Jumat, 19 Januari 2018

Berguru pada Sangkan Paraning Dumadi: “Resep Jawa” untuk Bangsa yang Berkarakter


Pengantar: Tuhan dalam Sangkan Paraning Dumadi

Kawruhana sejatining urip
Urip ana jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi pencokan benjang
Awja kongsi kaleru
Umpama lunga sesanja
Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih
Mulih mula mulanya
(Tembang Dhandanggula)

Tembang Dhandanggula adalah perlambang ungkapan sangkan paraning dumadi yang sangat dikenal masyarakat Jawa. Ungkapan ini menyemat pesan bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara. Bagai minum seteguk air dan setelah itu sirna. Sebab itulah, mengolah hidup dengan sebaik-baiknya, menjadi jalan bagi manusia yang ingin memenangkan kehidupan. Kuncinya adalah berpegang pada Tuhan dengan mengolah hati agar selamat dalam pertarungan dunia.

Sangkan paraning dumadi
merupakan ‘pusaka kehidupan’ masyarakat Jawa yang disebut sipat kandel—pemberi dasar kekebalan, baik fisik maupun rohani kepada manusia[1]. Di dalamnya memuat empat hal yakni: nilai kehidupan, “sisi dalam” (nafs), tekad (iradat), dan kemauan keras[2]. Pada dasarnya, sangkan paraning dumadi merupakan ilmu olah hati. Dengan demikian, berdekatan dengan tasawuf yang dimaknai sebagai ilmu tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir batin dalam mencapai kebahagiaan yang abadi[3]. Dalam memperjalankan tasawuf, pengabdian kepada Tuhan adalah pondasi yang tak tergantikan[4].

Secara historis, ungkapan sangkan paraning dumadi muncul sebagai bentuk keterhadiran tradisi Islam dalam lingkungan masyarakat Jawa[5]. Ungkapan yang tercermin dari tembang Dhandanggula, menjadi wujud nyata bahwa Islam hadir menjadi jiwa dalam karya sastra Jawa. Termasuk di dalamnya: serat, suluk, babad, dan hikayat[6]. Karya sastra dalam bentuk naskah yang dianggap pusaka, menunjukkan cara masyarakat Jawa di masa lalu dalam mengonseptualisasikan pemikiran dan membangun teknologi sosio-kultural. Karya sastra—dengan demikian, menjadi cara untuk menyelesaikan masalah.

Sangkan paraning dumadi dalam hal ini menjadi produk pemikiran masyarakat Jawa untuk mengatasi persoalan yang ada. Internalisasi sangkan paraning dumadi bagi masyarakat Jawa, terlihat pada kata ‘Gusti’ untuk menyebut nama Tuhan. Gusti berasal dari kata: bagusing ati (hati yang suci). Kesucian hati sudah disinggung Nabi Muhammad dalam pernyataannya, “Di dalam diri manusia terdapat segumpal daging yang jika daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh pemiliknya. Namun apabila rusak, maka rusaklah pemiliknya. Segumpal daging itu adalah hati.”[7] Hati dalam hal ini merujuk pada qalbu—“sisi dalam” (nafs) manusia yang menjadi tonggak pertanggungjawaban atas perbuatan selama hidup. Sebab Tuhan lebih tahu tentang apa yang ada pada “sisi dalam” manusia[8].

Kehidupan nyata pada dasarnya adalah cerminan “sisi dalam” manusia[9]. Di dalamnya, terdapat nilai-nilai kehidupan—yang jika dipahami, dihayati, dan diamalkan, akan melahirkan akhlak dan budi pekerti yang luhur[10]. Oleh sebab itu, “sisi dalam” ini harus dijaga sehingga lahirlah: hati yang suci. Kesucian hati adalah embrio lahirnya: pemikiran, ucapan, dan tindakan hidup yang mulia. Demikian pemahaman pada sangkan paraning dumadi, hanya dapat digapai jika manusia punya hati yang suci.

Kesucian hati dalam pemahaman sangkan paraning dumadi, dapat diraih jika manusia selalu: eling (ingat), waspada, serta gemar hidup prihatin. Tujuannya adalah supaya mampu hidup selaras dengan Tuhan, alam, dan manusia. Pada Tuhan, senantiasa berpegang. Pada alam, menjaga dan melestarikan. Pada sesama selalu menghargai, menghormati, dan memahami. Dari sinilah, manusia akan sampai ke samudra taqwa—saat ia ditempatkan paling mulia di sisi-Nya.

Ketaqwaan menjadi muara yang paling dicari manusia. Ia menjadi simbol keberhasilan dalam mengarungi kehidupan. Tuhan akan memberikan reward dengan mengangkatnya sebagai: kekasih. Pada posisi inilah dalam pandangan masyarakat Jawa, manusia berhasil mereguk makna sangkan paraning dumadi. Ia tahu dari mana berasal dan ke mana tujuan hidupnya. Sebagaimana asal, Tuhan juga merupakan tujuan kembalinya manusia.

Berpegang pada Tuhan merupakan keharusan. Demikian secara nyata dalam hidup berbangsa dan bernegara. Manusia sejatinya selalu butuh Tuhan. Saat lahir, tumbuh, lalu mati—Tuhan selalu mengiringi. Bayangkan jika manusia tak kenal Tuhan. Kehidupan bakal porak poranda. Sebab dimensi: cinta, damai, kasih, dan sayang—bersumber dari zat Tuhan. Ia menjadi pondasi karakter manusia yang beradab. Persoalannya adalah, manusia kerap mengesampingkan Tuhan. Bahkan bagi masyarakat Jawa, makna sangkan paraning dumadi bagai telah mati. Kalau begitu, ke mana bangsa ini hendak di bawa pergi?

Pembahasan

Eling, Waspada, dan Prihatin

Kata ‘eling’ melibatkan dua dimensi: eling pada Tuhan dan manusia. Dimensi ketuhanan memaknai eling pada asal kelahiran manusia (sangkaning dumadi) dan apa yang dilakukan di bumi dalam mencapai kelanggengan kehidupan akhirat (paraning dumadi). Sedangkan pada dimensi kemanusiaan, kata ‘eling’ merujuk makna: berbuat baik pada sesama, tanpa pamrih, dan jangan sombong atau takabur. Adapun kata ‘waspada’, mengarah pada pemahaman: mewaspadai hal-hal yang mencelakakan manusia, baik sifat, sikap, tindakan, maupun ucapan[11]. Sedangkan prihatin mengarahkan manusia untuk gemar hidup sederhana.

Implementasi nilai eling, waspada, dan prihatin, menjadi resep jitu dalam menumbuhkan karakter bangsa. Ketiganya menjadi kunci pembuka pintu rahmat Tuhan. Kondisi Indonesia yang carut-marut belakangan ini, dapat disembuhkan jika manusianya kembali pada kesadaran sebagai makhluk Tuhan. Dalam dimensi ini, manusia diperintahkan untuk menebar kedamaian dan kasih sayang.

Kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan, akan mengetuk pemahaman bahwa segala tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam hidup menjadi sangat dibutuhkan. Aktivitas manusia dalam beragam segi, diharapkan tidak melukai, menyakiti, atau bahkan menghilangkan harapan hidup seseorang.

Dalam kecintaan manusia terhadap Tuhan, hatinya akan hidup sehingga timbul perbuatan yang luhur. Ia hanya akan berpikir dan bertindak jika benar-benar sesuai jalan Tuhan. Sebab Tuhan yang paling tahu makna dari setiap kejadian. Bahkan dalam Al Quran Surat Al Baqarah: 216 tertulis, “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Pesan Al Quran sebenarnya sangat jelas. Manusia harus dekat dengan Tuhan agar gerak hidupnya senantiasa terlindungi. Namun sayang, mereka masih yang ingkar. Atas nama logika, bisikan hati dikebiri. Demi kebebasan, pikiran lebih diangungkan. Manusia pada akhirnya berpikir dan bertindak hanya dengan mengandalkan jasad (raga) semata. Peran ruh—tempat bermuaranya hati tidak disambangi. Akibatnya, manusia kerap menemui kebuntuan, kejenuhan, kejumudan, dan bahkan kerusakan diri.

Bencana Negeri, Bencana Hati

Bencana kian tumbuh di Indonesia. Bukan hanya berwujud alam, tetapi juga politik, sosial-budaya, dan bahkan pendidikan. Kondisi ini patut menjadi renungan. Bencana alam semisal banjir yang setiap tahun hampir melanda seluruh wilayah Indonesia, seharusnya tidak hanya disikapi secara teknologis.

Peran hati dan akal menjadi penting untuk membaca tanda-tanda alam. Apakah bencana hanya disebabkan oleh faktor geologis, atau ada faktor lain semisal teologis. Hal ini berhubungan dengan tindakan manusia yang tidak lagi menggubris perintah Tuhan untuk memuliakan alam. Lihat saja buasnya praktik pembalakan dan pembakaran hutan serta pembuangan sampah di sungai-sungai. Padahal telah tegas Tuhan mengingkatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia.”[12]

Bencana juga terlihat dalam kehidupan politik. Peran pemimpin menjadi kurang efektif karena dilingkari oleh kepentingan elit. Mereka berperang untuk menunjukkan ego masing-masing. Akibatnya, rakyat justru kurang terperhatikan. Bahkan demi kepentingan tertentu, sikap ABS (Asal Bapak Senang) juga menjadi trend di setiap lini lembaga. Maka pada akhirnya menurut Syafii Ma’arif, yang muncul adalah mentalitas jongos. Lebih lanjut kata Ma’arif:
“mentalitas jongos ini tidak jarang diidap juga oleh sementara menteri. Demi menyenangkan bosnya yang kebetulan jadi presiden, menteri ini sering tidak begitu fokus dalam tugasnya karena mentalitas jongosnya mengarahkannya agar pandai-pandai mengambil hati sang bos. Akibatnya, kementerian yang dipimpinnya menjadi telantar karena pemborosan dana yang kemudian menjadi beban bagi penggantinya. Ini berkali-kali terjadi yang menyebabkan negara sering tertatih-tatih menata birokrasinya yang sampai hari ini belum juga sehat dan bersih.”[13]

Mentalitas jongos ini dengan ABS-nya, adalah virus jahat yang menjadi perintang untuk maju. Sebabnya adalah, sering berbicara tidak atas dasar fakta yang benar. Tetapi, seorang bos feodal justru menggandrungi virus semacam ini. Perkara bangsa dan negara tidak terurus dengan baik. Sosok manusia macam ini tidak pernah naik kelas dari posisi politisi menjadi negarawan. Inilah kekurangan Indonesia sejak menjadi bangsa merdeka tahun 1945[14].

Bencana politik juga berakibat konflik. Contoh hangat adalah pilkadal tahun 2017 di Jakarta. Sejak awal, pesta rakyat di wilayah ini sangat dilumuri oleh nuansa politik dan kepentingan elit. Munculnya Basuki Tjahaja Purnama yang biasa disapa Ahok sebagai salah satu calon gubernur, menimbulkan warna tersendiri. Tafsir spontannya terhadap Al Quran Surat Al Maidah ayat 5, menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Persoalan agama, memang sangat riskan. Apalagi, jika sudah menyangkut ayat Tuhan. Pemerintah yang dianggap tidak tegas menangani kasus Ahok, semakin memicu reaksi frontal. Akibatnya, terjadi beragam demo. Tindakan ini sangat menguras energi, materi, dan pikiran.

Persoalan Ahok sebenarnya tidak harus menjadi konflik. Penyelesaian secara damai bisa dilakukan. Syaratnya adalah, jangan ada campur tangan beragam kepentingan. Masing-masing pihak bisa saling membuka hati. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Sebab dimensi ini hanya milik Yang Kuasa.

Begitupun Ahok, perlu berhati-hati dalam bicara. Ia adalah pemimpin masyarakat. Sudah sewajarnya berkata santun dan bijak. Kata-kata bisa menjadi kekuatan, tetapi sebaliknya sangat berpotensi melemahkan. Seperti kata Anies Baswedan,“Kata-kata bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan hubungan.” Sebab itulah dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan, “Ajining diri gumantung ana ing lati.” Harga diri seseorang terletak pada lidahnya.

Bukan itu saja. Sudah sewajarnya, seorang pemimpin memang harus waspada dengan rutin melakukan intropeksi diri. Sikap ini menjadi modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur. Seorang pemimpin harus mengutamakan mulat laku kautamaning bebrayan—hidup berdampingan dengan beragam perbedaan.

Selain politik, bencana juga melanda dunia pendidikan Indonesia. Munculnya kekerasan secara fisik, psikis, maupun seksual, semakin menimbulkan keprihatinan. Sangat ironis, karena kejadian ini bukan hanya muncul di tingkat pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi. Kejadian ini bukan hanya menyebabkan trauma, tetapi juga kematian.

Dalam dua tahun terakhir ini, tindak kekerasan semakin terlihat. Korbannya bukan hanya pelajar, tetapi juga pendidik. Pada 19 Juni 2016 misalnya, siswa SDN di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, tewas setelah dipukuli oleh teman sekelasnya. Ketika itu, guru sedang keluar untuk mengisi tinta spidol[15]. Sementara itu pada 9 November 2016, seorang pelajar SMP di Muba, tega menikam gurunya sebanyak 13 kali[16]. Kejadian naas juga melanda guru di sekolah SMK Negeri 2 Makassar. Pada 11 Agustus 2016, ia dipukuli oleh muridnya sendiri[17]. Lebih menyedihkan, pemukulan itu juga dilakukan oleh ayah si murid.

Pada tingkat pendidikan tinggi, tindak kekerasan juga kerap terjadi. Pada 3 Juni 2016 misalnya, muncul kasus pembunuhan yang menimpa mahasiswa bernama Rezky Evienia Samsul. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar Angkatan 2014. Mahasiswa ini tewas usai mengikuti pengkaderan di kampusnya[18]. Kasus yang sama juga terjadi di Universitas Islam Indonesia pada Januari 2017. Tiga mahasiswa meninggal saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Kejadian ini diduga terjadi karena pemukulan yang dilakukan oleh senior[19].

Kesenjangan sosial-ekonomi juga menjadi gambaran bencana di Indonesia. Salah satu pemicunya adalah sikap mental manusia yang cenderung malas. Mereka enggan bekerja keras, bersaing, atau bahkan berkompetisi dan berprestasi. Manusia Indonesia seharusnya belajar pada nilai-nilai positif budaya lain. Sebagai contoh, jangan semata menyalahkan perantau bermata sipit. Mengapa tidak berguru kepada mereka dengan mengambil sisi-sisi harumnya semisal: disiplin, kerja keras, solidaritas, dan pantang menyerah?[20] Jika prinsip ini dipegang, niscaya manusia Indonesia akan menatap hidup lebih cemerlang.

Beragam bencana yang melanda Indonesia—tidak bisa lepas dari sikap manusia yang tidak lagi mau: ingat (eling) dan waspada. Manusia lupa bahwa alam dicipta bukan sekedar untuk dinikmati dan dikuasai. Ia adalah ‘alat’ dan ‘sahabat’ manusia dalam menjalani hidup (paraning dumadi). Ketiadaannya adalah sebuah keniscayaan. Demikian dalam pergaulan. Manusia kerap bertindak tanpa pikir panjang. Tanpa intropeksi dan mawas diri. Akibatnya, permasalahan hidup datang berganti. Terus, hingga manusia benar-benar mau kembali pada sikap: waspada. Pada hal-hal yang terlihat atau bahkan kasat mata.

Sederhana tapi Bermartabat

Keserdahanaan hidup, lebih mendekatkan manusia pada rasa syukur. Efeknya adalah berkah—sedikit merasa cukup dan banyak terasa lebih bermanfaat. Sikap hidup ini, akan menjembatani manusia untuk selalu berdekatan dengan Tuhan. Sebab kadangkala, bergelimang harta menyebabkan gersang hati. Bermegah-megahan menjadi pemicu kegelisahan. Kondisi ini terjadi ketika manusia mengingkari hasrat hati yang pada dasarnya adalah muara ketenangan. Dalam ketenangan itulah, cahaya Tuhan menerobos relung hati manusia. Dalam tahap ini, manusia akan sangat mudah menerima kebenaran.

Menilik dari kondisi bangsa Indonesia. Sepertinya, sikap hidup sederhana mulai luntur dari diri para pemimpin. Mereka pada umumnya lebih memilih penghormatan dan kemewahan. Bahkan demi mendapatkan keduanya, mereka berani menjual janji dan membeli belas kasih rakyat. Namun dalam perjalanan kepemimpinan, urusan duniawi lebih mendominasi. Sisi ukhrawi hanya muncul sebagai penghias. Segalanya menjadi pernak-pernik strategi politik. Untuk melanggengkan diri, para penguasa negeri bahkan terlena dan jatuh ke lembah korupsi. Penyakit ini menandai sikap mental pemimpin yang takut hidup sederhana. Sebab kemewahan selalu menjadi ukuran segalanya.

Para pemimpin bangsa seharusnya belajar dari para pendahulu. Kepada Haji Agus Salim misalnya. Dalam sikap dan tindakan hidup yang sederhana, ia tetap bermartabat. Seperti kata sahabatnya, Mohammad Roem, Haji Agus Salim tanpa rasa malu menjual minyak tanah dengan cara mengecer. Padahal saat itu, dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Yogyakarta, ia terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya di sana. Hasil penjualan minyak tanah itu, dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan Jakarta–Yogyakarta[21].

Kesederhanaan hidup tidak membawa Agus Salim pada cela. Bahkan ia dikenang sepanjang zaman sebagai the grand old man. Tokoh seperti: Sukarno, Hatta, dan Syahrir sangat hormat padanya. Bukan saja karena Agus Salim adalah penguasa sembilan bahasa secara otodidak. Namun lebih dari itu. Prinsip hidupnya yang sederhana. Ia tak mau sedikitpun memakan sesuatu yang bukan haknya. Apalagi menyangkut milik rakyat. Agus Salim pantang memanfaatkan jabatan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sebab jabatan adalah amanah Tuhan. Bukan ladang mencari kemewahan. Seperti disinggung Schermerhom dalam Het dagboek van Schermerhoon, “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”

Kesederhaan hidup sebagai pemimpin juga dapat direguk dari tokoh: Hoegeng, Mohammad Natsir, Bung Hatta, dan Sri Sultan HB IX. Hoegeng Iman Santosa pernah menjabat sebagai Kapolri, Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Namun demikian, ia tetap dikenal sebagai sosok sederhana. Hoegeng pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Presidium Kabinet. Padahal kala itu, Hoegeng mendapat dua mobil dinas untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya[22].

Demikian halnya Natsir. Ia menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Saat itu, Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto tua yang susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun. Keluarga Natsir juga pernah mengalami kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun, ia harus menumpang hidup di paviliun Prawoto Mangkusaswito. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Natsir juga menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru akhir tahun 1946, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Bukan hanya urusan mobil dan rumah. Natsir juga dikenal hanya punya dua kemeja dan jas bertambal. Para pegawai kementerian penerangan pernah iuran membelikan kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri[23].

Kesederhanaan juga dapat dipetik dari Bung Hatta. Di tahun 1950 kala menjabat perdana menteri RIS, Hatta pernah menolak menjemput sang ibu dengan mobil dinas. Apa kata dia? "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara."[24] Bukan hanya Hatta. Sri Sultan HB IX juga dikenal sederhana. Hal ini terlihat saat ia menonton sepakbola. Seorang wartawan melihat Sultan HB IX memakai kaos kaki berlubang dan longgar. Ia bahkan melekatkan gelang karet untuk mengikat kaos kakinya[25].

Mereka—Agus Salim, Hoegeng, Natsir, Hatta, dan Sri Sultan HB IX adalah contoh teladan pemimpin bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tetap eling, waspada, dan tetap gemar hidup prihatin dengan kepemimpinan yang dipegang. Eling bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadaan Tuhan. Waspada pada gemerlap kekuasaan yang bakal membutakan mata hati dan pikiran. Sebab itulah, mereka memilih laku prihatin demi menjaga martabat diri dan keluarga. Sadar ataupun tidak, mereka adalah punggawa bangsa yang berpegang teguh pada ungkapan sangkan paraning dumadi.
Andaikata para pemimpin bangsa saat ini teguh memegang ungkapan sangkan paraning dumadi—Indonesia akan menjadi bangsa yang terhormat. Miskin korupsi. Punya martabat yang tinggi. Namun dapatkah harapan ini digenggam? Sementara dalam keseharian, kenyataan menyajikan keterpurukan mental pejabat negara.

Dalam satu periode kepemimpinan, selalu menyisakan luka bagi rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme—masih bersarang di jantung bangsa ini. Rasa persatuan makin pudar. Kerjasama lembaga makin terasa hambar. Antar penguasa juga saling menjatuhkan. Pada tingkat pusat, wakil rakyat juga tak berfungsi secara kuat. Bahkan secara organisasi, partai hanya menjalankan kekuasaan semu. Mereka berkuasa bukan berlandaskan ideologi, tetapi kepentingan semata.

Sampai kapan Indonesia akan sembuh dari beragam penyakit mental? Atau sama sekali? Indonesia kelak hanya tinggal nama. Seperti kata Bung Hatta, “Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta[26].”

Penutup

Sangkan paraning dumadi bukan sekedar ungkapan masa lalu yang dikenal masyarakat Jawa. Lebih dari itu, merupakan konsep yang mengandung: nilai kehidupan, “sisi dalam”, iradat, dan kemauan. Sangkan paraning dumadi yang mengajarkan manusia untuk selalu: eling, waspada, dan prihatin—merupakan ‘resep jitu’ dari Jawa untuk ‘menyembuhkan’ Indonesia dari sakit akhlak dan moral. Jika keduanya disembuhkan, bukan mustahil jika Indonesia akan tumbuh menjadi bangsa yang berkarakter.

Sangkan paraning dumadi merupakan bagian dari keunggulan budaya masyarakat Jawa. Buah dari perpaduan antara akal dan hati, dengan melandaskan Tuhan sebagai penyangga kekuatan. Sebab bagi masyarakat Jawa, Sangkan paraning dumadi itu sendiri adalah Tuhan. Dia yang mencipta dan menjadi tempat kembali. Jika Tuhan menjadi pegangan kehidupan—niscaya manusia mampu hidup berdampingan, memberi, berbagi, dan saling mengayomi. (***)


Daftar Pustaka

Al-Maghribi, A.M. (2011). Mengaji Al-Hikam; Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan. Terj. Fauzi Bahreisy. Jakarta: Zaman.

Dojosantosa. (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu.

Isa, A.Q. (2005). Hakekat Tasawuf. Terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis. Jakarta: Qisthi Press.

Maarif, A.S. “Antara Jongos dan Tuan”. Republika. 31 Januari 2017.

Noer, D. (1990). Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.

----------. (2012). Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.

Purwanto, B. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?! Yogyakarta: Ombak.

Retnoningtyas, A. http://www.kompasiana.com/artyas/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan_57667452f49273ad06fbfa41.

Roem, M dkk. (1982). Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia.

Rosidi, A. (1990). M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pusaka.

Shihab, M.Q. (2007). Secercah Cahaya Illahi: Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan.

Suhartono. (2013). Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia.

Sastroatmodjo, S. (2006). Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Kepustakaan Populer Gramedia.

Tim Liputan Khusus Agus Salim. (2013). Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Bekerjasama dengan Tempo. hlm. 56.

https://daerah.sindonews.com/read/1114777/192/mahasiswi-umi-tewas-usai-pengkaderan-calon-dokter.

https://daerah.sindonews.com/read/1130399/192/ayah-dan-anak-pemukul-guru-hingga-berdarah-ditetapkan-tersangka-1470888073.

https://daerah.sindonews.com/read/1154239/190/tikam-guru-13-kali-pelajar-smp-ini-belum-dites-kejiwaan-1478749483.

https://daerah.sindonews.com/read/1158555/22/mahasiswa-uii-tewas-saat-diksar-mapala1480191598.



[1]Suryanto Sastroatmodjo. (2006). Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. hlm. 69.

[2]Lebih lanjut mengenai: nilai kehidupan, “sisi dalam”, tekad, dan kemauan keras, simak penjelasan Quraish Shihab. (2007). Secercah Cahaya Illahi; Hidup Bersama Al-Quran. Bandung: Mizan. hlm. 48-492.

[3]Abdul Qadir Isa. (2005). Hakekat Tasawuf. Terj. Jakarta: Qisthi Press. hlm. 5.

[4]Abu Madyan al-Maghribi. (2011). Mengaji Al-Hikam; Jalan-Kalbu Para Perindu Tuhan. Terj. Fauzi Bahreisy. Jakarta: Zaman. hlm. 241.

[5]Dojosantosa. (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu. hlm. 25.

[6]Bambang Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?!. Yogyakarta: Ombak. hlm. 97-98.

[7]HR. Bukhari dan Muslim.

[8]Keterangan lebih lanjut, dapat dibaca pada Al Quran Surat Al-Isra: 25 dan Surat Al Baqarah: 255.

[9]Shihab, op.cit. hlm. 481.

[10]Ibid. hlm. 486.

[11] Sastroatmodjo.op.cit. hlm.79.

[12]Keterangan lebih lanjut dapat dibaca pada Al Quran Surat Ar-Rum: 42.

[13]Lihat Ahmad Syafii Maarif. “Antara Jongos dan Tuan”. Republika. 31 January 2017.

[14] Ibid.

[15]Atika Retnoningtyas. http://www.kompasiana.com/artyas/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan_57667452f49273ad06fbfa41. Diakses pada 28 Februari 2017.

[16]https://daerah.sindonews.com/read/1154239/190/tikam-guru-13-kali-pelajar-smp-ini-belum-dites-kejiwaan-1478749483. Diakses pada 28 Februari 2017.

[17]https://daerah.sindonews.com/read/1130399/192/ayah-dan-anak-pemukul-guru-hingga-berdarah-ditetapkan-tersangka-1470888073. Diakses pada 28 Februari 2017.

[18]https://daerah.sindonews.com/read/1114777/192/mahasiswi-umi-tewas-usai-pengkaderan-calon-dokter. Diakses pada 27 Februari 2017.

[19]https://daerah.sindonews.com/read/1158555/22/mahasiswa-uii-tewas-saat-diksar-mapala1480191598. Diakses pada 28 Februari 2017.

[20]Ma’arif, op.cit.

[21]Tim Liputan Khusus Agus Salim. (2013). Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Bekerjasama dengan Tempo. hlm. 56.

[22]Suhartono. (2013). Hoegeng; Polisi dan Menteri Teladan. Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia. hlm. 65.

[23]Ajip Rosidi. (1990). M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pusaka. hlm. 45.

[24]Deliar Noer. (2012). Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas. hlm. 56.

[25]Mohamad Roem, dkk. (1982). Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia. hlm. 75.

[26]Deliar Noer. (1990). Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.hlm. 55.
Share:

1 komentar:

Arsip Blog

Artikel Terbaru