Selasa, 01 November 2016

LANGIT UNTUK BINTANG


Seekor weling merayap pelan. Matanya menatap tajam mangsa yang ada di depannya. Perut kembang kempis menunjukan hasrat memakan korban. Ia terus berjalan sambil menjulurkan lidah. Pelan dan pasti. “Hap!” Mangsa dililit kuat-kuat meski terus meronta. Segala daya dikerahkan untuk melepas lilitan. Ia meronta dan terus meronta, hingga akhirnya:

“Tolong! Tolong ! Tolong!” 

Bintang berteriak hingga serak. 

Seketika tetangga lari blingsatan. Rumah kos berisi tiga kamar itu, seola
h guncang. Ranjang reot milik tiga penghuni serasa ambruk. Teriakan Bintang membuat nyamuk bringas beterbangan. Cicak memaku dalam remang. Kodok yang sedang berpesta di genangan air, sejenak terdiam. Suasana panik dalam teriakan ketakutan.

“Ada apa, Mbak Bintang?” 

Pintu kamar digedor berkali-kali. Mata Bintang terbelalak. Secepat kilat ia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Dua tetangga kamar berdiri memaku. Yuni si gadis Batak erat memeluk guling. Sementara Mimin si ‘pujakesuma[1] sibuk merapikan rambut panjangnya. Wajah kusut mereka menunjukan kepanikan. 

“Aku digigit ular.”

“Hah! Mana? Mana? Mana ularnya, Mbak?” Tanya Yuni dan Mimin dengan nada bercampur kepanikan.

“Rupanya hanya mimpi. Bukan ular sungguhan,” jawab sambil menggaruk kepala.

Bintang terdiam. Mimin dan Yuni senyum-senyum sambil menggoda.

“Ularnya cakep apa tidak, Mbak?” 

“Ah, kalian! Masih saja bercanda.”

Bintang menutup pintu. Ia terdiam mengusir bimbang. Pikirannya melayang pada cerita-cerita yang kerap diumbar banyak orang. Tafsir mimpi digigit ular memang lekat di hati masyarakat. Tak jauh-jauh dari pertanda: jodoh telah tiba. 

Jarum jam bergerak ke angka empat. Berkali-kali Bintang menarik nafas panjang. Tak lama kemudian, perempuan berbadan ramping itu beranjak untuk bersuci. Bintang lalu tenggelam dalam lautan sajadah. Sejam kemudian, nama Tuhan disebut lewat alunan adzan. Bintang membuka hari dengan satu pertanyaan, “Apa maksud mimpiku malam ini?” 

Bukankah ular bukan pertanda kebaikan? Ia diyakini sebagai jelmaan jin. Ular masuk dalam mimpi buruk untuk menggelisahkan anak Adam. Bukankah begitu Nabi mengatakan? Bintang berpikir bahwa ular adalah pertanda jeratan. Bukankah makhluk melata ini gemar menjerat mangsa dengan juluran dan lilitannya. Mudah-mudahan, jerat kebahagiaan. Sebab Bintang memang sedang resah menunggu jodohnya. Akankah pertanda, laki-laki yang diimpikan telah datang untuk menjerat hatinya?

***

Dua bulan berlalu semenjak Bintang memberi amplop warna biru. Dua lembar surat terselip di dalamnya. Tertuang jawaban yang sebelumnya ditunggu laki-laki bernama: Fardan. “Aku menerimamu kembali, Far. Tetapi, mungkinkah kita mampu mereguk makna bahagia? Seperti Adam yang setia pada Hawa atau bahkan Muhammad yang menyejarah cintanya kepada Khadijah?” Kini Bintang menunggu. Kapan kiranya Fardan membalas suratnya. Sebab di akhir tulisan Bintang bilang, “Aku menunggu jawabanmu.” 

Dua bulan berlalu. Fardan belum memberi kepastian. Padahal saat terakhir berjumpa di Yogyakarta ia bilang, “Bintang, maukah engkau menerimaku kembali. Kendati waktu dan jarak sempat memisah?“ Tak perlu banyak waktu untuk bilang: “iya”, sebab Bintang masih berharap pada Fardan. Namun harapan berubah ketidakpastian. Ibarat musim, hujan berubah kering. Kemarau. Tandus. Gersang. Bintang merasakan kibasan badai kebimbangan. Menunggu, biarpun menyakitkan. 

***

“Mbak Bintang, ada tamu.”

Suara lembut Mimin membuat Bintang berhenti menggores pena. Sejak kuliah, Bintang menempa diri di dunia menulis. Artikel, cerpen, novel, hingga buku sudah dibuatnya. Bintang menulis bukan sekedar memenuhi hasrat hobi. Lebih dari itu katanya, “Aku menulis untuk hidup. Hidup jiwa. Hidup hati. Hidup pikiran. Juga hidup perut.“ Bintang tak bisa bersandar pada penghasilan pas-pasan. Semenjak merantau ke Serambi Mekah sebagai dosen, ia memang harus ekstra berjuang. Gajinya tak sanggup untuk bayar kontrakan dan kebutuhan yang lain. 

Dosen: kertase sak dus, duwite sak sen[2], begitulah kiranya ungkapan yang tersemat untuk dosen muda di kampus swasta. Tapi bukan itu sebenarnya. Bagi Bintang, pengabdian yang dinaungi ketenangan, jauh lebih menghidupkan. Bergelimang materi bukan menjadi bukti menjadi manusia sejati. Sebab tujuan hidup adalah mengejar yang satu: keridhaan Tuhan. Apa, di mana, dan bagaimanapun, jika Tuhan ridha, maka yang terlekat adalah: kebahagiaan. 

Universitas Hasjimi bagi Bintang adalah lumbung pengalaman. Pahit-manis hidup dalam perbedaan budaya, membuatnya harus bertahan. Dalam bimbang yang kadang menyerang, Bintang merindukan sosok kawan. Fardan adalah sandaran harapan. Namun waktu tak segera memberi jawaban. Haruskah Bintang berpaling, tak lagi memicingkan mata pada kumbang-kumbang yang datang?

“Siapa, Min?”

“Dua lelaki, Mbak. Penampilannya sangat rapi.” 

Bintang digerus rasa penasaran. Ia menghampiri Mimin. Hatinya terus menoreh tanya, “Siapa ya?” Tak lama kemudian, ia berjalan tergesa. Mata Bintang terbelalak saat membuka pintu. Dua laki-laki berbadan tegap dan berkulit putih duduk di kursi. Mereka mematung melihat Bintang. Kikuk, itulah yang dirasakan keduanya. Lelaki bernama Langit dan Panca itu saling pandang. Sementara Bintang salah tingkah dengan raut muka memerah.

“Maaf, ini dengan Mbak Bintang?” 

Panca, menyapa dengan nada seolah tak percaya. Bintang jadi bingung, kenapa laki-laki yang sebelumnya pernah ia kenal lewat cerita mahasiswanya itu, seolah heran melihat dirinya. Bintang memang tahu sedikit tentang lelaki yang belum dua tahun menyandang gelar duda ini. Istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua. Kabarnya, Panca sedang mencari pengganti sang istri, perempuan tercantik di kampungnya yang juga anak pengusaha. 

Kepergian sang istri, membuat Panca kehilangan pegangan. Ia kasihan melihat anaknya yang tumbuh tanpa dekapan seorang ibu. Panca terpaksa menitipkan gadis mungil bernama Syifa itu kepada ibunya. Ia sendiri bekerja sebagai penyuluh di Gampong[3] Rayeuk. 

Empati tentang Panca, memang pernah merasuk ke jiwa Bintang. Saat itu mahasiswanya bilang, “Ibu, menikah saja dengan Pak Panca. Orangnya sangat baik.” Bintang memandang sesaat kepada lelaki yang dari kejauhan tampak sigap menjaga anaknya. Kejadian itu rasanya belum lekang dari ingatan Bintang. Sebab hanya seminggu berselang saat Bintang jalan-jalan ke balai kota. Kini, laki-laki bermata sendu itu hadir, tepat di depannya. 

“Iya, betul. Saya Bintang. Ada apa ya?”

“Saya sangat menyukai tulisan Mbak di koran Serambi. Kalau tidak salah, judulnya Khadijah; Cinta yang Tak Lekang. Saya berulang-ulang membaca dan merenungkannya.”

“Terima kasih sebelumnya, sudah baca tulisan saya.”

“Ya, mungkin Mbak Bintang kaget dengan kedatangan saya dan Langit ke mari. Saya ingin bertemu langsung dengan Mbak. Barangkali, saya bisa belajar menulis. Almarhumah istri saya juga suka menulis. Hanya saja, tidak pernah dipublikasikan.”

“O, begitu. Baiklah, kita atur saja waktunya.”

“Begini saja, Mbak Bintang,” sela Langit dengan suara lembut.

“Ya, bagaimana Mas?”

“Setiap Jumat sore di pendopo ada pelatihan menulis. Bagaimana kalau Mbak ikut membagi ilmu di sana. Bang Panca juga bisa sekalian hadir.”

“Hemm…bisa juga. Kebetulan, kalau Jumat sore saya jarang ada kegiatan.”

***

Sebulan berlalu semenjak kedatangan Langit dan Panca. Bintang gelisah. Ia terngiang dengan e-mail Panca yang dikirimkan kepadanya.

“Mbak Bintang, bolehkah aku memanggil dengan nama: Bintang? Rasanya lebih akrab karena umur Bintang juga jauh lebih muda dari saya. Kita terpaut hampir delapan tahun. Bintang, aku hampir dua tahun menduda. Anakku menginjak usia dua tahun. Ia mendamba ibu. Aku sudah berusaha untuk memberi. Namun Tuhan belum mengamini. Anakku pernah melihatmu di toko buku. Saat itu, engkau tersenyum padanya. Ia girang. Ia senang. Seolah menyangka, engkau ibunya. “Papa, itu mama ya?” Suara cedalnya, Bintang. Aku tak sanggup. Aku tak kuasa mendengarnya. Aku ingin Nafisa hadir. Tapi itu tidak mungkin. Haruskah aku menggali kuburnya. Membuka kafannya. Aku terlalu cinta. Ia sempurna bagiku.” 

“Bintang, anggaplah aku pengemis atau bahkan gila. Tapi aku susah mencari cara. Bintang, kamu masih ingat Langit kan? Aku berharap, engkau menjadi pendampingnya. Dia baik lagi sederhana. Aku kenal dekat dengannya. Bahkan saat aku merasa hancur sejak kepergian Nafisa, Langit menampung kesedihanku. Bara semangatnya menghangatkan jiwaku yang beku. Berhari-hari aku meratapi nasib. Tapi Langit membuka pintu harapan: kehilangan seseorang tak berarti hilang segalanya. Setidaknya jika Langit bersamamu, Syifa bisa merogoh kasih sayangmu. Sebab aku tak pantas buatmu.”

Bintang terkejut membaca pernyataan Panca. Prasasti penerimaan yang sedang dipahat, hancur berkeping. Mungkin bagi Panca, Bintang tak lebih bersinar dibanding Nafisa. Apalagi posisi sebagai perantau, membuat Panca harus berpikir panjang. Terlalu banyak aral melintang. Doa berakhir pada satu kata: mundur. Bintang juga tak habis pikir, apakah Langit memang kado Tuhan untuknya. Sebab aneh rasanya, kenapa ia sanggup membuat Panca membuang perasaan padanya.

***

“Bintang, aku ingin meminangmu.”

Langit mengucap lembut lewat ponsel. Bintang terdiam. Ia menggantung jawaban. Bagi Bintang, Langit memang istimewa. Saat Panca mengajak ke kostnya, hati Bintang berdesir. Langit, guru muda yang baru dua tahun menyandang pegawai. Ia sosok sederhana yang setia menaiki cup 70. Panca tahu segala kekurangan hidup Langit. Bahkan katanya, “Bintang, engkau harus sanggup makan nasi campur garam.” Perkataan Panca membawa nilai tersendiri pada Langit. Tak bisa dipungkiri, keteduhan wajah Langit seolah jadi cahaya buat Bintang. 

Namun Bintang masih ragu. Ada Fardan di hatinya. Masih saja, nama laki-laki yang sudah dikenalnya sejak kuliah ini, nongkrong di ruang hatinya. Bintang bimbang dalam penantian. Sudah dua bulan suratnya dilayangkan. Tak ada tanda-tanda Fardan akan mengirim jawaban. Bintang mencoba menghubungi Fardan. Berkali-kali ia memencet nomor tujuan. Namun jawaban sungguh menyakitkan: “Nomor yang anda hubungi sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.” Bintang tak putus asa. Ia tetap menunggu. Suatu hari Fardan akan memberi jawaban. Mungkin lewat panggilan atau sekedar pesan.

Hari berganti. Bulan berlalu. Fardan tak kunjung menghubungi. Bintang mulai berpikir, mungkin ini jawaban Tuhan atas segenap curahan hatinya. Hingga dua minggu kemudian, ia memberi kejutan pada Langit. Dalam hening malam. Saat manusia larut dalam kantuk. Saat badan membujur dalam mimpi. Bintang berucap pelan, “Mas Langit, aku menerima pinanganmu.” 

Bintang teringat pada mimpinya beberapa bulan lalu. Gigitan ular adalah jeratan. Langit menjerat hatinya untuk menerima hadiah yang dinanti perempuan: kepastian. Sejak itu, Bintang pelan-pelan membuang ingatan pada Fardan. Tak ada lagi tempat di hati, meski sehari setelah itu Fardan mengirim jawaban.

“Bintang, aku sudah beli sepeda motor baru. Aku bekerja keras demi memberi yang terbaik untukmu. Kamu kan tahu, aku hanya punya ‘astuti butut’. Mana mungkin sanggup membawa kita jalan-jalan keliling Yogyakarta. Aku berjanji pada diriku, akan menghubungimu jika motor impian itu sudah ada di tangan. Maafkan aku Bintang, jika membuatmu bimbang. Tapi percayalah, aku akan selalu setia untukmu.” 

Bintang meneteskan air mata. Bibirnya berucap lirih, “Terlambat.”  [selesai]

[1] Pujakesuma adalah sebutan untuk orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatera.
[2] Ungkapan berbahasa Jawa yang artinya: kertas satu dus, uang hanya satu sen.
[3] Gampong adalah kata berbahasa Aceh yang artinya dengan kata: desa/kampong. 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Artikel Terbaru