan karangan bunga bertulis kata: “Cintamu selalu menjiwai hati rakyat, cinta Fat.”

B. Sarinah; Penebar Cinta Pada Rakyat

Secara psikologis, Sukarno sebenarnya jauh dari ibunya, Idayu Nyoman Rai. Kedekatannya dengan perempuan, justru didapatkan dari Sarinah. Hal inilah yang menjadi misteri dalam sejarah. Bahwa hubungan Sukarno dengan sang ibu memang agak renggang. 

Kerenggangan itu menurut Sukarno, terjadi karena pengaruh sikap ayahnya yang cenderung sangat disiplin. Sikap ini lambat laun menempel dalam diri ibunya. Sukarno mengatakan bahwa kenangan pada ayahnya, menimbulkan rasa segan. Sedangkan jika mengingat ibunya, seolah terpatri gambaran seorang perempuan yang sepintas lemah lembut, tetapi menutup pergaulan. Pada akhirnya, Sukarno menjatuhkan keluh kesah kepada Sarinah. Sejak itulah, ia merasa Sarinah sangat berpengaruh dalam hidup. Seperti dikatakan dalam otobiografinya, “Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah perempuan yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang besar dalam hidupku.” [2]

Sukarno memang punya kekaguman tersendiri pada Sarinah. Rasa itu terbangun ketika perempuan ini mampu menjalani hidup sederhana dan tahan lara-lapa. Sarinah menurut Sukarno, rela melayani keluarganya tanpa gaji sepeserpun. Bahkan lebih dari itu, membawa Sukarno ke samudra kearifan. Sarinah mengajari arti cinta kasih. Bukan semata pada keluarga, tetapi orang banyak. Inilah yang Sarinah sebut sebagai rakyat jelata. Kepada Sukarno, Sarinah kerap berpesan, “Karno, yang pertama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi engkau juga harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”[3] 

Nama Sarinah, terpatri dalam diri Sukarno. Di tahun 1940-an, kala perjuangan kemerdekaan bergema lantang, Sukarno bahkan menyebut nama Sarinah sebagai perlambang perempuan revolusioner. Mereka adalah perempuan yang terbebas jiwanya dari penghambaan yang sempit terhadap laki-laki. Bahwa menurut Sukarno, laki-laki dan perempuan hendaknya saling bergandengan menjemput kemerdekaan. Sebab menurut nya, harmoni perjuangan hanya dapat tercapai kalau tidak ada satu “saf” di atas “saf” yang lain, tetapi dua “saf” itu sama derajat, berjajar yang satu di sebelah yang lain. Yang satu memperkuat kedudukan yang lain. Tetapi masing-masing menurut kodaratnya sendiri[4] . 

Sukarno mengabadikan nama Sarinah dalam buku bertajuk Sarinah; Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Secara khusus ia menuliskan “Saya namakan kitab ini “Sarinah” sebagai tanda terima kasih kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Ia mbok saya. Ia membantu ibu saya dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan kasih. Dari dia saya banyak mendapat pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri orang kecil, tapi budinya sangat besar.”[5]

C. Inggit Garnasih; Sosok Ibu, Kekasih, dan Kawan

Inggit Garnasih bagi Sukarno bukan sekedar istri. Lebih dari itu, ia sosok ‘ibu’, kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan hidup Sukarno. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan dalam hidup Sukarno. Sebagai ‘ibu’, Inggit adalah muara kasih sayang. Ia perpaduan antara maternalitas dan feminitas. Inggit mampu menjadi tempat bersandar kala Sukarno dilanda kesulitan. Inggit juga menjadi tempat mencurahkan pikiran, saat Sukarno didera kegelisahan. 

Kesulitan dan kegelisahan itu bermula saat Sukarno berjuang menamatkan kuliah di THS. Kala itu, Sukarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang untuk menopang hingga Sukarno menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan berbunga-bunga Inggit mengatakan,“Aku merasa, aku bukan perempuan sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur sipil.”[6]

Pencapaian itu tak lantas membuat Inggit berhenti berjuang untuk Sukarno. Tahun 1929, kala Sukarno bersuara lantang melalui corong PNI, Inggit makin dihadapkan pada tantangan. Pada akhir desember di tahun yang sama, Sukarno ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Sukarno berpindah tempat, dari Bantjeuj hingga Sukamiskin. Kali ini Inggit harus berjuang sendiri. Ia mengubah diri bukan hanya sekedar istri, tetapi kekasih yang setia mendampingi Sukarno. Dengan beragam taktik, Inggit bahkan menembus penjara untuk mengirimkan pesanan Sukarno. Bukan sekedar makanan, tetapi juga buku-buku. Dari perjuangan inilah, lahir pidato melegenda berjudul Indonesia Menggugat.

Lepas dari penjara, tepatnya di tahun 1933, Sukarno kembali mengalami kesulitan. Ia menghadapi pembuangan ke Ende, Flores. Saat itulah, untuk pertama kalinya Sukarno meneteskan air mata. Inggit iba. Ia merasa remuk batinnya. Tak ada pilihan kecuali mendampingi Sukarno. Ia mengucap setia dalam suka dan duka. 

Selama lima tahun, Sukarno bersama Inggit hidup di Ende. Lima tahun kemudian, di tahun 1938, Sukarno dan Inggit pindah ke Bengkulu. Kala itu, Sukarno terserang malaria. Inggit tetap setia menjadi kawan bagi Sukarno. Bahkan ketika kesulitan makin mendera. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia. Sukarno akhirnya dipulangkan ke Jawa. Kala itu, Inggit tetap berada di samping Sukarno. Namun waktu mengubah segalanya. Cinta mereka retak seketika. Sebab Sukarno kembali jatuh cinta. Inggit menolak dimadu. Sebab baginya sangat tabu. Ia memilih sendiri daripada harus berbagi.

Inggit kembali ke Bandung. Sukarno melenggang ke Jakarta. Hingga pekik merdeka bergema. Sukarno membina hidup baru. Bersama Fatmawati, gadis yang telah dianggap anaknya. Namun dengan segala pengakuan, Sukarno tetap mengatakan bahwa Inggit adalah ratu dalam hatinya. Sejarah juga mengakui bahwa Sukarno tak akan segemilang itu, tanpa pendidikan jiwa dari perempuan yang selusin lebih tua umurnya. 

Hingga senja, Sukarno tetap menanam rasa cinta pada Inggit. Bahkan saat perempuan itu berbaring sakit, Sukarno datang mengunjungi. Kala itu Sukarno bertanya, “Sakit apa Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, “Biasa Ngkus, penyakit rakyat.”[7] Siapa sangka, pertemuan di tahun 1960 itu menjadi akhir perjumpaan. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Sukarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat Sukarno. Saat itu terdengar suara sayu, “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit di doakeun…”[8] Inggit tak sanggup melanjutkan kata-kata. Ia diam bersama air mata.

D. Fatmawati; Arti seorang Jagoan

Juli, 1943. Sukarno menikah dengan Fatmawati. Pernikahan itu berawal dari keyakinan, bahwa Fatma, demikian panggilan akrab Fatmawati, mampu menjadi jalan penerus keturuanan. Sebab harapan inilah, yang membuat Sukarno kerap merasa rendah diri. Kepada Fatma Sukarno mengatakan, “Engkau menjadi terang di mataku. Kau yang memungkinkan aku melanjutkan perjuangan yang maha dahsyat.”[9]

Setahun kemudian, Fatma hamil dan memberi Sukarno seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Guntur. Saat itulah, Sukarno merasa impiannya telah tergenggam. Terlebih secara beruntun, Fatma melahirkan anak-anak yang diberi nama: Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Kali ini, Sukarno merasa menjadi lelaki sejati. 

Bersama Fatma, Sukarno menapaki jalan baru sebagai manusia merdeka. Namun perjuangan belum selesai. Badai politik kembali menghempas Indonesia yang masih muda. Konflik luar-dalam kembali bergema. Tahun 1947, Belanda kembali menjerat Indonesia. Pada bulan April, serangan yang kemudian dinamai agresi militer pertama, dilancarkan. Suasana makin semrawut kala di bulan desember tahun 1948, Belanda kembali melancarkan perang. Peristiwa ini akrab dengan nama agresi militer kedua.

Sukarno kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Kala itu, Fatma tetap membersamai. Dalam segala keletihan merawat anak-anaknya, ia tetap menjadi penguat jiwa bagi Sukarno. Fatma hadir sebagai sosok yang diimajinerkan oleh Sukarno. Ia setia mendampingi Sukarno dalam menggelorakan perjuangan. Namun di sisi lain, Fatma juga tunduk dalam kodratnya sebagai perempuan. Sebab kata Sukarno, sehebat apapun perempuan—dalam dunianya, dia tetaplah seorang yang punya dua dimensi: ibu dan istri. 

Selama sepuluh tahun, Fatma berjuang di samping Sukarno. Namun waktu kemudian memutus kebersamaan. Pada Januari 1953, selepas lahir anak kelima, Fatma nekat meninggalkan istana. Hatinya terluka karena Sukarno kembali jatuh cinta. Kala itu, Fatma berucap,“Dapatkah saudara bayangkan dengan perasaan halus, kuatkah perasaan seorang istri untuk mendengarkan permintaan seorang suami seperti yang saya alami? Jika tidak dibantu oleh Yang Maha Kuasa, tak mungkin aku tabah menerimanya.”[10] 

Fatma tetap sendiri. Bahkan hingga Sukarno meninggalkan bumi. Ia hanya berkirim karangan bunga di hari terakhir Sukarno. Namun Fatma tetaplah manusia yang punya sejuta kekaguman pada Sukarno. Ia mengatakan, “Mendampingi Sukarno, memberiku pengalaman beraneka rupa. Bagiku, dia tetaplah mahaputra tanah air Indonesia.”[11]

E. Penutup; Dia yang Tak Mungkin Sempurna

Sukarno, dengan segala kekurangan dan kelebihannya—tetaplah manusia pertama Indonesia yang berani menggemakan kata merdeka. Dia memang tidak sempurna. Sisi manusiawi tetap bersemayam dalam dirinya. Tentang cintanya yang penuh ironi dan bahkan tragedi. Atau bahkan suksesi yang menguras air mata. Namun Sukarno adalah manusia yang tahu diri. Ia sendiri pernah mengatakan, “Aku dipuja seperti dewa dan dikutuk seperti bandit.”

Pemujaan terhadap Sukarno, tumbuh dari kekaguman, baik fisik, pikir, maupun sikapnya yang menawan. Sukarno adalah satu-satunya presiden Indonesia yang meraih 26 gelar doktor honoris causa. Bukan hanya dari Asia, tetapi juga Eropa. Bahkan Amerika juga sempat bertekuk lutut padanya. 

Namun Sukarno tetaplah manusia. Ia tidak akan menjadi bintang tanpa cahaya yang gemilang. Cahaya itu salah satunya bersumber dari perempuan. Di masa kanak-kanak, Sukarno menyerap energi cinta dari Sarinah. Di masa dewasa, pada saat ia berada di titik yang paling nadir dalam perjuangan, Inggit Garnasih hadir sebagai penawar. Selama hampir duapuluh tahun, Inggit mendampingi masa-masa paling menentukan dalam hidup Sukarno. Meski Inggit harus berpisah haluan di akhir perjuangan, Sukarno tetap menempatkannya sebagai guru jiwa.

Begitupun saat Sukarno rindu dipanggil ayah. Fatma hadir sebagai pemberi jagoan. Sukarno tampil semakin percaya diri. Suka-duka sebagai presiden dilalui bersama Fatma. Namun lagi-lagi, Sukarno harus menelan luka. Keinginannya untuk mempersunting Hartini, membuat Fatma memilih pergi. Namun cinta tak lekang. Sukarno tetap menyerap energi cinta Fatma dari anak-anaknya. Mereka setia mendampingi Sukarno. Bahkan pada saat-saat yang paling menyakitkan di akhir hidupnya.

Sejarah memang tak akan kembali. Namun ia berulang, dalam bentuk dan cara berbeda. Sukarno adalah simbol sejarah Indonesia. Dalam gelap ataupun kala telah bercahaya. Namun dia tetaplah manusia biasa. Salah satunya, tak sanggup berjuang jika tanpa perempuan. Sarinah, Inggit Garnasih, dan Fatmawati adalah tiga srikandi. Mereka hadir tepat pada waktunya. Ketika Sukarno ingin tampil paripurna di masanya. 

Sumber

[1] Sukarno. (1963). Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno.
[2] Adams, Cindy. Soekarno an Autobiography as Told to Cindy Adams. a.b. Major Abdul Bar Salim. (1966). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
[3] Ibid., hlm. 10.
[4] Sukarno. (1963). Ibid. hlm. 20.
[5] Ibid., hlm. 5-6.
[6] Ramadhan KH. Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. (Bandung: Kiblat Utama, 2002), hlm. 40.
[7] Reni Nuryanti. (2006). Perempuan dalam Hidup Sukarno; Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak. hlm. 340.
[8] Reni Nuryanti, dkk. (2007). Istri-Istri Sukarno. Yogyakarta: Ombak. hlm. 75.
[9] Reni Nuryanti. (2008). Tragedi Sukarno dari Kudeta Hingga Kematiannya. Yogyakarta: Ombak. hlm. 198.
[10] Arifin Suryo Nugroho. (2009). Fatmawati; First Lady. Yogyakarta: Ombak. hlm. 92.
[11] Reni Nuryanti, dkk. (2007). op.cit., hlm. 102
Share:

Puisi: Nyanyian Penderes


Kau tahu pongkor?
Itulah kebesaran penderes
Arit tajam terselip di pinggang
Rokok terbungkus daun jagung
Mengepul asap perjalanan

Pada batu-batu licin
Dan daun-daun ilalang yang nakal
Merobek kaki berkarat yang sarat warna hidup

Keriput tulang pipi masih aku sembunyikan
Kegagahanku memikul puluhan bambu
Masih aku tunjukkan
Kepandaian merajut awan
Belum dapat aku kalahkan

Akulah manusia
Yang setiap detik memandang dunia
Celana lusuh
Tulang-tulang dada menonjol
Menarikan betapa kuatnya aku

Kegagahanku memanggul gebungan kayu
Untuk mengepulkan dapur hidup
Masih ku ingat
Betapa kejamnya pohon-pohon yang mematikan

Bersamanya aku dekap
Saat petir menggulung di kepalaku
Nyiurnya justru melambungkan harapan

13 Maret 2003
Share:

Arsip Blog

Artikel Terbaru