Jumat, 19 Januari 2018

Berguru pada Sangkan Paraning Dumadi: “Resep Jawa” untuk Bangsa yang Berkarakter


Pengantar: Tuhan dalam Sangkan Paraning Dumadi

Kawruhana sejatining urip
Urip ana jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi pencokan benjang
Awja kongsi kaleru
Umpama lunga sesanja
Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih
Mulih mula mulanya
(Tembang Dhandanggula)

Tembang Dhandanggula adalah perlambang ungkapan sangkan paraning dumadi yang sangat dikenal masyarakat Jawa. Ungkapan ini menyemat pesan bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara. Bagai minum seteguk air dan setelah itu sirna. Sebab itulah, mengolah hidup dengan sebaik-baiknya, menjadi jalan bagi manusia yang ingin memenangkan kehidupan. Kuncinya adalah berpegang pada Tuhan dengan mengolah hati agar selamat dalam pertarungan dunia.

Sangkan paraning dumadi
merupakan ‘pusaka kehidupan’ masyarakat Jawa yang disebut sipat kandel—pemberi dasar kekebalan, baik fisik maupun rohani kepada manusia[1]. Di dalamnya memuat empat hal yakni: nilai kehidupan, “sisi dalam” (nafs), tekad (iradat), dan kemauan keras[2]. Pada dasarnya, sangkan paraning dumadi merupakan ilmu olah hati. Dengan demikian, berdekatan dengan tasawuf yang dimaknai sebagai ilmu tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir batin dalam mencapai kebahagiaan yang abadi[3]. Dalam memperjalankan tasawuf, pengabdian kepada Tuhan adalah pondasi yang tak tergantikan[4].

Secara historis, ungkapan sangkan paraning dumadi muncul sebagai bentuk keterhadiran tradisi Islam dalam lingkungan masyarakat Jawa[5]. Ungkapan yang tercermin dari tembang Dhandanggula, menjadi wujud nyata bahwa Islam hadir menjadi jiwa dalam karya sastra Jawa. Termasuk di dalamnya: serat, suluk, babad, dan hikayat[6]. Karya sastra dalam bentuk naskah yang dianggap pusaka, menunjukkan cara masyarakat Jawa di masa lalu dalam mengonseptualisasikan pemikiran dan membangun teknologi sosio-kultural. Karya sastra—dengan demikian, menjadi cara untuk menyelesaikan masalah.

Sangkan paraning dumadi dalam hal ini menjadi produk pemikiran masyarakat Jawa untuk mengatasi persoalan yang ada. Internalisasi sangkan paraning dumadi bagi masyarakat Jawa, terlihat pada kata ‘Gusti’ untuk menyebut nama Tuhan. Gusti berasal dari kata: bagusing ati (hati yang suci). Kesucian hati sudah disinggung Nabi Muhammad dalam pernyataannya, “Di dalam diri manusia terdapat segumpal daging yang jika daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh pemiliknya. Namun apabila rusak, maka rusaklah pemiliknya. Segumpal daging itu adalah hati.”[7] Hati dalam hal ini merujuk pada qalbu—“sisi dalam” (nafs) manusia yang menjadi tonggak pertanggungjawaban atas perbuatan selama hidup. Sebab Tuhan lebih tahu tentang apa yang ada pada “sisi dalam” manusia[8].

Kehidupan nyata pada dasarnya adalah cerminan “sisi dalam” manusia[9]. Di dalamnya, terdapat nilai-nilai kehidupan—yang jika dipahami, dihayati, dan diamalkan, akan melahirkan akhlak dan budi pekerti yang luhur[10]. Oleh sebab itu, “sisi dalam” ini harus dijaga sehingga lahirlah: hati yang suci. Kesucian hati adalah embrio lahirnya: pemikiran, ucapan, dan tindakan hidup yang mulia. Demikian pemahaman pada sangkan paraning dumadi, hanya dapat digapai jika manusia punya hati yang suci.

Kesucian hati dalam pemahaman sangkan paraning dumadi, dapat diraih jika manusia selalu: eling (ingat), waspada, serta gemar hidup prihatin. Tujuannya adalah supaya mampu hidup selaras dengan Tuhan, alam, dan manusia. Pada Tuhan, senantiasa berpegang. Pada alam, menjaga dan melestarikan. Pada sesama selalu menghargai, menghormati, dan memahami. Dari sinilah, manusia akan sampai ke samudra taqwa—saat ia ditempatkan paling mulia di sisi-Nya.

Ketaqwaan menjadi muara yang paling dicari manusia. Ia menjadi simbol keberhasilan dalam mengarungi kehidupan. Tuhan akan memberikan reward dengan mengangkatnya sebagai: kekasih. Pada posisi inilah dalam pandangan masyarakat Jawa, manusia berhasil mereguk makna sangkan paraning dumadi. Ia tahu dari mana berasal dan ke mana tujuan hidupnya. Sebagaimana asal, Tuhan juga merupakan tujuan kembalinya manusia.

Berpegang pada Tuhan merupakan keharusan. Demikian secara nyata dalam hidup berbangsa dan bernegara. Manusia sejatinya selalu butuh Tuhan. Saat lahir, tumbuh, lalu mati—Tuhan selalu mengiringi. Bayangkan jika manusia tak kenal Tuhan. Kehidupan bakal porak poranda. Sebab dimensi: cinta, damai, kasih, dan sayang—bersumber dari zat Tuhan. Ia menjadi pondasi karakter manusia yang beradab. Persoalannya adalah, manusia kerap mengesampingkan Tuhan. Bahkan bagi masyarakat Jawa, makna sangkan paraning dumadi bagai telah mati. Kalau begitu, ke mana bangsa ini hendak di bawa pergi?

Pembahasan

Eling, Waspada, dan Prihatin

Kata ‘eling’ melibatkan dua dimensi: eling pada Tuhan dan manusia. Dimensi ketuhanan memaknai eling pada asal kelahiran manusia (sangkaning dumadi) dan apa yang dilakukan di bumi dalam mencapai kelanggengan kehidupan akhirat (paraning dumadi). Sedangkan pada dimensi kemanusiaan, kata ‘eling’ merujuk makna: berbuat baik pada sesama, tanpa pamrih, dan jangan sombong atau takabur. Adapun kata ‘waspada’, mengarah pada pemahaman: mewaspadai hal-hal yang mencelakakan manusia, baik sifat, sikap, tindakan, maupun ucapan[11]. Sedangkan prihatin mengarahkan manusia untuk gemar hidup sederhana.

Implementasi nilai eling, waspada, dan prihatin, menjadi resep jitu dalam menumbuhkan karakter bangsa. Ketiganya menjadi kunci pembuka pintu rahmat Tuhan. Kondisi Indonesia yang carut-marut belakangan ini, dapat disembuhkan jika manusianya kembali pada kesadaran sebagai makhluk Tuhan. Dalam dimensi ini, manusia diperintahkan untuk menebar kedamaian dan kasih sayang.

Kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan, akan mengetuk pemahaman bahwa segala tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam hidup menjadi sangat dibutuhkan. Aktivitas manusia dalam beragam segi, diharapkan tidak melukai, menyakiti, atau bahkan menghilangkan harapan hidup seseorang.

Dalam kecintaan manusia terhadap Tuhan, hatinya akan hidup sehingga timbul perbuatan yang luhur. Ia hanya akan berpikir dan bertindak jika benar-benar sesuai jalan Tuhan. Sebab Tuhan yang paling tahu makna dari setiap kejadian. Bahkan dalam Al Quran Surat Al Baqarah: 216 tertulis, “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Pesan Al Quran sebenarnya sangat jelas. Manusia harus dekat dengan Tuhan agar gerak hidupnya senantiasa terlindungi. Namun sayang, mereka masih yang ingkar. Atas nama logika, bisikan hati dikebiri. Demi kebebasan, pikiran lebih diangungkan. Manusia pada akhirnya berpikir dan bertindak hanya dengan mengandalkan jasad (raga) semata. Peran ruh—tempat bermuaranya hati tidak disambangi. Akibatnya, manusia kerap menemui kebuntuan, kejenuhan, kejumudan, dan bahkan kerusakan diri.

Bencana Negeri, Bencana Hati

Bencana kian tumbuh di Indonesia. Bukan hanya berwujud alam, tetapi juga politik, sosial-budaya, dan bahkan pendidikan. Kondisi ini patut menjadi renungan. Bencana alam semisal banjir yang setiap tahun hampir melanda seluruh wilayah Indonesia, seharusnya tidak hanya disikapi secara teknologis.

Peran hati dan akal menjadi penting untuk membaca tanda-tanda alam. Apakah bencana hanya disebabkan oleh faktor geologis, atau ada faktor lain semisal teologis. Hal ini berhubungan dengan tindakan manusia yang tidak lagi menggubris perintah Tuhan untuk memuliakan alam. Lihat saja buasnya praktik pembalakan dan pembakaran hutan serta pembuangan sampah di sungai-sungai. Padahal telah tegas Tuhan mengingkatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia.”[12]

Bencana juga terlihat dalam kehidupan politik. Peran pemimpin menjadi kurang efektif karena dilingkari oleh kepentingan elit. Mereka berperang untuk menunjukkan ego masing-masing. Akibatnya, rakyat justru kurang terperhatikan. Bahkan demi kepentingan tertentu, sikap ABS (Asal Bapak Senang) juga menjadi trend di setiap lini lembaga. Maka pada akhirnya menurut Syafii Ma’arif, yang muncul adalah mentalitas jongos. Lebih lanjut kata Ma’arif:
“mentalitas jongos ini tidak jarang diidap juga oleh sementara menteri. Demi menyenangkan bosnya yang kebetulan jadi presiden, menteri ini sering tidak begitu fokus dalam tugasnya karena mentalitas jongosnya mengarahkannya agar pandai-pandai mengambil hati sang bos. Akibatnya, kementerian yang dipimpinnya menjadi telantar karena pemborosan dana yang kemudian menjadi beban bagi penggantinya. Ini berkali-kali terjadi yang menyebabkan negara sering tertatih-tatih menata birokrasinya yang sampai hari ini belum juga sehat dan bersih.”[13]

Mentalitas jongos ini dengan ABS-nya, adalah virus jahat yang menjadi perintang untuk maju. Sebabnya adalah, sering berbicara tidak atas dasar fakta yang benar. Tetapi, seorang bos feodal justru menggandrungi virus semacam ini. Perkara bangsa dan negara tidak terurus dengan baik. Sosok manusia macam ini tidak pernah naik kelas dari posisi politisi menjadi negarawan. Inilah kekurangan Indonesia sejak menjadi bangsa merdeka tahun 1945[14].

Bencana politik juga berakibat konflik. Contoh hangat adalah pilkadal tahun 2017 di Jakarta. Sejak awal, pesta rakyat di wilayah ini sangat dilumuri oleh nuansa politik dan kepentingan elit. Munculnya Basuki Tjahaja Purnama yang biasa disapa Ahok sebagai salah satu calon gubernur, menimbulkan warna tersendiri. Tafsir spontannya terhadap Al Quran Surat Al Maidah ayat 5, menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Persoalan agama, memang sangat riskan. Apalagi, jika sudah menyangkut ayat Tuhan. Pemerintah yang dianggap tidak tegas menangani kasus Ahok, semakin memicu reaksi frontal. Akibatnya, terjadi beragam demo. Tindakan ini sangat menguras energi, materi, dan pikiran.

Persoalan Ahok sebenarnya tidak harus menjadi konflik. Penyelesaian secara damai bisa dilakukan. Syaratnya adalah, jangan ada campur tangan beragam kepentingan. Masing-masing pihak bisa saling membuka hati. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Sebab dimensi ini hanya milik Yang Kuasa.

Begitupun Ahok, perlu berhati-hati dalam bicara. Ia adalah pemimpin masyarakat. Sudah sewajarnya berkata santun dan bijak. Kata-kata bisa menjadi kekuatan, tetapi sebaliknya sangat berpotensi melemahkan. Seperti kata Anies Baswedan,“Kata-kata bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan hubungan.” Sebab itulah dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan, “Ajining diri gumantung ana ing lati.” Harga diri seseorang terletak pada lidahnya.

Bukan itu saja. Sudah sewajarnya, seorang pemimpin memang harus waspada dengan rutin melakukan intropeksi diri. Sikap ini menjadi modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur. Seorang pemimpin harus mengutamakan mulat laku kautamaning bebrayan—hidup berdampingan dengan beragam perbedaan.

Selain politik, bencana juga melanda dunia pendidikan Indonesia. Munculnya kekerasan secara fisik, psikis, maupun seksual, semakin menimbulkan keprihatinan. Sangat ironis, karena kejadian ini bukan hanya muncul di tingkat pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi. Kejadian ini bukan hanya menyebabkan trauma, tetapi juga kematian.

Dalam dua tahun terakhir ini, tindak kekerasan semakin terlihat. Korbannya bukan hanya pelajar, tetapi juga pendidik. Pada 19 Juni 2016 misalnya, siswa SDN di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, tewas setelah dipukuli oleh teman sekelasnya. Ketika itu, guru sedang keluar untuk mengisi tinta spidol[15]. Sementara itu pada 9 November 2016, seorang pelajar SMP di Muba, tega menikam gurunya sebanyak 13 kali[16]. Kejadian naas juga melanda guru di sekolah SMK Negeri 2 Makassar. Pada 11 Agustus 2016, ia dipukuli oleh muridnya sendiri[17]. Lebih menyedihkan, pemukulan itu juga dilakukan oleh ayah si murid.

Pada tingkat pendidikan tinggi, tindak kekerasan juga kerap terjadi. Pada 3 Juni 2016 misalnya, muncul kasus pembunuhan yang menimpa mahasiswa bernama Rezky Evienia Samsul. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar Angkatan 2014. Mahasiswa ini tewas usai mengikuti pengkaderan di kampusnya[18]. Kasus yang sama juga terjadi di Universitas Islam Indonesia pada Januari 2017. Tiga mahasiswa meninggal saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Kejadian ini diduga terjadi karena pemukulan yang dilakukan oleh senior[19].

Kesenjangan sosial-ekonomi juga menjadi gambaran bencana di Indonesia. Salah satu pemicunya adalah sikap mental manusia yang cenderung malas. Mereka enggan bekerja keras, bersaing, atau bahkan berkompetisi dan berprestasi. Manusia Indonesia seharusnya belajar pada nilai-nilai positif budaya lain. Sebagai contoh, jangan semata menyalahkan perantau bermata sipit. Mengapa tidak berguru kepada mereka dengan mengambil sisi-sisi harumnya semisal: disiplin, kerja keras, solidaritas, dan pantang menyerah?[20] Jika prinsip ini dipegang, niscaya manusia Indonesia akan menatap hidup lebih cemerlang.

Beragam bencana yang melanda Indonesia—tidak bisa lepas dari sikap manusia yang tidak lagi mau: ingat (eling) dan waspada. Manusia lupa bahwa alam dicipta bukan sekedar untuk dinikmati dan dikuasai. Ia adalah ‘alat’ dan ‘sahabat’ manusia dalam menjalani hidup (paraning dumadi). Ketiadaannya adalah sebuah keniscayaan. Demikian dalam pergaulan. Manusia kerap bertindak tanpa pikir panjang. Tanpa intropeksi dan mawas diri. Akibatnya, permasalahan hidup datang berganti. Terus, hingga manusia benar-benar mau kembali pada sikap: waspada. Pada hal-hal yang terlihat atau bahkan kasat mata.

Sederhana tapi Bermartabat

Keserdahanaan hidup, lebih mendekatkan manusia pada rasa syukur. Efeknya adalah berkah—sedikit merasa cukup dan banyak terasa lebih bermanfaat. Sikap hidup ini, akan menjembatani manusia untuk selalu berdekatan dengan Tuhan. Sebab kadangkala, bergelimang harta menyebabkan gersang hati. Bermegah-megahan menjadi pemicu kegelisahan. Kondisi ini terjadi ketika manusia mengingkari hasrat hati yang pada dasarnya adalah muara ketenangan. Dalam ketenangan itulah, cahaya Tuhan menerobos relung hati manusia. Dalam tahap ini, manusia akan sangat mudah menerima kebenaran.

Menilik dari kondisi bangsa Indonesia. Sepertinya, sikap hidup sederhana mulai luntur dari diri para pemimpin. Mereka pada umumnya lebih memilih penghormatan dan kemewahan. Bahkan demi mendapatkan keduanya, mereka berani menjual janji dan membeli belas kasih rakyat. Namun dalam perjalanan kepemimpinan, urusan duniawi lebih mendominasi. Sisi ukhrawi hanya muncul sebagai penghias. Segalanya menjadi pernak-pernik strategi politik. Untuk melanggengkan diri, para penguasa negeri bahkan terlena dan jatuh ke lembah korupsi. Penyakit ini menandai sikap mental pemimpin yang takut hidup sederhana. Sebab kemewahan selalu menjadi ukuran segalanya.

Para pemimpin bangsa seharusnya belajar dari para pendahulu. Kepada Haji Agus Salim misalnya. Dalam sikap dan tindakan hidup yang sederhana, ia tetap bermartabat. Seperti kata sahabatnya, Mohammad Roem, Haji Agus Salim tanpa rasa malu menjual minyak tanah dengan cara mengecer. Padahal saat itu, dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Yogyakarta, ia terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya di sana. Hasil penjualan minyak tanah itu, dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan Jakarta–Yogyakarta[21].

Kesederhanaan hidup tidak membawa Agus Salim pada cela. Bahkan ia dikenang sepanjang zaman sebagai the grand old man. Tokoh seperti: Sukarno, Hatta, dan Syahrir sangat hormat padanya. Bukan saja karena Agus Salim adalah penguasa sembilan bahasa secara otodidak. Namun lebih dari itu. Prinsip hidupnya yang sederhana. Ia tak mau sedikitpun memakan sesuatu yang bukan haknya. Apalagi menyangkut milik rakyat. Agus Salim pantang memanfaatkan jabatan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sebab jabatan adalah amanah Tuhan. Bukan ladang mencari kemewahan. Seperti disinggung Schermerhom dalam Het dagboek van Schermerhoon, “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”

Kesederhaan hidup sebagai pemimpin juga dapat direguk dari tokoh: Hoegeng, Mohammad Natsir, Bung Hatta, dan Sri Sultan HB IX. Hoegeng Iman Santosa pernah menjabat sebagai Kapolri, Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Namun demikian, ia tetap dikenal sebagai sosok sederhana. Hoegeng pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Presidium Kabinet. Padahal kala itu, Hoegeng mendapat dua mobil dinas untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya[22].

Demikian halnya Natsir. Ia menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Saat itu, Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto tua yang susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun. Keluarga Natsir juga pernah mengalami kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun, ia harus menumpang hidup di paviliun Prawoto Mangkusaswito. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Natsir juga menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru akhir tahun 1946, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Bukan hanya urusan mobil dan rumah. Natsir juga dikenal hanya punya dua kemeja dan jas bertambal. Para pegawai kementerian penerangan pernah iuran membelikan kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri[23].

Kesederhanaan juga dapat dipetik dari Bung Hatta. Di tahun 1950 kala menjabat perdana menteri RIS, Hatta pernah menolak menjemput sang ibu dengan mobil dinas. Apa kata dia? "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara."[24] Bukan hanya Hatta. Sri Sultan HB IX juga dikenal sederhana. Hal ini terlihat saat ia menonton sepakbola. Seorang wartawan melihat Sultan HB IX memakai kaos kaki berlubang dan longgar. Ia bahkan melekatkan gelang karet untuk mengikat kaos kakinya[25].

Mereka—Agus Salim, Hoegeng, Natsir, Hatta, dan Sri Sultan HB IX adalah contoh teladan pemimpin bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tetap eling, waspada, dan tetap gemar hidup prihatin dengan kepemimpinan yang dipegang. Eling bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadaan Tuhan. Waspada pada gemerlap kekuasaan yang bakal membutakan mata hati dan pikiran. Sebab itulah, mereka memilih laku prihatin demi menjaga martabat diri dan keluarga. Sadar ataupun tidak, mereka adalah punggawa bangsa yang berpegang teguh pada ungkapan sangkan paraning dumadi.
Andaikata para pemimpin bangsa saat ini teguh memegang ungkapan sangkan paraning dumadi—Indonesia akan menjadi bangsa yang terhormat. Miskin korupsi. Punya martabat yang tinggi. Namun dapatkah harapan ini digenggam? Sementara dalam keseharian, kenyataan menyajikan keterpurukan mental pejabat negara.

Dalam satu periode kepemimpinan, selalu menyisakan luka bagi rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme—masih bersarang di jantung bangsa ini. Rasa persatuan makin pudar. Kerjasama lembaga makin terasa hambar. Antar penguasa juga saling menjatuhkan. Pada tingkat pusat, wakil rakyat juga tak berfungsi secara kuat. Bahkan secara organisasi, partai hanya menjalankan kekuasaan semu. Mereka berkuasa bukan berlandaskan ideologi, tetapi kepentingan semata.

Sampai kapan Indonesia akan sembuh dari beragam penyakit mental? Atau sama sekali? Indonesia kelak hanya tinggal nama. Seperti kata Bung Hatta, “Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta[26].”

Penutup

Sangkan paraning dumadi bukan sekedar ungkapan masa lalu yang dikenal masyarakat Jawa. Lebih dari itu, merupakan konsep yang mengandung: nilai kehidupan, “sisi dalam”, iradat, dan kemauan. Sangkan paraning dumadi yang mengajarkan manusia untuk selalu: eling, waspada, dan prihatin—merupakan ‘resep jitu’ dari Jawa untuk ‘menyembuhkan’ Indonesia dari sakit akhlak dan moral. Jika keduanya disembuhkan, bukan mustahil jika Indonesia akan tumbuh menjadi bangsa yang berkarakter.

Sangkan paraning dumadi merupakan bagian dari keunggulan budaya masyarakat Jawa. Buah dari perpaduan antara akal dan hati, dengan melandaskan Tuhan sebagai penyangga kekuatan. Sebab bagi masyarakat Jawa, Sangkan paraning dumadi itu sendiri adalah Tuhan. Dia yang mencipta dan menjadi tempat kembali. Jika Tuhan menjadi pegangan kehidupan—niscaya manusia mampu hidup berdampingan, memberi, berbagi, dan saling mengayomi. (***)


Daftar Pustaka

Al-Maghribi, A.M. (2011). Mengaji Al-Hikam; Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan. Terj. Fauzi Bahreisy. Jakarta: Zaman.

Dojosantosa. (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu.

Isa, A.Q. (2005). Hakekat Tasawuf. Terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis. Jakarta: Qisthi Press.

Maarif, A.S. “Antara Jongos dan Tuan”. Republika. 31 Januari 2017.

Noer, D. (1990). Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.

----------. (2012). Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.

Purwanto, B. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?! Yogyakarta: Ombak.

Retnoningtyas, A. http://www.kompasiana.com/artyas/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan_57667452f49273ad06fbfa41.

Roem, M dkk. (1982). Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia.

Rosidi, A. (1990). M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pusaka.

Shihab, M.Q. (2007). Secercah Cahaya Illahi: Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan.

Suhartono. (2013). Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia.

Sastroatmodjo, S. (2006). Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Kepustakaan Populer Gramedia.

Tim Liputan Khusus Agus Salim. (2013). Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Bekerjasama dengan Tempo. hlm. 56.

https://daerah.sindonews.com/read/1114777/192/mahasiswi-umi-tewas-usai-pengkaderan-calon-dokter.

https://daerah.sindonews.com/read/1130399/192/ayah-dan-anak-pemukul-guru-hingga-berdarah-ditetapkan-tersangka-1470888073.

https://daerah.sindonews.com/read/1154239/190/tikam-guru-13-kali-pelajar-smp-ini-belum-dites-kejiwaan-1478749483.

https://daerah.sindonews.com/read/1158555/22/mahasiswa-uii-tewas-saat-diksar-mapala1480191598.



[1]Suryanto Sastroatmodjo. (2006). Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. hlm. 69.

[2]Lebih lanjut mengenai: nilai kehidupan, “sisi dalam”, tekad, dan kemauan keras, simak penjelasan Quraish Shihab. (2007). Secercah Cahaya Illahi; Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan. hlm. 48-492.

[3]Abdul Qadir Isa. (2005). Hakekat Tasawuf. Terj. Jakarta: Qisthi Press. hlm. 5.

[4]Abu Madyan al-Maghribi. (2011). Mengaji Al-Hikam; Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan. Terj. Fauzi Bahreisy. Jakarta: Zaman. hlm. 241.

[5]Dojosantosa. (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu. hlm. 25.

[6]Bambang Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?!. Yogyakarta: Ombak. hlm. 97-98.

[7]HR. Bukhari dan Muslim.

[8]Keterangan lebih lanjut, dapat dibaca pada Al Quran Surat Al-Isra: 25 dan Surat Al Baqarah: 255.

[9]Shihab, op.cit. hlm. 481.

[10]Ibid. hlm. 486.

[11] Sastroatmodjo.op.cit. hlm.79.

[12]Keterangan lebih lanjut dapat dibaca pada Al Quran Surat Ar-Rum: 42.

[13]Lihat Ahmad Syafii Maarif. “Antara Jongos dan Tuan”. Republika. 31 January 2017.

[14] Ibid.

[15]Atika Retnoningtyas. http://www.kompasiana.com/artyas/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan_57667452f49273ad06fbfa41. Diakses pada 28 Februari 2017.

[16]https://daerah.sindonews.com/read/1154239/190/tikam-guru-13-kali-pelajar-smp-ini-belum-dites-kejiwaan-1478749483. Diakses pada 28 Februari 2017.

[17]https://daerah.sindonews.com/read/1130399/192/ayah-dan-anak-pemukul-guru-hingga-berdarah-ditetapkan-tersangka-1470888073. Diakses pada 28 Februari 2017.

[18]https://daerah.sindonews.com/read/1114777/192/mahasiswi-umi-tewas-usai-pengkaderan-calon-dokter. Diakses pada 27 Februari 2017.

[19]https://daerah.sindonews.com/read/1158555/22/mahasiswa-uii-tewas-saat-diksar-mapala1480191598. Diakses pada 28 Februari 2017.

[20]Ma’arif, op.cit.

[21]Tim Liputan Khusus Agus Salim. (2013). Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Bekerjasama dengan Tempo. hlm. 56.

[22]Suhartono. (2013). Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan. Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia. hlm. 65.

[23]Ajip Rosidi. (1990). M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pusaka. hlm. 45.

[24]Deliar Noer. (2012). Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas. hlm. 56.

[25]Mohamad Roem, dkk. (1982). Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia. hlm. 75.

[26]Deliar Noer. (1990). Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.hlm. 55.
Share:

Selasa, 26 September 2017

INONG BALEE


Cerpen Lomba Seni dan Sastra UGM ke-4 Tahun 2017

©Reni Nuryanti


Kau pikir, tiga kali menikah adalah sebuah kemenangan? Seperti kata mereka, baik di dunia maya maupun nyata. Sungguh, aku tak mau berkhianat pada dua lelakiku yang mati tanpa kepala. Aku sudah puas bercinta dengan nisan mereka. Tahukah kau, sesungguhnya aku tetap terluka, meski mereka sebut aku: Inong Balee.

“Kau jangan hiraukan mereka. Caci-maki bahkan fitnah, hanya menjadi iblis yang mengorak-arik pikiranmu. Kau harus menyingkirkannya, Keumalahayati!”

“Aku bukan Keumalahayati. Bukan! Jangan sebut nama itu lagi. Perempuan itu terlalu istimewa. Kau tahu, Zahra?” tanya Mariana sambil menyatukan bibirnya pada ujung telinga Zahra. Setengah berbisik dia bilang, “Keumalahayati hanya menikah sekali seumur hidupnya. Hingga tua tetap menjanda. Dialah sejatinya Inong Balee. Seluruh cintanya terkubur bersama jasad lelakinya. Sedangkan aku? Kau tahu, kini aku akan menikah yang ke berapa kali? Tiga!” tegas Mariana sambil mengacungkan tiga jarinya.

Sejenak Zahra menatap tiga jari Mariana. Jari yang pernah berlumur darah. Jari yang pernah meremas-remas dua leher tanpa kepala. Jari yang kerap mengorak-arik isi bumi, mencari di mana kepala dua lelakinya.

“Turunkan, jarimu!” suruh Zahra.

“Kenapa? Kau jijik?” tanya Mariana.

“Aku justru mengagumi jarimu.”

“Karena pernah bersekutu untuk memainkan rencong? Juga bersaksi untuk menggorok makhluk yang menghilangkan kepala dua lelakiku?”

“Kau memainkannya dengan sangat apik. Sebab itulah, kusebut kau Keumalahayati. Meski kau tak hidup di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil, tapi Tengku Abdullah Syafei. Kau bukan keturunan Laksamana Mahmud Syah tapi seorang lelaki sederhana bernama Abdul Hamid. Kau tidak pernah tersentuh pendidikan Asykar Baital Makdis, tapi dayah[1] tua di Gampong[2] Lamreh. Kau tidak bertempur di Teluk Haru. Kau tidak melawan Portugis. Tapi kau berhadapan dengan bangsamu sendiri. Ini lebih sulit dibanding saat Keumalahayati menghujamkan belatinya ke dada Cornelis de Houtman. Tapi kau patut bangga. Dua lelakimu mati sebagai syahid. Jadi kau, janda yang patut mengenakan songkok Keumalahayati. Dan...”

“Apa?”

“Kau pemain rencong tanpa tanding. Aku masih teringat saat kau begitu beringas menelusuk belantara. Dan kau bergerak lincah di antara bebatuan. Lalu kau merayap cepat menaiki Bukit Ujung Batee Puteh. Dan di atas ketinggian, kau berteriak lantang, “Tanah rencong terlahir hanya untuk para pemberani. Bukan pecundang!” Saat itu, aku melihatmu sebagai Keumalahayati.”

“Cukup! Jangan sebut nama itu lagi!” tegas Mariana sambil menatap Zahra.

“Kau jangan picik, Mariana! Hanya karena kalkulasi pernikahan, kau ingin melumat nama perempuan agung itu?”

“Aku bukan picik, tapi sadar diri. Dia beda dengan aku.”

“Kau lupa dengan geliat sejarah? Bukankah setiap zaman, akan memunculkan tokohnya masing-masing. Lakonnya sendiri-sendiri. Dau kau, tokoh saat Aceh bergolak untuk menggapai damai.”

“Kau seolah menganggap hidup ini sebagai film?”

“Ha...ha...ha...” gelak Zahra.

“Kenapa kau tertawa?”

“Sebab kali ini, kau tidak salah bicara.”

“Jadi, kau anggap hidup ini hanya film?”

“Ya. Film di dunia nyata. Film yang luar biasa. Manusia tidak mampu menjadi sutradara. Tuhan penguasa cerita. Dan kau, aku, adalah tokoh yang kebetulan mendapat peran ironis. Dua lelakimu mati tanpa kepala. Kau pernah merasa ini hanya drama. Tapi hingga kini, kau hanya bisa bercinta dengan nisan mereka. Berkali-kali kau tabur soka, mawar, melati, dan kenanga. Kau bahkan melumuri dengan sari kasturi. Tapi setiap kali bercumbu, kau selalu bilang amis. Dan itu merajam kesadaranmu.”

“Cukup, Zahra! Jangan teruskan!” desak Mariana.

“Kau masih beruntung. Kau bisa menikah lagi. Sedangkan aku?”

“Cukup! Kau tidak dengar apa yang kubilang?” bentak Mariana sambil mengguncang bahu Zahra.

***

Zahra mengalah. Meski matanya tiba-tiba basah. Berkali-kali, ia menggosokkan tangannya di kedua mata hingga ujung dahi. Sementara Mariana, sejenak memaku memandangi latar rumahnya. Matanya menelisik serumpun rumbia yang tumbuh disudut jalan.

Mariana kemudian ke dapur untuk mengambil sepiring timphan[3]. Tak lama kemudian, ia kembali duduk di samping Zahra. Mariana menggamit satu timphan dan membuka kulitnya pelan-pelan. Kulit yang terbuat dari daun pisang muda itu, tampak menghijau berkilat minyak. Sangat tipis, sehingga harus hati-hati saat membuka.

“Jangan pikirkan pernikahanku. Ini hanya film,” kata Mariana sambil mengunyah timphan, “Yang nyata adalah ini,” lanjutnya seraya menyodorkan makanan itu kepada Zahra.

Zahra memaku. Ia sama sekali tak ingin melihat timphan.

“Makanlah, Zahra. Timphan yang membuat kita betah berlama-lama di Benteng Inong Balee. Bukankah kau paling suka membuatnya? Aku masih ingat saat kau begitu bersemangat meremas santan dan mengaduk ketan bercampur pisang raja. Lalu, kau mencicip srikaya serta parutan kelapa, dan memasukannya dalam adonan. Sejam kemudian, kau hidangkan timphan hangat untukku dan perempuan-perempuan malang itu. Sejak itulah, kau dikenal sebagai ratu timphan?” lanjut Mariana sambil bercanda.

“Aku tidak butuh timphan. Aku hanya ingin pengakuan. Mariana, adakah pernikahan yang menisbikan hubungan badan? Adakah lelaki yang tak peduli dengan seks? Adakah lelaki yang tahan untuk tidak memuntahkan air suci di gua garba? Adakah lelaki yang mau hidup dengan aku yang tak mungkin memberikan sejatinya pelayanan seks? Adakah lelaki yang menerima kekuranganku? Bukankah kelak, kesabaran mereka bakal dihadiahi bidadari yang senantiasa perawan? Mereka molek jelita dan setiap saat bisa membawa ke nirwana? Apakah alasanku layak dipertimbangkan Tuhan, Mariana?” tanya Zahra beruntun, yang seketika membuat Mariana tiba-tiba memuntahkan timphan dari mulutnya.

Mariana sejenak memejamkan mata. Ia seolah bertamasya ke masa lalu yang justru membuat darahnya tiba-tiba bergolak. Mariana menggigit bibir. Ia menarik napas panjang sambil memegangi dadanya yang terasa dihantam senjata laras panjang.

“Dadaku sakit, Zahra,” kata Mariana sambil menyandarkan kepala.

“Kau butuh obat?” tanya Zahra dengan nada datar.

Zahra paham dengan perasaan Mariana. Perempuan bermata biru mungkin sedang membayangkan dua lelakinya yang mati tanpa kepala. Atau bisa jadi, tiba-tiba teringat diasporan[4] yang akan segera menikahinya.

“Aku butuh nisan,” jawab Mariana sambil tersenyum datar.

“Kau yakin tak butuh diasporan itu?”

Mariana tersenyum tipis. Ia kembali memegangi dadanya.

“Kau masih ragu padanya?” desak Zahra, “Bukankah banyak orang bilang kalau dia pejuang? Bukankah dia juga dikenal sebagai penggagas perdamaian Aceh? Bahkan dia juga turut serta dalam perundingan Helsinki. Apalagi yang kau ragu? Bukankah ketampanannya juga sepadan dengan dua lelakimu? Atau...”

“Apa?” tanya Mariana tiba-tiba.

“Kau selamanya akan menjadi pengantin batu? Atau kau telah tabu bersentuhan dengan sekerat daging yang nikmatnya melebihi kopi Arabica?”

Mariana terdiam. Tiba-tiba ia berdiri dan berteriak sambil mengacak-acak rambutnya. Ia kemudian berlari menghampiri sebuah lemari dan membuka paksa isinya. Mariana kemudian mengeluarkan senjata laras panjang. Ia memegang erat. Memandangi pangkal hingga ujung. Seolah tak puas, Mariana kemudian melemparkannya. Ia kemudian membuka sebuah kotak kayu di bawah lemari. Kali ini di tangannya tergenggam belati. Mariana kemudian mengelus-elus dan mengacungkannya. Saat itulah, tiba-tiba Zahra berteriak histeris.

“Buang Mariana! Buang! Aku benci belati. Pecundang-pecundang itu telah melenyapkan mahkotaku dengan senjata busuk itu. Kau tahu, belati itu yang membuat aku tak akan bisa menikah. Kau paham kan, aku perawan tanpa mahkota?”

Mariana terdiam. Matanya masih terlihat merah. Ia seperti menyimpan dendam yang tak kunjung padam.

***

“Zahra, kau sungguh-sungguh tak ingin datang ke Benteng Inong Balee?”

“Tidak. Tak akan pernah.”

“Meski kau bakal berkalung gelar?”

“Persetan dengan gelar. Aku berjuang bukan untuk penghormatan.”

“Tapi kata orang, kau sudah berkorban segalanya.”

“Bahkan hingga mahkotaku juga ikut melayang. Iya, bukan?”

“Aku tidak ingin membahas itu. Kau kehilangan mahkota. Aku kehilangan dua lelakiku. Apa bedanya? Kau pikir, kehadiran diasporan itu mampu membuatku melupakan percintaan dengan nisan? Tidak akan pernah, Zahra.”

“Tapi sebentar lagi, dia akan menikahimu.”

“Dan sebentar lagi, aku akan menemukan dua kepala lelakiku. Bagaimana menurutmu?”

Zahra tak menjawab. Ia hanya memandang Mariana yang pagi itu berdandan lebih cantik dari biasanya. Mariana tampak menyisir rambut panjangnya. Ia kemudian menggelung dan meletakkan songkok di atasnya. Mariana kemudian mengenakan kerudung berwarna keemasan. Wajahnya terlihat berbinar, terlebih dengan bedak di pipi dan gincu merah saga. Tubuh langsingnya tampak semampai terbalut baju lengan panjang berwarna hitam dan celana panjang senada. Demikian, dengan sabuk berwarna keemasan yang melekat indah di pinggangnya. Kakinya juga terlihat lebih jenjang dengan sepatu hitam berukuran sedang.

“Kau seperti hendak perang?” tanya Zahra, “Bukankah Serambi Mekah telah lengang dari suara senapan. Bukahkah tanah rencong telah wangi dari anyir darah. Kini segalanya telah reda. Tak akan ada lagi perempuan memegang rencong, pistol, atau bahkan belati. Mereka akan menerima pinangan, berpesta dalam pernikahan, dan bergembira menimang bayi. Dan kau berhak untuk itu, Mariana,” lanjutnya sambil terus menatap wajah Mariana.

“Hanya ada pesta bersama dua lelakiku,” jawab Mariana seraya memasuki kamar. Sekejap ia ke luar sambil menenteng rencong. “Aku pergi dulu, Zahra. Demi Keumalahayati, kau harus datang ke Benteng Inong Balee pagi ini,” lanjut Mariana seraya meninggalkan Zahra.

***

Seperti digiring rasa penaran yang tiba-tiba menusuk pikiran, Zahra segera menyusul Mariana. Kakinya terus melangkah ke Benteng Inong Balee. Meski hatinya ragu. Akankah ia sanggup menatap benteng di Ujung Timur Teluk Krueng Raya itu. Di sana, saat bumi Aceh diguncang operasi militer, ia bersama para janda dan perempuan muda, kerap bersekutu dengan senjata. Mereka laksana hidup di zaman Keumalahayati. Bertahan di dalam benteng, demi berperan menjaga keamanan.

Zahra kerap mereguk damai bersama Mariana. Mereka duduk di puncak bukit. Alam terasa ramah, berdentang dengan ciutan burung perkutut dan burung hutan. Mata mereka tak bosan memandang tebing putih serta pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Begitupun pesona pantai Kreung Raya, sejenak membuat Mariana lupa pada dua lelakinya.

Keindahan itu seolah sirna dari kepala Zahra. Ia justru merasa tulang tubuhnya lumpuh seketika.

Tangan Zahra mengepal. Bibirnya gemetar. Matanya mendadak nanar. Ia kemudian menggamit rencong dan menggenggam erat. Zahra menatap senjata itu dari pangkal hingga ujung. Dipandangnya lekat lafaz La illaha illa Allah yang melekat di dua sisi rencong. Tiba-tiba, Zahra terisak sambil memegang selangkangan.

“Tuhan, aku perempuan tanpa mahkota.”

Zahra seperti diseret ke masa lalu. Kala di senja hari, lima orang lelaki berbadan kekar dan bertutup kepala hitam, menyeretnya ke bibir pantai. Tanpa ampun, tubuh Zahra di lempar ke bawah pohon. Zahra paham. Mereka pasti ingin memperkosanya. Tiba-tiba sebuah pilihan melintas di kepala.

“Bunuh saja aku!” teriak Zahra.

Lima lelaki itu tetap menyerbu tubuh Zahra. Tak ada suara, selain hati yang menyeru dengan seribu doa. Zahra tenggelam dalam mimpi tanpa ujung. Senja menjadi saksi. Saat sebuah belati dengan cepat mengiris dan membuang mahkota. Perhiasan itu, hanyut bersama air laut.

Zahra tersentak dari lamunannya. Tiba-tiba ia teringat satu nama: Mariana.

***

Zahra bergegas mendekati kerumunan perempuan di tengah Benteng Inong Balee. Canda dan tawa meriuhkan suasana. Mereka seperti berada di perjamuan rindu. Saling peluk, cium, bahkan tak sedikit yang saling usap air mata.

Tak jauh dari kerumunan perempuan, sekelompok lelaki berpakaian rapi tampak bercakap-cakap. Salah satu di antara mereka terlihat tersenyum bahagia. Zahra tak asing dengan lelaki berperawakan tinggi dan berkulit putih itu.

“Diasporan,” kata Zahra, “Tapi di mana Mariana?” lanjutnya.

Zahra berbalik arah. Ia kemudian pergi ke makam Keumalahayati. Biasanya, Mariana duduk bersimpuh sambil memeluk nisan.

Kali ini sepi. Zahra menatap sekitar. Matanya tiba-tiba terbelalak melihat seorang perempuan berdiri di puncak bukit.

“Tak salah lagi. Itu Mariana,” kata Zahra sambil berlari ke arah bukit.

Zahra berteriak. Mariana tak bergeming. Ia tetap berdiri menatap laut yang tenang. Di tangannya masih tergenggam rencong. Mariana kemudian hanya menoleh sambil berkata pelan.

“Zahra, aku sudah menemukan dua kepala lelakiku. Aku pastikan, akan ada pesta besar pagi ini. Pesta di dunia maya dan nyata.”

Tak sempat Zahra menimpali, Mariana dengan cepat menjatuhkan dirinya ke dasar laut.

“Mariana, apakah ini bukti bahwa diam itu lebih terhormat daripada bergelimang kata, tapi justru menjadi petaka,” bisik hati Zahra sambil menatap laut yang tiba-tiba bergelombang.


Aceh, 16 September 2017


[1] Pesantren

[2] Kampung

[3] Salah satu makanan tradisional Aceh.

[4] Orang Aceh yang tinggal di luar negeri dan masih mempertahankan adat serta kebudayaan Aceh.
Share:

Sabtu, 22 Juli 2017

Islam sebagai Pondasi Pergerakan Nasional Indonesia

Pengantar; Spiritualitas Islam dalam Pergerakan Nasional

Menurut geopolitik, maka Indonesia tanah-air kita. Indonesia yang bulat. Bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera. Itulah tanah-air kita! Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan suatu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ‘golongan kebangsaan’. Ke sinilah kita harus menuju semuanya (Bung Karno, 1945).

Indonesia secara historis tercipta dari proses yang panjang. Ada pondasi agama sebagai kekuatan. Sebab tanpa bertumpu pada Tuhan, segala usaha tidak akan bermakna. Dalam dinamika yang dilalui, ada perjuangan menyatukan golongan untuk mewujud kata ‘merdeka’. Karena hanya dengan kemerdekaan, Indonesia diakui dunia sebagai bangsa yang bermartabat. Indonesia juga dipandang mampu menegakkan ‘rumah’ bernama negara yang berdaulat.

Demi kedaulatan, rakyat Indonesia berani berdarah-darah. Jatuh bangun dialami. Susah payah dirasakan. Namun perjuangan tetap diteruskan. Sebab kata Bung Hatta, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.”

Pencapaian kedaulatan Indonesia memajang kisah tersendiri. Persoalannya bukan semata mengusir penjajah, tetapi juga menyatukan golongan yang beragam. Masing-masing membawa ideologi sebagai dasar perjuangan. Ada empat ideologi yang dibawa dalam pergerakan nasional, yakni: nasionalis, sosial- demokrat, Islam, dan komunis (Legge, 1993).

Keempat ideologi punya visi yang sama: mengakhiri dualisme kekuasaan. Hal ini senada dengan pernyataan Agus Salim, “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.” Sebab meskipun Belanda sejak tahun 1922 sudah mencanangkan kemandirian bagi pemerintah pribumi, tapi kenyataannya masih mendominasi. Belanda tetap menjadikan Indonesia sebagai basis kekuatan ekonomi-finansial. Politik rasis bahkan dibuat untuk meminggirkan pribumi. Belanda menjadikan Cina sebagai kelas kedua, sementara pribumi kelas ketiga. Bahkan terang-terangan, Belanda enggan duduk satu meja untuk mencari jalan tengah dalam menentukan nasib pribumi.

Dengan susah payah, perjuangan dimulai untuk Indonesia. Kaum intelektual misalnya, berdiri di garda depan. Mereka semakin garang semenjak tahun 1920-an. Corong perjuangan antara lain dilakukan melalui partai seperti: Indische Partij (IP), Sarekat Islam (SI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

Kala Belanda terusir di tahun 1942, Indonesia makin berhelat dengan kemerdekaan. Selama tiga tahun, berhasil memerangi Jepang. Hingga akhirnya, kemerdekaan terpancang di tahun 1945. Namun lagi-lagi, Indonesia harus berhadapan dengan Belanda. Secara politik, Indonesia dianggap hanya sebagai warisannya. Namun dengan tegas Mohammad Yamin mengatakan, “Negara ini diangkat bukan dari ahli waris kerajaan Belanda. Sebab cita-cita bangsa ini bukan diikat oleh kolonialisme Belanda (Swantoro, 2002).”

Penegasan Yamin sekaligus menjadi dasar bahwa Indonesia memang dibangun dari darah pejuang. Bukan pecundang. Indonesia adalah akhir dari proses kesabaran yang dinamakan perjuangan. Bentuk nyata dari keinginan menyatu padu kekuatan. Hal ini merupakan inti dasar dari spiritualitas yang dalam Islam dikatakan, “Seorang muslim bagi muslim yang lain bagai suatu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain (HR. Bukhari Muslim).”

Islam dalam pergerakan nasional memang paling kuat pengaruhnya. Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan bahwa Islam adalah faktor utama penyatuan bangsa-bangsa di Kepulauan Hindia (Hun, 2011). Islam bahkan menjadi satu faktor persatuan dalam kesadaran terhadap diri sendiri di kalangan orang Indonesia (Niel,1984). Dalam waktu yang sama, menjadi ukuran solidaritas nasional, tanpa mempertimbangkan warna kulit. Islam dengan demikian, adalah faktor dominan dalam dinamika sejarah nasional Indonesia. Nilai-nilai perjuangan, kemerdekaan hidup, keadilan sosial, dan persatuan, berjalin menjadi kekuatan.

Pembahasan

Perjuangan adalah Keharusan

Perjuangan pada dasarnya merupakan kekuatan jiwa untuk menapaki sikap: sabar, tawakal, taqwa, dan optimis (Shihab, 2002). Sabar menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, tetapi harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggungjawab. Tawakal bermakna mewakilkan urusan kepada Tuhan; taqwa menyangkut kehati-hatian dalam bertindak; sementara optimis mengandung makna jauh dari sikap putus asa.

Berkait dengan sejarah, mencipta Indonesia merupakan tumpah ruahnya sebuah perjuangan. Jiwa dan raga disembahkan. Darah dan air mata dicurahkan. Sebab perjuangan selalu meminta pengorbanan. Segalanya menjadi wujud ketetapan. Sebab Al Quran dalam Surat Rad ayat 11 juga berpesan, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Pesan Al Quran mewujud dalam tindak nyata kaum intelektual dalam menggaungkan kemerdekaan Indonesia. Segenap golongan berpadu dalam gerak kerja mewujudkan bangsa. Bermula dari Tri Koro Dharmo di tahun 1907, kemudian mewabah dalam organisasi kebangsaan lainnya.

Sejak organsasi politik bermunculan, gema perjuangan kemerdekaan makin terang-terangan. Tahun 1925, Hatta dan Syahrir yang saat itu di Belanda, bersuara lewat PI. Namun dua tahun kemudian pada 1927, mereka dipenjarakan. Sementara di Bandung, Sukarno baru bergerak dengan kendaraan PNI. Partai ini sangat lantang menggemakan kemerdekaan. Akibatnya, Sukarno pun dipenjarakan pada akhir Desember 1929.

Tahun 1930, Sukarno membuat kejutan dengan menggemakan pledoi berjudul Indonesia Menggugat. Ia sepertinya mengikuti langkah Hatta yang di tahun 1928, juga mengajukan pembelaan di depan pengadilan Belanda (Legge, 1993). Sukarno secara tegas mengatakan bahwa penjajahan adalah bentuk penindasan manusia atas manusia. Kenyataan ini harus dipupus. Sebab penjajahan yang berbau kapitalisme, mempunyai arah kepada pemelaratan (Verelendung).

Atas nama kemerdekaan, perjuangan makin digaungkan. Perlawanan rakyat pun berkobar. Genderang perang makin melebar. Segalanya ditumpahkan untuk satu kekuatan merebut kemerdekaan. Keterbatasan tak menjadi halangan. Bahkan rasa sakit tak meluluhkan tekad. Sebut saja Sudirman yang berjuang dengan separuh paru-paru. Namun semangatnya tetap menderu. Dengan lantang ia mengatakan, “Perjuangan suci akan menemukan muaranya. Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati sedang kamu sesungguhnya lebih baik jika kamu mukmin.”

Mencipta Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan

Kemerdekaan hidup merupakan kebutuhan. Sebuah naluri jiwa yang tak mungkin dimatikan. Sebab dalam jiwa yang merdeka, tumbuh tunas-tunas kehidupan. Dari tunas berkembang harapan. Dari harapan, mewujud kerja akal, pikir, dan hati yang akan memunculkan sisi keutuhan manusia. Hanya manusia utuh yang mampu menggerakkan perubahan.

Perubahan merambah dalam kiprah memanusiakan manusia. Memberi ruang jiwa untuk berdialog dengan lingkungan dan Tuhan. Dari sinilah, muncul sikap dan sifat saling menumbuhkan dan membesarkan. Tidak saling mendominasi atau bahkan menyakiti. Pada puncaknya, akan muncul keadilan sebagai payung kehidupan. Inilah yang diinginkan Islam. Sebab tanpa damai (salam) dalam jiwa manusia dan interaksinya, maka segalanya akan kacau, rusak, bahkan kehidupan akan berhenti (Shihab, 2002).

Suasana adil inilah yang termaktub dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahwa hidup terjajah adalah bentuk pengekangan. Hidup terkekang sama artinya berdiri di atas lembah kematian. Kondisi inilah yang pernah dialami bangsa Indonesia sejak penjajahan bergema di nusantara. Puncaknya adalah sejak awal abad 19, kala Belanda secara resmi menjadikan Indonesia sebagai wilayah jajahan.

Kehidupan masyarakat pribumi lambat laun menjadi kacau. Dualisme kekuasaan membuat rakyat semakin menderita. Terlebih saat Belanda menerapkan politik rasis. Masyarakat pribumi dibuat inverior. Hal ini terlihat dari lumpuhnya ekonomi rakyat. Bahkan semakin parah kala Belanda menerapkan pendapatan kena pajak. Bayangkan saja di tahun 1939. Seperempat juta orang Eropa pada masa itu memperoleh pendapatan kena pajak seluruhnya sebesar 350 juta gulden. Sedangkan hampir 60 juta orang pribumi hanya 450 juta gulden (Swantoro, 2002).

Persoalan pendapatan juga menimbulkan keprihatinan. Penghasilan kebanyakan orang pribumi kala itu kurang dari 200 gulden setahun, sedangkan kebanyakan orang Eropa di atas 900 gulden. Yang menyolok adalah Cina dengan penghasilan total lebih dari 170 gulden (Swantoro, 2002).

Pembedaan kelas dan penghasilan, pada akhirnya menimbulkan ketimpangan pada masyarakat pribumi. Kenyataan inilah yang menjadi salah satu tonggak munculnya beragam perlawanan. Bentuk perlawanan beraneka cara, baik secara fisik maupun non fisik.

Beragam perlawanan pada dasarnya juga menjadi bentuk percaturan ideologi. Kelompok Islam misalnya, mengambil energi perjuangan Nabi Muhammad kala mengemban misi profetik. Misi ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial (Muhtada, 2008). Bahkan perang melawan Belanda sepanjang tahun 1873-1912 di Aceh, diyakini sebagai bentuk jihad di jalan Allah (Alfian, 2006).

Membangun Persatuan

Persatuan pada dasarnya merupakan kekuatan yang diserukan dalam Islam. Seruan, baik dalam hadits maupun Al Quran, menjadi daya dorong bagi kaum intelektual untuk merebut kemerdekaan. Jalan panjang ditempuh, baik secara fisik melalui perang maupun non fisik lewat: surat kabar, organisasi, dan diplomasi.

Selama Belanda berkuasa, berbagai daerah di Indonesia kerap terlibat kerusuhan sebagai bentuk perlawanan. Tahun 1920-an, muncul pemberontakan di Sumatera Barat dan Jawa Barat yang digawangi oleh PKI. Jauh sebelum itu sejak tahun 1800-an, beragam pemberontakan telah bergema di nusantara. Sebut saja perlawanan: Pattimura, Imam Bonjol, Diponegoro, Antasari, Sisingamangaraja XII, Cut Nyak Dien, Patih Jelatik, dan lainnya.

Perjuangan organisasi juga punya cerita tersendiri. Sejak PI dipimpin Hatta dan Syahrir pada 1925, arus perlawanan terhadap Belanda semakin deras. Bukan hanya itu. PNI bersama Sukarno juga terus melakukan propaganda di Bandung dan daerah lainnya. Demikian juga SI di Surabaya yang dibidani Tjokroaminoto dan Agus Salim. Organisasi ini secara terang-terangan melawan penindasan ekonomi terhadap penduduk pribumi.

Perlawanan melalui surat kabar juga terus berkobar. Media ini memegang peranan penting dalam pergerakan pemikiran. Hampir dipastikan bahwa para pemimpin pergerakan nasional kala itu adalah tokoh pers. Nama-nama seperti: Tjokroaminoto, Syahrir, Hatta, Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangungkusumo, Kartosuwiryo, Agus Salim, dan Douwes Dekker adalah pemilik surat kabar sekaligus penulis. Surat kabar yang secara tajam menyerukan perlawanan terhadap Belanda antara lain: Bintang Soerabaja, Medan Prijaji, De Expres, Oetoesan Hindia, Saroetomo, Hindia Putera, Indonesia Merdeka, Fadjar Asia, Fikiran Rak’jat, dan Daulat Rakjat.

Beragam jalan perlawanan yang ditempuh, bukan berarti sepi konflik. Perbedaan pendapat kerap mewarnai. Sebagai contoh, perdebatan tampak pada saat membangun ideologi kemerdekaan. Tiga tokoh besar: Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Kartosuwiryo berpegang pada tali Islam. Sementara Sukarno memilih nasionalisme (kebangsaan) sebagai pegangan. Perdebatan berlangsung secara damai dalam surat kabar. Bahkan ketika Agus Salim terang-terangan menentangnya, Sukarno menjawab dengan tulisan berjudul Ke Arah Persatoean: Menjamboet Toelisan H.A.Salim.

Perdebatan juga terjadi antara Hatta dan Syahir terhadap Sukarno saat memimpin PNI. Keduanya menilai bahwa pergerakan Sukarno yang berbasis massa, tidak tepat diterapkan pada masyarakat yang masih buta politik. Pidato-pidato yang dilakukan juga dinilai tidak efektif. Seharusnya pengerahan massa didahului oleh pendidikan politik yang matang.

Perdebatan terus berlangsung hingga jelang kemerdekaan. Saat itu, Sukarno dan Hatta ingin menunda pengumuman kemerdekaan. Sementara kelompok Syahrir, meminta disegerakan. Syahrir bahkan terlihat sangat marah mendengar keputusan Sukarno dan Hatta (Legge, 1993). Perdebatan memuncak sehingga jalan cepat diambil dengan menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pada akhirnya demi kepentingan bangsa, keduanya taat pada perintah golongan muda. Mereka pun berhikmat saat didaulat menjadi presiden dan wakil.

Pasca kemerdekaan, Indonesia kembali dihadapkan pada kesulitan. Munculnya agresi militer Belanda I (1947) dan II (1948), menjadi ujian terberat. Jalan diplomasi akhirnya ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, Konferesi Meja Bundar adalah sederet perjuangan yang menguras pikiran demi kehormatan bangsa. Dalam masa ini, kerjasama antar tokoh menjadi kekuatan yang tak bisa tergantikan.

Persatuan memang tak mudah didapatkan. Namun mesti ditegakkan. Sebab tak ada jalan lain untuk meraih kemajuan kecuali beriringan dalam satu kerja bernama: persatuan. Jalan ini memang terjal. Manusia harus berpegang teguh pada tali kesabaran. Pada akhirnya, penerimaan atas kenyataan menjadi kekuatan tersendiri bagi pemimpin. Demikian juga keikhlasan membangun kebersamaan, menjadi jalan yang mendatangkan kemaslahatan.

Penutup

Islam adalah pondasi dalam membangun ‘rumah’ bernama Indonesia. Kedudukannya bukan hanya sebagai ‘pedang’, tetapi juga kekuatan dalam berjuang. Nilai-nilai kemerdekaan, keadilan sosial, rasa persatuan—semuanya termaktub dalam satu wadah bernama Islam. Dinamika sejarah nasional Indonesia—dengan demikian, adalah proses di kala kekuatan Islam diuji untuk menyatu padu aneka golongan. Pada akhirnya, mereka duduk bersama untuk mengukir prasasti bernama: Indonesia.

Sumber/Rujukan

Departemen RI. (2007). Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Darus Sunnah.

Hun, K.Y. (2011). Pramoedya Menggugat; Melacak Jejak Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Ibrahim, A. (1987). Perang di Jalan Allah (Aceh 1873-1912). Jakarta: Grafiti Press.

Legge, J.D. (1993). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan; Peranan Kelompok Syahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Muhtada, D. (2008). “Makna Kemerdekaan dalam Alquran”. Suara Merdeka, 15 Agustus 2008.

Shihab, M.Q. (2007). Secercah Cahaya Illahi; Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan.

Swantoro, P. (2002). Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Islam Pondasi Pergerakan Nasional
Share:

Rabu, 31 Mei 2017

Melawan dengan Pasrah: Nyai dalam Lintasan Sejarah Masa Kolonial

Pengantar; Mengapa Perempuan dan Seksualitas?

Tahun 1991, Julia I Suryakusuma menyuguhkan tulisan menarik mengenai seksualitas. Di Indonesia, kajian mengenai seksualitas sebagai bidang studi ilmu sosial, masih belum lahir. Demikian juga di Barat, relatif masih baru.[1] Julia menyinggung bahwa seksualitas adalah persoalan sensitif yang sering hadir dalam gejolak sebuah peristiwa. Ia sangat ekspresif, agresif, dan kerap menundang ketegangan serta rasa ingin tahu.

Seksualitas adalah bagian dari kehidupan yang tidak hanya ’hidup’ tetapi membumi. Dalam beragam pandangan, ia dikaji, ditempatkan, dan diposisikan dengan bahasa ’nakal’ yang kerap membuat geli. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang makin pesat, kajian seksualitas bukan lagi menjadi hal baru, termasuk dalam lini yang paling privat.

Seksualitas yang digambarkan baik secara esensial maupun non esensial, menjadi kajian yang menarik. Faruk HT misalnya menuliskan bahwa secara sadar maupun tak sadar, kita telah dicekoki dengan konsep tertentu mengenai seks[2].

Seksualitas juga menjadi jalan radikal bagi kaum perempuan untuk menunjukan identitas diri dalam menggugat budaya patriarki yang menegasikan seks pada perempuan. Sejumlah karya sastra bertema seksualitas yang dihasilkan perempuan, menurut Faruk HT, merupakan keberhasilan dalam menundukan wacana bahwa seks hanya milik kaum laki-laki.[3]

Fenomena monumental Larung dan Saman digarap Ayu Utami, kemudian diikuti ‘muridnya’—antara lain: Djenar Maesa Ayu dan Herlina Tiens[4]. Dengan jalan radikal, mereka sampai pada tahap gugatan terhadap makna sebuah ‘kesucian’. Seks kemudian tampil sebagai medium paling ‘apik’ untuk menggugat laki-laki.

Jalan yang mereka tempuh secara sadar diamini oleh sebagian laki-laki. Faruk HT misalnya menulis, “Karena dalam konteks Indonesia kecenderungan untuk menempatkan wanita sebagai makhluk yang sakral, religius, dan alat reproduksi demikian kuatnya, shock terapy yang berupa penghancuran mitos wanita perlu dilakukan. Dan Ayu Utami dan beberapa penulis sastra lainnya sudah mengambil jalan yang tepat”.[5]

Secara historis, untuk bisa bicara seks secara ’blak-blakan’, mengalami kurun yang panjang. Pada mulanya, dalam kategori lisan dan tulisan, seksualitas hampir tidak pernah dimunculkan. Kecuali dalam tradisi seni, simbol seksualitas hampir selalu menghiasi keindahan relief candi atau bahkan digambarkan dalam bentuk lingga-yoni—lambang kesuburan laki-laki dan perempuan. Itulah realitas zaman tradisional yang menempatkan seks sebagai ritual yang mistis sekaligus romantis[6].

Menginjak masa Islam, penggambaran seks mulai ditutup dengan bingkai normatif trasendensi, melalui tuturan bahasa Al Quran atau hadits nabi. Sama halnya zaman Hindu-Budha, Islampun menempatkan seksualitas sebagai wacana yang sakral. Islam menyandarkannya dalam budi yang berujung pada: ibadah. Ini artinya, seks yang ditempatkan pada posisi yang benar, maka akan bernilai ibadah.

Secara psikologis dari sisi perkembangan manusia, seks bukan hal yang aneh, karena memang harus dilewati sebagai jembatan menuju pewarisan generasi. Menurut Ali Akbar, laki-laki ditempatkan pada pemilik seksual agresif, sementara perempuan bersifat pasif atraktif[7].

Perjalanan sejarah membawa perubahan pada wajah kehidupan masyarakat perbumi. Sejak kedatangan bangsa Barat yang kemudian memunculkan VOC sebagai persekutuan dagang, realitas sosial dihadapkan pada sifat kemodernan yang membawa banyak konsekuensi.

Demikian pula saat Pemerintah Belanda menguasai, wajah masyarakat ’dibedaki’ dengan ’pupur’ budaya Barat. Salah satu dampak yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai identitas dan seksualitas perempuan—makhluk yang sering ditempatkan atau dinegasikan sebagai ”yang lain” atau the second sex. Lebih khusus, akan dijelaskan mengenai keberadaan Nyai[8] yang selalu digambarkan dalam tabir hitam putih kisah romantis masa kolonial.

Nyai dan Romantisme Seksualitas

Bahwa setiap perjalanan sejarah tidak bisa lepas dari perempuan, adalah benar. Sejarah kedatangan bangsa Barat dalam misi penaklukan dan pendudukan wilayah koloni misalnya, juga dibayangi oleh satu ‘kekuatan’ bernama perempuan. Perjalanan panjang sarat tantangan yang terkadang melemahkan psikologis, hanya dapat direduksi dengan seksualitas. Semua itu tersedia lewat perempuan. Sebuah pergulatan antara seks, perempuan, dan kekuasaan pada abad 18 misalnya, digambarkan dengan begitu mendebarkan oleh Mayon Sutrisno dalam novelnya, Banda Neira.

Selain penaklukan dan pendudukan, awal perjalanan VOC meninggalkan titik sejarah bernama seksualitas dan perempuan. Pelayaran selama hampir setahun, mewajibkan laki-laki untuk tidak mengikutsertakan keluarga. Dalam posisinya sebagai tentara militer, mereka juga diwajibkan membujang dan menjauhkan diri seks.

Tindakan homoseksualitas misalnya, mendapat sanksi berupa hukuman mati. J.P. Coen yang saat itu bertindak sebagai Gubenur VOC, sangat keras terhadap persoalan yang satu ini. Secara tegas dikatakan, ”Tidak ada seks dalam pelayaran. Homoseksualitas adalah kematian.”

Menginjak kepemimpinan J.Speck, keadaan berubah. Realitas seks dipahami sebagai kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak dapat dicegah. Penahanan terhadap seks hanya akan meninggalkan gejala kejiwaan (neurosis). Kondisi ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerja para tentara.

Sebenarnya pada masa J.P Coen, upaya pengiriman dan pembelian budak dari Vietnam, Filipina, dan India, pun pengiriman perempuan dari Eropa telah dilakukan. Akan tetapi, iklim Hindia Belanda membawa dampak buruk, sehingga banyak yang meninggal. Kondisi ini disikapi dengan cara yang lebih lunak oleh Speck, dengan membiarkan para tentara bergaul dengan perempuan pribumi.Terbentuklah kemudian pranata Nyai[9]. Mereka umumnya berusia muda, cantik, berkulit putih, dan menarik.

Perempuan pribumi dengan segala kemolekannya, menjadi daya eksotik kedua, setelah kekayaan alam yang terbentang. Kepasrahan mereka dalam ’menyediakan’ diri sebagai nyai, menumbuhkan agresifitas libido laki-laki Eropa. Di sisi lain menurut Ong Hok Ham, kedudukan para Nyai ini tidak lebih dari para budak yang tanpa mendapat bayaran.[10]

Fenomena Nyai makin marak pasca diberlakukannya politik liberal pada tahun 1870 yang membuka peluang bagi pengusaha swasta, termasuk kaum borjuis dari Belanda, untuk datang ke Hindia. Pembukaan perkebunan seperti di Deli (Sumatera Timur) yang membawa konsekuensi kedatangan pekerja orang-orang Eropa misalnya, membuat pesatnya praktik pernyaian.[11] Dengan kekayaan yang dimiliki, mereka dapat menyewa pembantu perempuan hingga 12 orang. Mereka tidak hanya melayani kebutuhan makan-minum, tetapi juga seksualitas.

Posisi Nyai memang dilematis. Sejumlah cap buruk disematkan padanya. Sejarah seolah menghukumnya dalam kubangan dosa zaman—sama sekali tak memunculkan nilai kemanusiaan. Ini dikarenakan paradigma seks selalu diarahkan pada tataran biologis, sebagaimana diberikan oleh pandangan esensialis[12].

Pandangan non esensialis akan berkata lain. Seks bukan semata-mata dilihat dari ikatan biologis. Seksualitas dipengaruhi oleh pembentukan proses sosial-budaya yang melampaui apsek-aspek pembentukan lain dari perilaku manusia.[13] Michael Faucault misalnya, menempatkan seksualitas sebagai wacana yang muncul atas kekuatan kuasa dan pengetahuan.

Dari sudut non esensialis, aktivitas Nyai bisa jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi—pesimisme pada nasib yang tidak menguntungkan. Ini artinya, menjadi Nyai adalah sebuah pilihan. Keberadaan Nyai yang secara psikologis mampu melumpuhkan penyakit neurosis laki-laki Eropa, menjadi kekuatan yang tidak ter-sejarah-kan. Demikian sebaliknya, kelemahan laki-laki adalah ketundukannya pada daya seksualitas Nyai.

Dengan demikian, seksualitas bukan hanya milik kaum laki-laki, tetapi juga perempuan. Di sinilah letak nilai diri dari seorang perempuan. Mereka tidak pasrah, tetapi melawan dengan cara memberikan pelayanan. Perlawanan yang halus, tetapi tidak jarang, mematikan jiwa laki-laki.

Identitas Nyai di Balik Seksualitas

Mengapa identitas menjadi penting dalam pembahasan seksualitas? Seksualitas berkaitan dengan tubuh yang dalam posisi otonom merupakan bagian dari ke-diri-an seseorang—perempuan. Sementara itu, pembahasan mengenai identitas, tidak dapat dilepaskan dari karakter budaya: pertama, karena budaya merupakan kumpulan tubuh yang secara kolektif menempatkan prinsip sebagai pandangan hidup; kedua, pemaknaan seksualitas selalu terikat dengan kultur masyarakat pada zamannya.

Hingga pertengahan abad 20, kehidupan masyarakat di Hindia Belanda baik secara ekonomi, politik, maupun ideologi, masih distir secara kuat oleh Pemerintah Belanda. Secara kultural, hal ini mengimbas pada pola dan cara hidup mereka.

Demikian halnya dengan perempuan pribumi. Kehidupan menjadi gundik atau Nyai, masih marak. Dalam posisi tersebut, mereka juga terikat oleh peraturan yang secara manusiawi, tidak menguntungkan. Kapan saja si tuan berkehendak, dengan mudah ia dapat terusir dari rumah. Dan sebaliknya ketika ia punya anak, tidak ada hak kepemilikan baginya. Anak adalah milik tuan yang kemudian di baptis menjadi kristen.

Posisi Nyai hanya sebatas pada playanan tubuh yang termanisfestasi dalam seksualitas. Kedudukannya sebagai perempuan, diwacanakan dengan begitu rendah, meskipun begitu berarti bagi orang-orang Eropa. Ong Hok Ham misalnya menuliskan bahwa Nyai adalah simbol romantisme kisah cinta yang memenangkan kekuasaan kolonial.[14] Tanpa Nyai, para tuan hanya akan menggelepar dalam penderitaan seks.

Bagi para sastrawan yang muncul pada saat itu, baik dari kalangan Belanda maupun Tionghoa, fenomena Nyai adalah ’lahan subur’ untuk menggarap karya-karya bermutu yang sekaligus menjadi kritik sosial atas sikap para tuan yang dinilai merendahkan perempuan. Sebagian besar karya sastra yang muncul dalam bentuk novel, mulai mengangkat citra Nyai yang disimbolkan dalam bentuk perlawanan diri atau sebaliknya kekalahan.

Karya sastra yang sangat terkenal karya G. Francis, Nyai Dasima, misalnya mengisahkan seorang Nyai yang akhirnya kalah oleh situasi dan meninggal dalam kebimbangan. Wieranata dalam tulisannya mengungkap:

Pada Nyai Dasima status perempuan sangat memperlihatkan kerendahan martabat. Pria Barat yang diwakili Edward W. menempatkan tokoh perempuan (Dasima) sebagai Nyai, perempuan piaraan yang dipergunakan sebagai sarana memuaskan kebutuhan biologis, dengan cara memberinya ‘segala rupa barang-barang’ atau uang. Sehingga kesan perempuan disejajarkan dengan budak, tidak dapat dihindarkan.[15]

Lain halnya dengan Tjerita Nji Paina yang ditulis oleh H. Kommer. Ia berhasil menumbangkan hegemoni lelaki kolonial dengan memperaruhkan nyawanya. Ia mengakhiri kekejaman serta pikiran bercabang-cabang dari seorang Eropa yang gila kuasa, sambil merugikan dirinya sendiri. Akan tetapi, pada akhirnya ia menang[16]. Dua cerita tersebu hanya contoh. Puluhan cerita dengan nuansa yang sama, berlatar belakang Nyai, hadir menghiasi karya sastra di abad 20[17].

Rupanya, pengarang pribumi juga tak mau ketinggalan. Pramoedya Ananta Toer adalah satu yang berhasil mengungkap kisah perlawanan Nyai dalam novel monumental bertajuk Nyai Ontosoroh. Pram yang secara pribadi mengaku menghormati perempuan, mencoba menghadirkan Nyai dalam relasi perlawanan dengan situasi zamannya. Sayang, Nyai Ontosoroh banyak dikritik karena terkesan terlalu ’laki-laki’. Secara tidak sadar, upaya Pram untuk menghadirkan otonomi Nyai, justru menenggelamkannya dalam jiwa laki-laki. Sebagai gambaran, simak kutipan Nyai Ontosoroh berikut:

“Hidup sebagai Nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaiknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap segala kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah badan bisa diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan yang syah. Aku telah bersumpah dalam hati: takan melihat orang tua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa itu. Mereka telah bikin aku jadi Nyai begini. Maka kau harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya Ann, aku telah memendam orang tua sendiri. Akan kubuktikan kepada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.[18]

Pram mencoba menghadirkan Nyai dalam wacana sosial yang radikal. Seksualitas bukan digambarkan dalam relasi tubuh, tetapi dalam kuasa perempuan yang menghadirkan perlawanan. Terlepas dari sudut pandang ‘kelaki-lakian’ yang digunakan, dalam posisi ini identitas perempuan muncul dalam karakter yang kuat. Seks bukan lagi dilihat dari tataran: penaklukan, mistisme, atau solidaritas, tetapi menjadi identitas kelaki-lakian dan keperempuanan.

Penutup

Persoalan seks sebagai bagian dari kajian ilmu sosial, tetap menarik untuk ditulis. Dalam perspektif sejarah misalnya, persoalan seks tidak hanya digiring pada diskursus: kekuasaan dan kekuatan laki-laki, tetapi lebih diarahkan dalam upaya membangun perspektif yang androgyni. Seksualitas adalah daya kekuatan yang menjadi milik laki-laki dan perempuan.

Sejarah seharusnya mulai digeser dalam perspektif yang lebih utuh, termasuk saat menempatkan perempuan. Kontruksi yang digunakan bukan lagi selalu berkiblat kepada laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk mengkontruksikan diri secara otonom, agar dapat larut dalam sejarah. Dengan begitu, perempuan akan mempunyai identitas yang jelas. Dalam hal ini, seksualitas adalah alat untuk menggiring dan menemukan identitas.

Di sisi lain, seksualitas seharusnya ditempatkan pada posisi yang manusiawi, sehingga memunculkan nilai penghormatan laki-laki dan perempuan. Seks adalah citra sebuah hubungan yang tidak hanya badaniah, tetapi juga sosial. Karenanya pemahaman akan kesucian dan kesakralan, seharusnya tetap dipertahankan, kendati wacana berjubel mencoba menendang kaidah seks yang normatif. Bagaimanapun, agama bukan hanya merupakan ilusi infantil yang menjadi tempat manusia lemah.Tetapi sebaliknya—sandaran manusia dengan setumpuk pemahaman pada makna mati dan hidupnya seks.

Daftar Pustaka

Akbar, A. ”Studi Sejarah Perempuan Islam; Bagaimana Kita Terlibat dalam Kekacauan Ini”, Jurnal Perempuan, Edisi 3 Mei/Juni 1997.

Akbar, A.“Etika Seksual dalam Pandangan Islam”, Prisma, 7 Juli 1991.

Christanty, L. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda”. Prisma No. 10, Oktober 1994.

Darmarastri, H.A. “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, Lembaran Sejarah, Volume 4, No. 2, 2002.

Darmarastri. H.A. 2006. Nyai Batavia, Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Faruk HT, dkk (ed.). 2000. Seks, Teks, Konteks; Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global. Bandung: Kelompok Belajar Nalar Jatinangor dan Unpa.

-------- “Seks dan Kebudayaan dalam Sastra”, Basis, 1983.

Ham, O.H. “Kekuasaan dan Seksualitas; Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, Prisma, 7 Juli 1991.

Haryanto, I. ”Perempuan-Perempuan Pemberontak”, Majalah Basis No 03-04, Tahun ke-54, Maret-April 2005.

Hellwig, T. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Scholten, E.L. 2002. The Nyai in Colonial Java: A Case of Supposed Mediation, yang terdapat dalam Sita van Bemmelen (ed.). Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV.

Sedyawati, E. “Peran Pria dan Wanita dalam Beberapa Cerita Daerah”. Prisma. 7 Juli 1997.

Soepangat, P. “Seksualitas dalam Budhisme”, Prisma, 7 Juli 1991.

Suryakusuma, Julia. “Kontruksi Sosial Seksualitas; sebuah Pengantar”. Prisma, 7 Juli 1991.

Suyono. C.R.P. 1995. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, Yogyakarta: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.

Toer, P. A. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

--------. 1980. Nyai Ontosoroh. Jakarta: Hasta Mitra.

Wieranata, “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Perempuan”, Basis, Tahun 1990.



[1] Julia I Suryakusuma, Kontruksi Sosial Seksualitas; sebuah Pengantar, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 3.

[2] Faruk HT, “Seks dan Kebudayaan dalam Sastra”, Basis, 1983, hlm. 455.

[3] Faruk HT, “Tubuh, Kebudayaan, dan Seksualitas” dalam Faruk HT, dkk (ed.), Seks, Teks, Konteks; Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global, (Bandung: Kelompok Belajar Nalar Jatinangor dan Unpa), hlm. 59.

[4] Djenar Maesa Ayu antara lain menyajikan karya menggigit bertajuk Mereka Bilang Saya Monyet; sementara Herliena Tiens mengusung karyanya dengan Garis Tepi Seorang Lesbian.

[5] Faruk HT, “Tubuh, Kebudayaan, dan Seksualitas” dalam Faruk HT, dkk (ed.), op.cit., hlm. 69.

[6] Lihat penjelasan antara lain: Ong Hok Ham, “Kekuasaan dan Seksualitas; Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 21-23; Edi Sedyawati, “Peran Pria dan Wanita dalam Beberapa Cerita Daerah”, Prisma, 7 Juli 1997; dan Parwati Soepangat, “Seksualitas dalam Budhisme”, Prisma, 7 Juli 1991.

[7] Keterangan lanjut lihat Ali Akbar, “Etika Seksual dalam Pandangan Islam”, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 55. Penjelasan lain yang tidak kalah menarik bisa disimak dalam ”Studi Sejarah Perempuan Islam; Bagaimana Kita Terlibat dalam Kekacauan Ini”, Jurnal Perempuan, Edisi 3 Mei/Juni 1997, hlm. 18-29.

[8] Sejauh ini, tulisan tentang sejarah Nyai dibagi dalam dua kategori: sejarah dan sastra. Untuk tulisan Nyai berbahasa Belanda, diantaranya tulisan Elisabeth Locher-Scholten, The Nyai in Colonial Java: A Case of Supposed Mediation, yang terdapat dalam Sita van Bemmelen (ed.), Women and Mediation in Indonesia, yang diterbitkan oleh KITLV, Leiden, 1988. Dia Menggambarkan konteks Nyai di Deli, Sumatera Timur masa Cultuur Stelsel. Beberapa terbitan jurnal Indonesia di antaranya: Onghokham, Kekuasaan dan Seksualitas (Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial), dalam Prisma No. 7, Juli 1991 dan Linda Christanty, Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda, dalam Prisma No. 10, Oktober 1994. Selain jurnal, dalam bentuk buku misalnya karya Capt. R.P. Suyono yang terbit tahun 2005 dengan judul Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, Penelusuran Kepustakaan Sejarah. Nyai ditulis dalam bab 2 berjudul Antara Nyai dan Perempuan Indo. Terakhir tahun 2007, muncul karya Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia. Adapun dalam bentuk karya sastra (novel), Pramoedya Ananta Toer menggambarkannya secara apik dalam Nyai Ontosoroh.

[9] Ong Hok Ham, ibid, hlm. 18. Nyai, sebuah istilah yang terkadang menimbulkan kontroversi karena cara pandang yang beragam. Semula, sebutan Nyai hanya diberikan kepada istri para santri, kemudian merambah bagi sebagian bangsawan. Sebutan Nyai mengandung makna penghormatan atas perempuan. Seiring perubahan kultur, sebutan Nyai mengalami pergesaran makna. Ini sejalan dengan kedatangan kaum kolonial mulai dari Portigis, hingga Belanda yang menggunakan sebutan Nyai untuk perempuan ‘piaraan’ yang berasal dari pribumi. Lihat, Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia, Grafindo Litera Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 68.

[10] Ibid.

[11] Keterangan lebih lanjut lihat Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, Lembaran Sejarah, Volume 4, No. 2, 2002.

[12] Julia I Suryakusuma, op.cit., hlm. 10.

[13] Ibid.

[14] Ong Hok Ham, op.cit.,hlm. 18.

[15] Wieranata, “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Perempuan”, Basis, Tahun 1990, hlm. 260.

[16] Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 88.

[17] Keterangan lebih lanjut, lihat Ibid., hlm. 103.

[18] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Jakarta: Hasta Mitra, 1980), hlm. 80. Kutipan ini tidak diambil secara langsung, tetapi diambil dari tulisan Ignatius Haryanto, ”Perempuan-Perempuan Pemberontak”, Majalah Basis No 03-04, Tahun ke-54, Maret-April 2005.
Share:

Senin, 21 November 2016

Oral History; Agar Historiografi Lebih Manusiawi


”Wat verschijne, wat verdwijne,
’t Hangt niet aan een los geval,
In ’t voorleden, ligt het heden,
In het nu wat worden zal!”
(“Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam,
Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan,
Hari kemarin memangku hari sekarang
Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”)
(Willem Bilderijk)

Pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future.

Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling mengikat, memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan hidup, menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi pembelajar sejarah, demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif atau dengan kata lain, kejadian sejarah mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive).

Pengungkapan sejarah adalah konsekuensi—tugas yang harus dijalankan sejarawan. Mereka tidak sekedar bermain-main dengan data yang ’dikelilingi sangkar’ subjektivitas, tetapi bergelut mencipta kebenaran. Adalah ’dosa’, jika mereka larut dalam kekuasaan, lalu dengan sadar mencipta segudang pembenaran. Semua bisa terjadi, bukankah bagi penguasa sejarah bisa ditemu-ciptakan?

Sejarawan harus berhati-hati. Nurani yang kemudian bicara. Ia harus mengedepankan posisinya: menjadi sejarawan profesional atau istana. Pilihan yang sulit, tetapi harus diambil. Setiap pilihan punya tanggungjawab. Semua terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai muara tulisan. Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut. Laut itu menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin. Sejarawan juga ibarat raja. Apa yang dikatakan, sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak terbantah.

Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih dipusatkan di satu titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan melirik pada data lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid karena mengandung banyak perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat historiografi Indonesia terkesan hanya ’berdiri di menara gading’. Sindiran halus sering terlontar, ”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?”

Sejarah lisan (oral history) atau James Morison menyebutnya penelitian lisan, membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. Sifatnya yang ’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar. Arsip terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta. Tidak demikian dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun konteks, lebih terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah. Setidaknya, memberi tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja tidak disejarahkan. Paul Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat.

Kemana Sejarah Lisan Dibawa?

Asvi Warman Adam mengatakan bahwa data lisan membuka kesempatan bagi terkuaknya ’sejarah korban’. Ia lebih menitikberatkan kajian tahun 1965 dengan fokus korban pembantaian. Apa yang dituliskan Asvi, hanya satu dari beragam wilayah sejarah yang belum tersentuh. Di Indonesia sendiri, proyek penulisan sejarah lisan sudah dimulai sejak tahun 1972 di bawah koordinasi Jose Rizal Chaniago. Penelitian di bawah naungan ANRI ini, berfungsi untuk menutup kekurangan arsip 1942-1950. Fokus penelitian diarahkan pada tokoh-tokoh lokal, sehingga menurut Asvi, proyek ini bisa menjadi embrio sejarah lokal di Indonesia.

Satu hal yang perlu dicermati adalah, apakah sejarah lisan hanya diperuntukan bagi para elit? Lalu berkaitan dengan dimensi temporal, apakah hanya periode krusial tahun 1965, yang kemudian harus mendapatkan perhatian ekstra setelah orde baru tumbang? Mengapa tidak mencoba menengok kembali pada tempo sebelumnya, misalnya tahun 1950-an.

Dalam pentas sejarah Indonesia, periode tahun 1950-an dianggap paling panas. Periode yang dipenuhi perlawanan ini, umumnya menghasilkan perubahan masyarakat. Beragam konflik yang muncul, terutama untuk wilayah di luar pulau Jawa, menunjukan wajah lokal yang buram. Terutama bagi masyarakat bawah yang hanya mengekor— menjadi korban pertama dan utama. Sebuah masa yang penuh pergolakan, tetapi terkadang lepas begitu saja dari bidikan pengarsipan.

Kalaupun dilakukan pengarsipan, hanya menguak pengalaman kaum elit. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi golongan akar rumput? Pada siapa mereka menyuarakan kegelisahan historis yang dirasakan? Seharusnya sejarawan lebih peka melihat situasi zaman. Apabila kesalahan yang sama diulang—hanya elit yang bicara, selamanya sejarah menjadi kaku dan bisu. Tidak ada proses yang manusiawi.

Hendaknya mulai dibangun kesadaran dengan menggali informasi historis dari kalangan bawah, untuk menghasilkan data sejarah yang lebih kaya. Apa yang dikatakan para elit, terkadang sangat jauh berbeda dari apa yang dilihat dan rasakan kalangan bawah. Bumbu-bumbu politik begitu tampak dalam setiap ucapan. Namun kelompok marginal dalam sejarah, apakah mereka punya tendensi? Mereka hanya menghirup arus, menelan zaman, dan meresapkan kejadian sebagai pelajaran hidup yang pahit.

Bila Kaum Marginal Memiliki Sejarah

Kotak pandora bagi kaum marginal mulai terbuka. Suara mereka akan terdengar di antara barisan sejarah. Sejarah lisan sebagai kunci, membuka dengan lebar. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum marginal? Mereka di antaranya adalah ’kaum terjajah’ bernama: buruh, perempuan, dan minoritas etnis.

Pertama buruh. Mereka adalah ’pahlawan ekonomi’ yang jarang tersentuh sejarah. Pergulatan hidup yang mereka rasakan, hanya tertuang dalam ’teriakan’ sosiologis ataupun antropologis. Pembahasan sosiologis maupun antropologis, umumnya bertujuan membentuk pola, bukan mencari dan melihat celah perubahan sebagaimana dilakukan sejarah.

Kedua, perempuan. Namanya mulai disebut sebagai bagian sejarah tanpa monopoli patriarki, ketika suara-suara berbau feminisme dikumandangkan dengan begitu merdu. Ruth Indiah Rahayu misalnya, begitu tajam mengkritik penulisan sejarah perempuan bercorak kebangsawanan, sebagaimana dianut pada masa kolonial. Lewat tutur sejarah perempuan itulah, ’kran sejarah’ yang semula tertutup, perlahan terbuka.

Data mengalir begitu deras, sehingga mampu meneropong wajah perempuan Indonesia. Sebagai contoh, keberhasilan para peneliti perempuan dalam menguak kehidupan para Gerwani pasca tragedi 1965. Meski sebagian besar bukan sejarawan, akan tetapi data yang mereka peroleh, mampu menggiring ke arah jalannya sejarah. Lewat merekalah, wacana penolakan terhadap Gerwani sebagai ’mawar berbisa’, perlahan mencuat. Seketika, organisasi ini menjadi persoalan historis yang hangat.

Melalui penelitian lisan itulah, segala bentuk penderitaan Gerwani sebagai ’korban situasi’, terpapar dengan jelas. Reni Nuryanti misalnya berhasil menguak kekerasan perempuan di Minangkabau masa pergolakan daerah (1956-1961). Cerita yang tersembunyi selama puluhan tahun, perlahan terbuka.

Ketiga, minoritas etnis. Cerita getir kehidupan mereka yang berusaha ’menjadi Indonesia’ secara umum hanya tercacat dalam memori harian. Cerita etnis Tionghoa, Arab, atau Belanda misalnya, baru terkuak setelah dilakukan kajian intensif dalam bentuk wawancara mendalam. Rustopo misalnya, berhasil menguak sisi lain kehidupan etnis Tionghoa di Jawa yang berjuang mencari identitas. Demikian juga dengan etnis Arab. Penelitian Fatiyah, Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta, menunjukan betapa bimbangnya mereka dalam menentukan identitas. Seperti halnya etnis Tionghoa, pergulatan sejarah akhirnya menggiring mereka untuk ’menjadi Jawa’.

Kajian-kajian bertema ’masyarakat tanpa sejarah’ tersebut, hanya dapat terkuak secara detil dengan data lisan. Dokumen yang mencatat kehidupan mereka, begitu minim. Sudah saatnya, ilmu sejarah bangkit dengan spirit baru. Dengan cara ini, posisi sejarah yang sering dikucilkan, akan bergeser. Pemahaman bahwa sejarah tidak selalu bergelut dengan arsip, tetapi juga data lisan, perlu dibangun. Jika konteks ini sudah matang, baik dalam konsep maupun praktik, maka sejarah akan hadir dengan penampilan khas yang lebih menggigit.

Sejarah lisan membuka peluang baru dalam penambahan koleksi data sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi harga mati yang membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk wawancara mendalam, juga tidak kalah penting untuk menguak pengalaman sejarah yang tidak tertuturkan dalam dokumen.

Data tertulis yang dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak mentalitas masyarakat dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah, Historiografi akan terasa lebih manusiawi—menyentuh permasalahan fundamental manusia.
Share:

Perempuan, Seks, dan Perang; Analisis dalam Pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (1958-1961)

ABSTRAK

Tulisan ini membahas relasi antara: perempuan, seks, dan perang dalam pergolakan PRRI (1958-1961). Selama kurun tiga tahun pergolakan di Sumatera Barat, perempuan Minangkabau dihadapkan pada situasi dilematis. Dalam situasi rumit, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri. Mereka mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya dalam barisan PRRI. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

Perempuan yang kerap dianggap ‘nomor dua’ dalam sejarah, akan terlihat berbeda jika dilihat dalam pandangan yang bersifat komplementer. Dalam perang misalnya, sebenarnya peran perempuan bagi laki-laki tidak hanya terlihat dalam relasi politik-militer, tetapi juga psikologi dan sosial. Seks misalnya, adalah media yang menghubungkan peran perempuan terhadap laki-laki.

Perang yang menimbulkan kekerasan, secara psikologis mengakibatkan ketegangan psikis sebagai pengaruh kontraksi antara kegelisahan dan ketakutan. Laki-laki yang terlibat perang, baik di garis politik maupun militer, adalah subjek yang paling merasakan ketakutan. Dalam tahap akut, ketegangan ini akan memuncak tensinya dan menyebabkan ‘sakit.’ Rasa sakit ini salah satunya hanya dapat direduksi dengan seks. Secara psikologis, seks bukan hanya memberi nuansa kesenangan fisik, tetapi juga ketenangan batin. Relasi seks inilah yang secara langsung melibatkan perempuan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam sejarah tidak hanya dilihat dalam lingkup makro, tetapi secara detil dalam perang yang memunculkan mikrohistori.

A. Pengantar

Laki-laki tidak memungkiri bahwa perempuan adalah kekuatan. Pesona menggetarkan bernama: kematangan emosi dan keagungan spiritual adalah energi yang menguatkan perjuangan. Umar bin Khatab misalnya membahasakan, “Jadilah engkau singa garang di padang pasir pada siang hari dan jadilah bayi di pangkuan istrimu pada malam hari.”

Perempuan adalah daya psikohistoris yang melahirkan para pahlawan. Hamka, lewat kendaraan sastra menggambarkan, “Kedudukan perempuan ibarat tempat kapal bertambat—ialah hati yang terkadang rapuh oleh deburan ombak kehidupan. Pada perempuanlah hati yang bergolak kembali menepi dalam buaian ketenangan.”[1] Tidak ketinggalan, Anis Matta juga menulis, “Ini bukan ketergantungan, tapi kebutuhan yang tak dapat digantikan.”[2]

Pilihan perempuan untuk mengabdi kepada laki-laki, dengan demikian bukan menjadi sebuah kekalahan, tapi kemenangan sejati. Perempuan tidak harus menjadi laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan memanfaatkan dimensi kefeminitasannya, mereka akan mendapatkan kekuasaan di mata laki-laki[3].

Orang-orang besar dalam sejarah, menyerap energi kekuatan dari perempuan. Lihat misalnya Nabi Muhammad yang bersimbah dukungan dari Khadijah. Kehilangan Khadijah menjadi momentum kesedihan yang membuatnya berhijrah. Muhammad mengatakan:
“...Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.”[4]

Besarnya pengaruh perempuan juga tampak dalam suasana perang. Situasi penuh ketakutan, adalah ‘lahan subur’ masuknya perempuan. Cinta yang lahir dalam pertautan seks, adalah obat paling ampuh untuk menurunkan ketegangan[5]. Dari sinilah, muncul ‘gugatan’ bahwa tidak selamanya laki-laki adalah pejuang, sementara perempuan menjadi pecundang. Tidak salah jika Elisabeth Badinter menulis, “Dalam perang perempuan terlihat lebih jantan, sementara laki-laki menjadi lebih feminin.”[6] Badinter menekankan bahwa perempuan, terutama yang sudah menjadi ibu, tidak hanya berpikir keselamatan diri dan suami, tetapi juga anak yang secara fisik bertautan dengannya.

Perang yang mengikutsertakan kekerasan, kerap menggilas ketenangan. Benar kata Marsana Windhu, “Perang bagaimanapun selalu membawa kerusakan yang luas dalam kehidupan manusia.”[7] Kebersamaan dan kehangatan keluarga, mendadak lenyap. Manusia beradu dalam kepentingan. Di antara mereka ada yang masih menyertakan keluarga dalam menapaki konflik, sebaliknya tidak sedikit yang meninggalkan. Fenomena ini pula yang terjadi selama konflik PRRI di Sumatera Barat. Sofyan M. Noor menulis bahwa pemberontakan PRRI ini termasuk sebagai salah satu perang saudara yang paling biadab di dunia.[8] Kekerasan mewarnai serentetan peristiwa yang mengantarkan Minangkabau pada kekalahan sejarah di tahun 1950-an.

Penulisan mengenai PRRI menurut Audrey Kahin, masih menyisakan ‘rongga kosong’ yang harus diisi.[9] Salah satunya adalah kajian mengenai kondisi perempuan pada saat itu. Mereka adalah saksi mata sekaligus pelaku yang terlibat secara langsung dalam peristiwa. Apabila muncul opini bahwa PRRI mengguncang mental masyarakat Sumatera Barat—perempuan pun merasakan hal yang sama.

Tulisan ini akan mengkaji persoalan: bagaimana kondisi perempuan Minangkabau dalam konflik PRRI serta seperti apa dimensi seks yang mengikusertakan perempuan mampu memberikan kekuatan bagi laki-laki. Apakah dalam situasi konflik perempuan selalu menjadi nomor dua atau sebaliknya seperti kata Pak Kuntowijoyo, melalui penulisan sejarah bercorak androgyneusentris[10], perempuan muncul dalam dimensi yang khas.

B. Hidup di Tengah Konflik PRRI

Perbedaaan peran antara laki-laki dan perempuan Minangkabau seperti digambarkan Cora Vreede-De Stuers[11], masih menguat di tahun 1950-an. Tensi politik yang meninggi karena pengaruh konflik PRRI, menimbulkan nuansa tersendiri bagi kaum perempuan. Iklim pusat yang diwarnai ketegangan antara golongan: Islam, nasionalis, dan komunis, secara tidak langsung berpengaruh bagi kehidupan perempuan Minangkabau.

Sebelum konflik memuncak menjadi perang saudara pada tahun 1958, perempuan Minangkabau hanya merasakan ketegangan sosial. Dari segi pendidikan misalnya, tidak sedikit yang putus sekolah. Yulinar yang pada saat itu berusia 18 tahun misalnya, mengalami kondisi itu. Sebelum perang, ia masih bersekolah agama di Padang. April tahun 1958, dia terpaksa berhenti sekolah dan pulang ke kampungnya di Sumpur Kudus.[12]

Pada saat konflik makin panas, sebagian perempuan yang bergabung dalam organisasi, mengindu pada dua poros: Islam dan sosialis-komunis, yang masing-masing gawangi oleh dua partai: Masyumi dan PKI. Masyumi menggandeng perempuan ke dalam satu induk organisasi yang bernama Wanita Muslimat Masyumi. Sementara PKI, mulai mendekati Gerwani. Dua organisasi ini digiring untuk menyebarkan opini partai.

Wanita Muslimat Masyumi misalnya, mengusung tema anti komunis. Mereka kerap mengadakan pengajian untuk para ibu di surau-surau. Kegiatan ini gencar dilakukan di Bukittinggi yang saat itu masih berstatus ibukota Sumatera Barat. Dalam kajian itulah, opini antikomunis disandarkan dengan pandnagan forma bermata agama. Muncul semacam dikotomi Islam dengan marxisme. Persoalan mengenai penciptaan manusia misalnya, menjadi pengantar untuk memahami Islam, sekaligus mematahkan materialime historis yang dibawa Marx. Asma Malin yang saat itu menjadi sekretaris Wanita Muslimat Masyumi misalnya mengatakan:

“Waktu itu, kami dipahamkan tentang penciptaan manusia. Kalau dalam AlQuran, manusia diciptakan dari tanah, lain menurut ajaran komunis. Manusia diciptakan secara evolusi dari kera. Nah inilah bedanya. Kalau Islam dari Saripati tanah, dengan evolusi, kemudian terciptalah manusia. Tapi ajaran komunis tidak. Siapa yang saat itu mulai mengikuti ajaran komunis, maka dia tercipta dari beruk. Waktu itu kami bahkan sempat ditanya guru ngaji, “Kamu mau dicipta dari beruk?”, “Tidak !”, kami menjawab. “Mau tidak Kamu jadi komunis?”, kami juga bilang, “Tidak!”[13]

Secara politis, pertentangan tersebut ditujukan kepada PKI. Partai ini dianggap sudah keluar dari ide gerakan di tahun 1920-an, yang berhasil mengusik kedudukan Belanda melalui pemberontakan Silungkang[14]. Pada saat itu, PKI dianggap sebagai pejuang. Akan tetapi tahun 1950-an, partai ini dicap sudah keluar dari jalur perjuangan.[15]

Sementara itu PKI, tidak mau kalah. Gerwani mulai gencar didekati. Sebelum pecah perang, Gerwani memang tidak ‘seagresif’ Muslimat Masyumi. Kondisi ini berubah pasca perang. Sebaliknya Wanita Muslimat Masyumi yang semula lantang, perlahan-lahan bungkam. Pimpinan Wanita Muslimat Masyumi seperti: Rahmah el Yunusiah dan Ratnasari, bergabung dengan tokoh Masyumi dan PRRI seperti: M.Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Mereka lalu pecah karena pemerintah pusat melancarkan Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Ahmad Yani.

Penyerangan yang tiba-tiba ke kota Padang pada 17 April, pukul 06.00 pagi dengan persenjataan lengkap, seketika memporak-porandakan PRRI. Praktis tidak ada perlawanan yang berarti. Pasukan PRRI berubah arah. Mereka menyingkir ke hutan, meninggalkan kota Padang. Setelah menggempur Padang, APRI lalu bergerak memasuki Bukittinggi. Kondisi pada saat itu semakin kacau. Mereka yang dianggap terlibat PRRI, lari ke hutan untuk melindungi diri.[16]

Pasukan PRRI di bawah pimpinan Ahmad Husein kocar-kacir. Mereka memlilih bergerilya di sepanjang hutan Sumatera. Situasi makin kacau saat tentara pusat yang berada dalam gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), bergerak ke seluruh basis PRRI yakni: Padang, Padang Panjang, Pariaman, Bukittinggi, Solok, Muara Labuh, hingga daerah terakhir di Sumpurkudus.

Dalam situasi yang makin rumit tersebut, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan yang bermain atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri bagi mereka. Mereka kerap mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke dalam organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

C. Seks dalam Konflik; Like and Dislike

Secara umum, seks sering dimaknai sebagai puncak hubungan yang menandai aktivitas fisik. Jersild membahasakan bahwa hubungan seksual adalah suatu keadaan fisiologik yang menimbulkan kepuasan fisik, yang merupakan respon dari bentuk perilaku seksual berupa: ciuman, pelukan, dan percumbuan. Secara fisiologis, seks adalah cara untuk menghilangkan ketegangan fisik setelah muncul dorongan yang bernama libido. Sedangkan secara psikologis, seks adalah cara menyeimbangkan mental, sehingga muncul ketenangan jiwa.

Dalam kehidupan rumah tangga, seks adalah kebutuhan. Pada umumnya, daya seks laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Secara fisik, tiap dua jam laki-laki memproduksi sperma. Ini artinya, mereka selalu berada dalam posisi ‘aktif’. Kondisi ini berbeda dengan perempuan yang mengalami masa aktif hanya pada tiga hingga tujuhbelas hari selepas haid.

Secara khusus dalam kondisi perang, seks adalah problema tersendiri, terutama bagi laki-laki. Perang yang secara psikologis menimbulkan ketegangan fisik dan psikis, kerap membuat mental terganggu. Kondisi ini juga yang terjadi pada konflik PRRI. Keberadaan perempuan ternyata berpengaruh besar. Menurut Rolland Litlewood, dalam situasi perang yang penuh ketegangan, laki-laki mengalami guncangan mental yang hebat. Ketegangan ini akan memuncak tensinya dan menyebabkan laki-laki merasa ‘sakit.’ Rasa sakit ini salah satunya hanya dapat direduksi dengan seks.[17]

Bagi pasukan militer yang telah berkeluarga misalnya, seks adalah beban tersendiri. Persoalan ini yang terkadang menimbulkan ‘kecelakaan sejarah’ berwajah kekerasan. Penyekepan, pelecehan, hingga pemerkosaan adalah kasus yang selalu terjadi dalam tiap situasi perang.

Pada saat PRRI misalnya, ketiga kasus juga mewarnai. Kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh dua pihak: APRI dan PRRI. Inilah yang menjadi dilema tersendiri bagi perempuan Minangkabau. Perang memang mematikan dimensi kemanusiaan. Tidak ada lagi perbedaan kawan dan lawan. Semua terjebak dalam satu kepentingan: kemenangan dan kekuasaan. Tidak heran, kekerasan terhadap perempuan marak terjadi pada masa itu.

Dari pihak APRI misalnya, kekerasan terhadap perempuan mulai menggejala semenjak kedatangan Divisi Diponegoro[18] di pertengahan tahun 1958. Divisi Diponegoro dikenal agresif terhadap pasukan PRRI. Pada 30 Agustus 1958 misalnya, mereka berhasil melancarkan operasi besar-besaran bernama Operasi Badai yang meliputi daerah: Batusangkar, Matur, Maninjau, Limapuluh Kota, dan Tanah Datar.[19]

Pada saat operasi inilah, penyekapan hingga pemerkosaan terjadi. Abdul Samad, aktivis PRRI, misalnya mengatakan bahwa tentara mulai bebas menyekap perempuan di rumah-rumah gadang. Lebih lanjut ia mengatakan, “Dengan dikumpulkannya para perempuan, para tentara tidak akan sudah-susah mencari pelacur ke kota-kota. Begitulah kekejaman Diponegoro.”[20]

Demikian juga pemerkosaan yang menyebabkan kehamilan sebagian perempuan. Pasca perang, mereka menanggung dua beban: moral yang berkaitan dengan adat setempat serta kepada diri mereka sendiri. Sebuah fenomena menyedihkan telihat saat penarikan pasukan Diponegoro. Tidak sedikit perempuan Minang yang meratap di Teluk Bayur karena tidak dapat menikah. Puluhan gadis Minang yang hamil dan memukul-mukul perut, karena malu pulang kampung.[21]

Inilah gambaran perlakuan APRI. Pasukan PRRI juga tidak berbeda. Merekapun melakukan hal yang sama. Soewardi Idris misalnya menggambarkan dalam bentuk cerpen tentang kekejaman pasukan PRRI. Meski dikemas dalam bahasa sastra, namun cerpen ini pada dasarnya adalah catatan pribadi Soewardi Idris selama bergerilya dengan pasukan PRRI. Ia gambarkan:

“Tidak lupa kami membuat lelucon tidak ada dalam kamus manusia beradab, yaitu menanggalkan pakaian wanita-wanita kecuali BH dan rok dalam. Wanita-wanita merupakan hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk-mabukan gembira. Mereka ingin agar wanita dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.”[22]

Pasukan APRI dan PRRI sama-sama ‘berlomba’ untuk memenuhi kebutuhan seks. Dalam situasi darurat seperti ini, seks menjadi bermakna: like dan dislike. Like diberlakukan jika didasarkan pada landasan cinta yang mengikutkan hubungan resmi antara suami-istri atau bisa jadi dilakukan lewat kawin mut’ah. Sebaliknya, seks menjadi dislike jika dihadapkan pada persoalan nafsu sekaligus teror[23]. Nafsu dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Menurut Sutarto, Kepala Kementrian Pertahanan di tahun 1957, para tentara yang tidak dapat dipenuhi kebutuhan seksualnya, mula-mula merasa dirinya sunyi.

Kesunyian akan hilang apabila ia sekedar bergaul dengan perempuan. Bebannya akan terasa ringan apabila ia senenatiasa mendapat perhatian dari para perempuan yang dicintainya dan yang jauh ditinggalkan oleh istrinya.[24] Penyataan Sutarto dibenarkan Soewardi Idris yang dalam penggalan cerpennya menuliskan, “Kehidupan membujang selama petualangan dalam hutan, terasa sepi sekali. Kalau lama-lama macam ini, mungkin jiwaku bisa rusak binasa.”[25] Lebih gamblang, Roland Litlewood juga menulis bahwa dalam studi psikologi, masa setelah terus-menerus mengalami kegelisahan atau kepenatan, secara signifikan bisa diturunkan tensinya dengan memberikan sejumlah perlakuan psikologis. Tentara memandang hubungan seksual adalah sebagai penahan kegelisahan dalam perang.” [26]

D. Perang tanpa Seks; Perjuangan tanpa ‘Senjata’

Persoalan seks sebenarnya bukan hanya berhenti pada posisi laki-laki butuh perempuan. Namun, ada momentum yang secara historiografis dapat menjadi jalan perempuan untuk masuk dalam pusaran sejarah. Posisi perempuan di belakang laki-laki sebagai pendukung psikologis inilah sebenarnya, yang menarik untuk dikaji. Seks adalah simbol dukungan. Perang yang berkecamuk dengan senjata dan pertempuran bahkan berujung kematian, menyimpan cerita yang tidak dapat dilepaskan dari perempuan.

Bagi perempuan yang mengikuti suami bergerilya misalnya, mereka mempunyai kenangan tersendiri. Tidak dipungkiri bahwa tanpa perempuan, laki-laki memang lemah. Persoalannya bukan hanya terletak pada kekhawatiran pada istri pada saat ditinggal, namun lebih pada dorongan seks. Maka tidak heran, tokoh-tokoh penting PRRI seperti: Ahmad Husein, Syafruddin Prawiranegara, dan Natsir, membawa anak dan istri mereka ke dalam hutan.

Istri Ahmad Husein, Desmaniar, bahkan melahirkan anak perempuan di hutan[27]. Hal yang sama juga dialami oleh Waharti, istri Zakaria yang saat itu menjabat sebagai kepala seksi logistik PRRI. Ia melahirkan anak laki-laki bernama Erpi Juntano dalam gerilya di hutan Solok[28].

Keberadaan perempuan dengan demikian menjadi kekuatan tersendiri bagi laki-laki. Dalam situasi sulit, mereka harus tetap berhubungan dengan perempuan. Surat misalnya, adalah media saat fisik tidak dapat bertatap. Ini dialami oleh Djamalus Djamil, Brimob Kompi 5152 di Bukittinggi. Istrinya, Nursyamsi, menceritakan, “Bapak kirim rutin surat-surat. Ibu juga membalasnya lewat kurir. Bapak selalu menanyakan kabar anak-anak. “Sehat-sehat saja kan?”, begitu kata Bapak. Kadang Bapak juga menulis, ”Bu, bapak titip anak-anak.”[29]

Perang di satu sisi ternyata menjadi momentum yang paling menyakitkan bagi laki-laki. Bukan hanya pada persoalan ‘perangnya’, tetapi cara bertahan jika tanpa perempuan. Senjata perang dengan demikian, bukan selalu berwujud peluru dan bayonet, tetapi juga muncul dalam bentuk: perempuan. Inilah yang menurut pengalaman Rusli Marzuki Saria, “Perang menimbulkan satu kesempatan, ‘tembak ‘ateh’, tembak ‘bawah’ (tembak ‘atas’ dan ‘bawah’).”[30]

Pada masa perang inilah terjadi perkawinan, baik sesama penduduk, maupun campuran. Dalam kasus PRRI, paling terlihat percampuran antara orang Jawa dan Sumatera. Pernikahan umumnya dilakukan secara sederhana. Cukup dengan memotong satu ekor ayam atau uang sebanyak Rp. 5.-, mamak siap menjadi wali nikah. Setelah itu diadakan kenduri, dan dalam acara tersebut akan dikatakan, “Ninik mamak hendak menerima keponakan. Tolong diterima bersama.”[31] Dia harus jujur menyebut siapa dirinya. Lalu diterimalah menjadi anak keponakan Dengan diterimanya menjadi anak keponakan, menikahlah tentara dengan dengan calonnya.[32]

Perkawinan terjadi dengan beragam kepentingan. Ada yang didasari rasa suka, adapula yang dilandasi ketakutan, terutama bagi perempuan. Di antara mereka ada yang langgeng, tetapi tidak sedikit yang bercerai karena penelantaran (deprivasi).

Pengalaman menyedihkan dituturkan misalnya oleh Yulinar dan Maidar.Yulinar dinikahkan oleh mamaknya dengan simpatisan PRRI dari Kompi Harimau Minang, Umar Daar, yang berasal dari Kampung Tanah Datar, Batusangkar. Pada saat itu, Daar bekerja di Departemen Pertanian Sawahlunto di bagian administrasi.[33] Karena di masa bergolak para pegawai juga dikenakan wajib militer, Umar Daar kemudian masuk menjadi anggota PRRI di Kompi Harimau Minang.

Atas dasar perjodohan, Yulinar menurut. Di kemudian hari, ia tahu kalau suaminya sudah beranak-istri. Dari sinilah, awal penelantaran itu terjadi. Kesusahan yang berlipat, dirasakan Yulinar. Ia menuturkan, “Itulah ibu, ganja batu[34]. Tak dibalanjo, ibu ditinggal.”[35] Tidak ada pilihan lain kecuali bercerai. Sementara itu Maidar, ia menikah dengan alasan sederhana. Dalam penuturannya, ia mengatakan, “Ibu kawin jo apak, karano apak tu tentara. Lai pulo, ibu indak namuah digoda-goda jo tentara Jawa.”[36] (“Ibu menikah dengan bapak, karena bapak tentara. Lagipula, ibu tidak mau digoda-goda tentara Jawa.”). Selepas PRRI, Maidar juga bercerai.

Pengalaman Yulinar dan Maidar menjadi gambaran bahwa dalam ketegangan perang, laki-laki memang tidak hanya memilih rasa aman dengan perlindungan. Mereka juga memilih perempuan. Pengalaman pahit masa perang, dapat ditepis dengan hadirnya perempuan yang direlasikan dalam pernikahan. Persoalan: bertahan atau bercerai, bukan merupakan kekalahan bagi perempuan. Pada akhirnya, mereka memilih hidup mandiri untuk membesarkan anak.

Pengalaman lain juga dituturkan oleh Mansoersami, yang pada saat konflik menjadi Bupati Sawahlunto, Sijunjung. Pada saat bertugas, Nuraini, istrinya yang berada di Padang, diperistri secara paksa oleh salah seorang anggota Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) UGM[37].

Tidak ada pilihan lain bagi Mansoersami selain menyerahkan sang istri. Sejak saat itu, ia mengalami kegelisahan hebat. “Saya ini habis semuanya,[38] demikian ia menuturkan. Tidak lama sesudah itu, saat berada di wilayah basis terakhir PRRI yakni Sumpurkudus, Mansoersami menikah dengan gadis setempat.[39] Dengan pernikahan itulah, ia mengobati kegelisahan akibat: perang dan kehilangan istri.

E. Penutup

Dalam kompleksitas perang, perempuan adalah bagian ‘tersembunyi’ yang sebenarnya punya pengaruh besar. Terlebih jika dihubungkan dengan persoalan seks, perempuan dan perang akan terlihat dalam nuansa yang berbeda. Ada sisi manusiawi yang mengandung permakluman, bahwa perang yang selalu menampakan wajah warior, ternyata juga menyimpan segi melankolis. Laki-laki terutama yang kerap dianggap sebagai hero, ternyata juga punya kelemahan. Bahkan dalam beberapa hal, perempuan bisa jadi lebih maskulin dibanding laki-laki. Dalam posisi inilah, perubahan mental itu terjadi.

Konflik PRRI yang menimbulkan perang saudara di Minangkabau misalnya, menyisakan perubahan mental, baik bagi laki-laki. Ia merasakan ketegangan hebat. Dalam situasi rumit itulah, laki-laki butuh penopang bernama perempuan. Di sinilah saling ketergantungan (mutual dependence) itu terjadi. Meskipun dibaluri dengan intrik penelantaran atau bahkan kekerasan, tidak dipungkiri bahwa laki-laki juga tergantung pada perempuan.

Secara historiografis, perempuan sebenarnya tidak lagi harus merasa ‘inverior’ untuk mengatakan bahwa mereka adalah bagian penting dari sejarah. Perang misalnya, menjadi kunci masuknya perempuan. Dukungan mereka kepada suami terutama, adalah wujud kuatnya kedudukan perempuan. Secara seksual, tanpa perempuan, laki-laki akan terus-menerus dihinggapi ketegangan mental.


Daftar Pustaka

Abdullah Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, a.b. Ghozi M, Khadijah The True Love Story of Muhammad, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, Jakarta: The Tarbawi Center, 2004.
Azmi, dkk., Adat dan upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1970.
Badinter, Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The Gender Battle, New York: A Cornellia and Michael Bessie Book,1989.
Br. Kris, FIC, “Makna Seksualitas bagi Manusia”, http://www.satunet.com, diakses pada Rabu, 19 Januari 2011, Pk. 17.00 WIB.
Christina Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hamka, Kisah Cinta Para Pejuang dalam “Edisi Surat-Surat Cinta”, Majalah Tarbawi, 2005.
Harian Rakjat, 2 September 1958.
Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jendral Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Latif Datuk Bandaro dkk. (ed.), Minangkabau yang Gelisah; Mencari Startegi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda, Bandung: Lubuk Agung, 2004.
Litlewood, Roland, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April 1997.
Mansoer Fakih, Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM).
Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004.
Munandir, PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001.
Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta, UGM, 2009.
R. Sutarto, “Soal Kelamin dalam angkatan Perang”, Benteng Negara, No.7/1957, tahun VIII.
Soewardi Idris, Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, Yogyakarta: Beranda, 2008.
Teks Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi, (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota Bukittinggi, 1958.
Vreede-De Stuers, Cora, Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 30 Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
Wawancara Desmaniar (Des Husen), Jakarta, 2 Agustus 2008, Pk. 19.00-20.30 WIB.
Wawancara Waharti, Jakarta, 3 Agustus 2008, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara via telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
Wawancara Nursyamsi, Solok. 25 Oktober 2008, Pk.13.00 WIB.


[1] Hamka, Kisah Cinta Para Pejuang dalam “Edisi Surat-Surat Cinta”, Majalah Tarbawi, 2005.
[2] Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, (Jakarta: The Tarbawi Center, 2004).
[3] Christina Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 2004).
[4] Lihat Abdullah Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, a.b. Ghozi M, Khadijah The True Love Story of Muhammad, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007): 307.
[5] Keterangan lanjut lihat Roland Litlewood, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April 1997: 13.
[6] Badinter, Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The Gender Battle, (New York: A Cornellia and Michael Bessie Book, 1989): 158.
[7] Penjelasan lanjut, baca I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
[8] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007):203. Gusti Asnan menganalisa, ‘ambruknya’ PRRI terlihat dari dua sebab: kesalahan strategi dan over confident dari Ahmad Husein yang tidak mau menghiraukan kekuatan kontra PRRI. Ibid.: 202-203. PRRI dinilai bukan hanya perang kecil. Menurut Nasution, selama perang saudara ini, khusus daerah operasi Kodam III/17 Agustus (Sumatera Barat/Riau), dari kedua belah pihak menelan korban meninggal sebanyak: 7.146 orang, 1.944 luka-luka dan 321 hilang. Korban terbesar yang diderita PRRI, yakni 6.115 tewas dan 627 hilang. Keterangan selanjutnya lihat Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001): 152.
[9] Lihat Kata Pengantar Audrey Kahin dalam Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jendral Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998): v.
[10] Keterangan lanjut lihat, Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).
[11] Corra menulis bahwa perempuan Minangkabau tampak mempunyai kekuasaan yang besar. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku dalam kepemilikan hak suara di keluarga. Di sini mereka tersisih. Perempuan tetap berada di bawah laki-laki. Dalam urusan keluarga misalnya, pengaruh perempuan lemah.. Mereka hanya sebatas memberikan saran demi ketercapaian mufakat, bukan sebagai partisan.. Cora Vreede-De Stuers, op.cit.: 38.
[12] Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 30 Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
[13] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
[14] Lebih lanjut mengenai pemberontakan Silungkang, lihat Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, (Yogyakarta: Syarikat Indonesia), 2004.
[15] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
[16] Lihat Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta, UGM, 2009.
[17] Rolland Litlewood, op.cit.
[18] Secara struktural, Divisi Diponegoro saat itu dipimpin oleh Ali Moertopo, kepala staf RTP II dan Pranoto Rekso Samodra, yang sekaligus menjabat sebagai Komando Operasi 17 Agustus, menggantikan Kolonel Ahmad Yani. Penggantian ini dilaksanakan di stadion Lapangan Banteng, Padang, pada hari Kamis, 4 Juni 1958. Upacara timbang terima tersebut dihadiri oleh KASAD Letnan Jendral A.H. Nasution. Keterangan lebih lanjut, baca Teks Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi, (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota Bukittinggi, 1958): 20.
[19] Harian Rakjat, 2 September 1958.
[20] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
[21] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
[22] Soewardi Idris, Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, (Yogyakarta: Beranda, 2008): 10.
[23] Seks juga kerap dijadikan alat teror untuk melemahkan lawan. Dengan menguasai perempuan, musuh akan merasa terhina dan kalah. Bagi laki-laki, ini adalah beban tersendiri. Jika mental sudah lemah, musuh dengan sendirinya akan mudah didesak dan dikalahkan.
[24] Kebutuhan seksual mempunyai peranan penting di dalam masyarakat dan meminta banyak perhatian. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang primer, kebutuhan seksuallah yang paling banyak mengalami kekecewaan. Di dalam angkatan perang, terutama kesyahwatan, merupakan persolan yang amat penting. Di kalangan tentara, kebutuhan seksual lebih tinggi daripada masyarakat biasa. Lebih lanjut, baca R. Sutarto, “Soal Kelamin dalam Angkatan Perang”, Benteng Negara, No.7/1957, tahun VIII: 5.
[25] Soewardi Idris, op.cit.: 29.
[26] Ibid.
[27] Wawancara Desmaniar (Des Husen), Jakarta, 2 Agustus 2008, Pk. 19.00-20.30 WIB.
[28] Wawancara Waharti, Jakarta, 3 Agustus 2008, Pk. 13.00-14.00 WIB.
[29] Wawancara Nursyamsi, Solok. 25 Oktober 2008, Pk.13.00 WIB.
[30] Wawancara via telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
[31] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September 2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[32] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September 2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[33] Yulinar lahir di Sumpur Kudus, tahun 1940.
[34] Ganja batu dan ganja kayu merupakan istilah budaya di Minangkabau. Kata ’ganja’ berasal dari bahasa Minangkabau, ‘ganjal’, yang berarti landasan. Sebagai gambaran diumpamakan: Seorang pendaki Anai berjalan dari Padang ke Bukittinggi. Ia membawa barang-barang di atas pedati. Suatu hari karena kerbau kelelahan, dihentikanlah pedati tersebut. Untuk menjaga agar barang-barang tidak tumpah, maka roda pedati tersebut diganjal dengan menggunakan batu atau kayu. Kalau mengggunakan batu, maka akan ditinggal, karena batu mudah dijumpai. Lain halnya jika menggunakan kayu, maka akan terus dibawa, karena sulit dijumpai. Perumpamaan ini kemudian dipakai untuk menyebut perempuan yang hanya dinikahi dalam waktu singkat, kemudian ditinggal begitu saja, atau sebaliknya dinikahi selamanya meskipun si laki-laki beristri lebih dari satu. Istilah ini populer khususnya setelah PRRI. Perempuan-perempuan yang dinikahi pada masa PRRI, baik oleh tentara urang awak (PRRI) maupun APRI, sebagian ditinggal begitu saja. Mereka inilah yang mendapat sebutan ganja batu. Adapun mereka yang dibawa oleh suami, mendapat sebutan ganja kayu. Wawancara melalui telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
[35] Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 1 September 2008, Pk. 13.00 WIB.
[36] Wawancara Maidar Sumpur Kudus, 29 Agustus 2008, Pk. 21.00 WIB.
[37] Sejalan dengan program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) dari UGM, kisah romantika memang tidak pernah terlepas. Bagaimanapun, hampir seluruh mahasiswa yang dikirim ke luar Jawa (96,6%) adalah bujangan. Kisah-kasih terbuka lebar untuk terjalin di sana. Hal ini tidak dapat dipungkiri, banyak di antara para mahasiswa yang menjalin kasih dengan para murid. Lihat Munandir, PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001):116.
[38] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
[39] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Share:

Arsip Blog

Artikel Terbaru