Sabtu, 22 Juli 2017

Islam sebagai Pondasi Pergerakan Nasional Indonesia

Pengantar; Spiritualitas Islam dalam Pergerakan Nasional

Menurut geopolitik, maka Indonesia tanah-air kita. Indonesia yang bulat. Bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera. Itulah tanah-air kita! Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan suatu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ‘golongan kebangsaan’. Ke sinilah kita harus menuju semuanya (Bung Karno, 1945).

Indonesia secara historis tercipta dari proses yang panjang. Ada pondasi agama sebagai kekuatan. Sebab tanpa bertumpu pada Tuhan, segala usaha tidak akan bermakna. Dalam dinamika yang dilalui, ada perjuangan menyatukan golongan untuk mewujud kata ‘merdeka’. Karena hanya dengan kemerdekaan, Indonesia diakui dunia sebagai bangsa yang bermartabat. Indonesia juga dipandang mampu menegakkan ‘rumah’ bernama negara yang berdaulat.

Demi kedaulatan, rakyat Indonesia berani berdarah-darah. Jatuh bangun dialami. Susah payah dirasakan. Namun perjuangan tetap diteruskan. Sebab kata Bung Hatta, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.”

Pencapaian kedaulatan Indonesia memajang kisah tersendiri. Persoalannya bukan semata mengusir penjajah, tetapi juga menyatukan golongan yang beragam. Masing-masing membawa ideologi sebagai dasar perjuangan. Ada empat ideologi yang dibawa dalam pergerakan nasional, yakni: nasionalis, sosial- demokrat, Islam, dan komunis (Legge, 1993).

Keempat ideologi punya visi yang sama: mengakhiri dualisme kekuasaan. Hal ini senada dengan pernyataan Agus Salim, “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.” Sebab meskipun Belanda sejak tahun 1922 sudah mencanangkan kemandirian bagi pemerintah pribumi, tapi kenyataannya masih mendominasi. Belanda tetap menjadikan Indonesia sebagai basis kekuatan ekonomi-finansial. Politik rasis bahkan dibuat untuk meminggirkan pribumi. Belanda menjadikan Cina sebagai kelas kedua, sementara pribumi kelas ketiga. Bahkan terang-terangan, Belanda enggan duduk satu meja untuk mencari jalan tengah dalam menentukan nasib pribumi.

Dengan susah payah, perjuangan dimulai untuk Indonesia. Kaum intelektual misalnya, berdiri di garda depan. Mereka semakin garang semenjak tahun 1920-an. Corong perjuangan antara lain dilakukan melalui partai seperti: Indische Partij (IP), Sarekat Islam (SI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

Kala Belanda terusir di tahun 1942, Indonesia makin berhelat dengan kemerdekaan. Selama tiga tahun, berhasil memerangi Jepang. Hingga akhirnya, kemerdekaan terpancang di tahun 1945. Namun lagi-lagi, Indonesia harus berhadapan dengan Belanda. Secara politik, Indonesia dianggap hanya sebagai warisannya. Namun dengan tegas Mohammad Yamin mengatakan, “Negara ini diangkat bukan dari ahli waris kerajaan Belanda. Sebab cita-cita bangsa ini bukan diikat oleh kolonialisme Belanda (Swantoro, 2002).”

Penegasan Yamin sekaligus menjadi dasar bahwa Indonesia memang dibangun dari darah pejuang. Bukan pecundang. Indonesia adalah akhir dari proses kesabaran yang dinamakan perjuangan. Bentuk nyata dari keinginan menyatu padu kekuatan. Hal ini merupakan inti dasar dari spiritualitas yang dalam Islam dikatakan, “Seorang muslim bagi muslim yang lain bagai suatu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain (HR. Bukhari Muslim).”

Islam dalam pergerakan nasional memang paling kuat pengaruhnya. Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan bahwa Islam adalah faktor utama penyatuan bangsa-bangsa di Kepulauan Hindia (Hun, 2011). Islam bahkan menjadi satu faktor persatuan dalam kesadaran terhadap diri sendiri di kalangan orang Indonesia (Niel,1984). Dalam waktu yang sama, menjadi ukuran solidaritas nasional, tanpa mempertimbangkan warna kulit. Islam dengan demikian, adalah faktor dominan dalam dinamika sejarah nasional Indonesia. Nilai-nilai perjuangan, kemerdekaan hidup, keadilan sosial, dan persatuan, berjalin menjadi kekuatan.

Pembahasan

Perjuangan adalah Keharusan

Perjuangan pada dasarnya merupakan kekuatan jiwa untuk menapaki sikap: sabar, tawakal, taqwa, dan optimis (Shihab, 2002). Sabar menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, tetapi harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggungjawab. Tawakal bermakna mewakilkan urusan kepada Tuhan; taqwa menyangkut kehati-hatian dalam bertindak; sementara optimis mengandung makna jauh dari sikap putus asa.

Berkait dengan sejarah, mencipta Indonesia merupakan tumpah ruahnya sebuah perjuangan. Jiwa dan raga disembahkan. Darah dan air mata dicurahkan. Sebab perjuangan selalu meminta pengorbanan. Segalanya menjadi wujud ketetapan. Sebab Al Quran dalam Surat Rad ayat 11 juga berpesan, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Pesan Al Quran mewujud dalam tindak nyata kaum intelektual dalam menggaungkan kemerdekaan Indonesia. Segenap golongan berpadu dalam gerak kerja mewujudkan bangsa. Bermula dari Tri Koro Dharmo di tahun 1907, kemudian mewabah dalam organisasi kebangsaan lainnya.

Sejak organsasi politik bermunculan, gema perjuangan kemerdekaan makin terang-terangan. Tahun 1925, Hatta dan Syahrir yang saat itu di Belanda, bersuara lewat PI. Namun dua tahun kemudian pada 1927, mereka dipenjarakan. Sementara di Bandung, Sukarno baru bergerak dengan kendaraan PNI. Partai ini sangat lantang menggemakan kemerdekaan. Akibatnya, Sukarno pun dipenjarakan pada akhir Desember 1929.

Tahun 1930, Sukarno membuat kejutan dengan menggemakan pledoi berjudul Indonesia Menggugat. Ia sepertinya mengikuti langkah Hatta yang di tahun 1928, juga mengajukan pembelaan di depan pengadilan Belanda (Legge, 1993). Sukarno secara tegas mengatakan bahwa penjajahan adalah bentuk penindasan manusia atas manusia. Kenyataan ini harus dipupus. Sebab penjajahan yang berbau kapitalisme, mempunyai arah kepada pemelaratan (Verelendung).

Atas nama kemerdekaan, perjuangan makin digaungkan. Perlawanan rakyat pun berkobar. Genderang perang makin melebar. Segalanya ditumpahkan untuk satu kekuatan merebut kemerdekaan. Keterbatasan tak menjadi halangan. Bahkan rasa sakit tak meluluhkan tekad. Sebut saja Sudirman yang berjuang dengan separuh paru-paru. Namun semangatnya tetap menderu. Dengan lantang ia mengatakan, “Perjuangan suci akan menemukan muaranya. Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati sedang kamu sesungguhnya lebih baik jika kamu mukmin.”

Mencipta Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan

Kemerdekaan hidup merupakan kebutuhan. Sebuah naluri jiwa yang tak mungkin dimatikan. Sebab dalam jiwa yang merdeka, tumbuh tunas-tunas kehidupan. Dari tunas berkembang harapan. Dari harapan, mewujud kerja akal, pikir, dan hati yang akan memunculkan sisi keutuhan manusia. Hanya manusia utuh yang mampu menggerakkan perubahan.

Perubahan merambah dalam kiprah memanusiakan manusia. Memberi ruang jiwa untuk berdialog dengan lingkungan dan Tuhan. Dari sinilah, muncul sikap dan sifat saling menumbuhkan dan membesarkan. Tidak saling mendominasi atau bahkan menyakiti. Pada puncaknya, akan muncul keadilan sebagai payung kehidupan. Inilah yang diinginkan Islam. Sebab tanpa damai (salam) dalam jiwa manusia dan interaksinya, maka segalanya akan kacau, rusak, bahkan kehidupan akan berhenti (Shihab, 2002).

Suasana adil inilah yang termaktub dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahwa hidup terjajah adalah bentuk pengekangan. Hidup terkekang sama artinya berdiri di atas lembah kematian. Kondisi inilah yang pernah dialami bangsa Indonesia sejak penjajahan bergema di nusantara. Puncaknya adalah sejak awal abad 19, kala Belanda secara resmi menjadikan Indonesia sebagai wilayah jajahan.

Kehidupan masyarakat pribumi lambat laun menjadi kacau. Dualisme kekuasaan membuat rakyat semakin menderita. Terlebih saat Belanda menerapkan politik rasis. Masyarakat pribumi dibuat inverior. Hal ini terlihat dari lumpuhnya ekonomi rakyat. Bahkan semakin parah kala Belanda menerapkan pendapatan kena pajak. Bayangkan saja di tahun 1939. Seperempat juta orang Eropa pada masa itu memperoleh pendapatan kena pajak seluruhnya sebesar 350 juta gulden. Sedangkan hampir 60 juta orang pribumi hanya 450 juta gulden (Swantoro, 2002).

Persoalan pendapatan juga menimbulkan keprihatinan. Penghasilan kebanyakan orang pribumi kala itu kurang dari 200 gulden setahun, sedangkan kebanyakan orang Eropa di atas 900 gulden. Yang menyolok adalah Cina dengan penghasilan total lebih dari 170 gulden (Swantoro, 2002).

Pembedaan kelas dan penghasilan, pada akhirnya menimbulkan ketimpangan pada masyarakat pribumi. Kenyataan inilah yang menjadi salah satu tonggak munculnya beragam perlawanan. Bentuk perlawanan beraneka cara, baik secara fisik maupun non fisik.

Beragam perlawanan pada dasarnya juga menjadi bentuk percaturan ideologi. Kelompok Islam misalnya, mengambil energi perjuangan Nabi Muhammad kala mengemban misi profetik. Misi ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial (Muhtada, 2008). Bahkan perang melawan Belanda sepanjang tahun 1873-1912 di Aceh, diyakini sebagai bentuk jihad di jalan Allah (Alfian, 2006).

Membangun Persatuan

Persatuan pada dasarnya merupakan kekuatan yang diserukan dalam Islam. Seruan, baik dalam hadits maupun Al Quran, menjadi daya dorong bagi kaum intelektual untuk merebut kemerdekaan. Jalan panjang ditempuh, baik secara fisik melalui perang maupun non fisik lewat: surat kabar, organisasi, dan diplomasi.

Selama Belanda berkuasa, berbagai daerah di Indonesia kerap terlibat kerusuhan sebagai bentuk perlawanan. Tahun 1920-an, muncul pemberontakan di Sumatera Barat dan Jawa Barat yang digawangi oleh PKI. Jauh sebelum itu sejak tahun 1800-an, beragam pemberontakan telah bergema di nusantara. Sebut saja perlawanan: Pattimura, Imam Bonjol, Diponegoro, Antasari, Sisingamangaraja XII, Cut Nyak Dien, Patih Jelatik, dan lainnya.

Perjuangan organisasi juga punya cerita tersendiri. Sejak PI dipimpin Hatta dan Syahrir pada 1925, arus perlawanan terhadap Belanda semakin deras. Bukan hanya itu. PNI bersama Sukarno juga terus melakukan propaganda di Bandung dan daerah lainnya. Demikian juga SI di Surabaya yang dibidani Tjokroaminoto dan Agus Salim. Organisasi ini secara terang-terangan melawan penindasan ekonomi terhadap penduduk pribumi.

Perlawanan melalui surat kabar juga terus berkobar. Media ini memegang peranan penting dalam pergerakan pemikiran. Hampir dipastikan bahwa para pemimpin pergerakan nasional kala itu adalah tokoh pers. Nama-nama seperti: Tjokroaminoto, Syahrir, Hatta, Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangungkusumo, Kartosuwiryo, Agus Salim, dan Douwes Dekker adalah pemilik surat kabar sekaligus penulis. Surat kabar yang secara tajam menyerukan perlawanan terhadap Belanda antara lain: Bintang Soerabaja, Medan Prijaji, De Expres, Oetoesan Hindia, Saroetomo, Hindia Putera, Indonesia Merdeka, Fadjar Asia, Fikiran Rak’jat, dan Daulat Rakjat.

Beragam jalan perlawanan yang ditempuh, bukan berarti sepi konflik. Perbedaan pendapat kerap mewarnai. Sebagai contoh, perdebatan tampak pada saat membangun ideologi kemerdekaan. Tiga tokoh besar: Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Kartosuwiryo berpegang pada tali Islam. Sementara Sukarno memilih nasionalisme (kebangsaan) sebagai pegangan. Perdebatan berlangsung secara damai dalam surat kabar. Bahkan ketika Agus Salim terang-terangan menentangnya, Sukarno menjawab dengan tulisan berjudul Ke Arah Persatoean: Menjamboet Toelisan H.A.Salim.

Perdebatan juga terjadi antara Hatta dan Syahir terhadap Sukarno saat memimpin PNI. Keduanya menilai bahwa pergerakan Sukarno yang berbasis massa, tidak tepat diterapkan pada masyarakat yang masih buta politik. Pidato-pidato yang dilakukan juga dinilai tidak efektif. Seharusnya pengerahan massa didahului oleh pendidikan politik yang matang.

Perdebatan terus berlangsung hingga jelang kemerdekaan. Saat itu, Sukarno dan Hatta ingin menunda pengumuman kemerdekaan. Sementara kelompok Syahrir, meminta disegerakan. Syahrir bahkan terlihat sangat marah mendengar keputusan Sukarno dan Hatta (Legge, 1993). Perdebatan memuncak sehingga jalan cepat diambil dengan menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pada akhirnya demi kepentingan bangsa, keduanya taat pada perintah golongan muda. Mereka pun berhikmat saat didaulat menjadi presiden dan wakil.

Pasca kemerdekaan, Indonesia kembali dihadapkan pada kesulitan. Munculnya agresi militer Belanda I (1947) dan II (1948), menjadi ujian terberat. Jalan diplomasi akhirnya ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, Konferesi Meja Bundar adalah sederet perjuangan yang menguras pikiran demi kehormatan bangsa. Dalam masa ini, kerjasama antar tokoh menjadi kekuatan yang tak bisa tergantikan.

Persatuan memang tak mudah didapatkan. Namun mesti ditegakkan. Sebab tak ada jalan lain untuk meraih kemajuan kecuali beriringan dalam satu kerja bernama: persatuan. Jalan ini memang terjal. Manusia harus berpegang teguh pada tali kesabaran. Pada akhirnya, penerimaan atas kenyataan menjadi kekuatan tersendiri bagi pemimpin. Demikian juga keikhlasan membangun kebersamaan, menjadi jalan yang mendatangkan kemaslahatan.

Penutup

Islam adalah pondasi dalam membangun ‘rumah’ bernama Indonesia. Kedudukannya bukan hanya sebagai ‘pedang’, tetapi juga kekuatan dalam berjuang. Nilai-nilai kemerdekaan, keadilan sosial, rasa persatuan—semuanya termaktub dalam satu wadah bernama Islam. Dinamika sejarah nasional Indonesia—dengan demikian, adalah proses di kala kekuatan Islam diuji untuk menyatu padu aneka golongan. Pada akhirnya, mereka duduk bersama untuk mengukir prasasti bernama: Indonesia.

Sumber/Rujukan

Departemen RI. (2007). Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Darus Sunnah.

Hun, K.Y. (2011). Pramoedya Menggugat; Melacak Jejak Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Ibrahim, A. (1987). Perang di Jalan Allah (Aceh 1873-1912). Jakarta: Grafiti Press.

Legge, J.D. (1993). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan; Peranan Kelompok Syahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Muhtada, D. (2008). “Makna Kemerdekaan dalam Alquran”. Suara Merdeka, 15 Agustus 2008.

Shihab, M.Q. (2007). Secercah Cahaya Illahi; Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan.

Swantoro, P. (2002). Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Islam Pondasi Pergerakan Nasional
Share:

Arsip Blog

Artikel Terbaru