Selasa, 26 September 2017

INONG BALEE


Cerpen Lomba Seni dan Sastra UGM ke-4 Tahun 2017

©Reni Nuryanti


Kau pikir, tiga kali menikah adalah sebuah kemenangan? Seperti kata mereka, baik di dunia maya maupun nyata. Sungguh, aku tak mau berkhianat pada dua lelakiku yang mati tanpa kepala. Aku sudah puas bercinta dengan nisan mereka. Tahukah kau, sesungguhnya aku tetap terluka, meski mereka sebut aku: Inong Balee.

“Kau jangan hiraukan mereka. Caci-maki bahkan fitnah, hanya menjadi iblis yang mengorak-arik pikiranmu. Kau harus menyingkirkannya, Keumalahayati!”

“Aku bukan Keumalahayati. Bukan! Jangan sebut nama itu lagi. Perempuan itu terlalu istimewa. Kau tahu, Zahra?” tanya Mariana sambil menyatukan bibirnya pada ujung telinga Zahra. Setengah berbisik dia bilang, “Keumalahayati hanya menikah sekali seumur hidupnya. Hingga tua tetap menjanda. Dialah sejatinya Inong Balee. Seluruh cintanya terkubur bersama jasad lelakinya. Sedangkan aku? Kau tahu, kini aku akan menikah yang ke berapa kali? Tiga!” tegas Mariana sambil mengacungkan tiga jarinya.

Sejenak Zahra menatap tiga jari Mariana. Jari yang pernah berlumur darah. Jari yang pernah meremas-remas dua leher tanpa kepala. Jari yang kerap mengorak-arik isi bumi, mencari di mana kepala dua lelakinya.

“Turunkan, jarimu!” suruh Zahra.

“Kenapa? Kau jijik?” tanya Mariana.

“Aku justru mengagumi jarimu.”

“Karena pernah bersekutu untuk memainkan rencong? Juga bersaksi untuk menggorok makhluk yang menghilangkan kepala dua lelakiku?”

“Kau memainkannya dengan sangat apik. Sebab itulah, kusebut kau Keumalahayati. Meski kau tak hidup di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil, tapi Tengku Abdullah Syafei. Kau bukan keturunan Laksamana Mahmud Syah tapi seorang lelaki sederhana bernama Abdul Hamid. Kau tidak pernah tersentuh pendidikan Asykar Baital Makdis, tapi dayah[1] tua di Gampong[2] Lamreh. Kau tidak bertempur di Teluk Haru. Kau tidak melawan Portugis. Tapi kau berhadapan dengan bangsamu sendiri. Ini lebih sulit dibanding saat Keumalahayati menghujamkan belatinya ke dada Cornelis de Houtman. Tapi kau patut bangga. Dua lelakimu mati sebagai syahid. Jadi kau, janda yang patut mengenakan songkok Keumalahayati. Dan...”

“Apa?”

“Kau pemain rencong tanpa tanding. Aku masih teringat saat kau begitu beringas menelusuk belantara. Dan kau bergerak lincah di antara bebatuan. Lalu kau merayap cepat menaiki Bukit Ujung Batee Puteh. Dan di atas ketinggian, kau berteriak lantang, “Tanah rencong terlahir hanya untuk para pemberani. Bukan pecundang!” Saat itu, aku melihatmu sebagai Keumalahayati.”

“Cukup! Jangan sebut nama itu lagi!” tegas Mariana sambil menatap Zahra.

“Kau jangan picik, Mariana! Hanya karena kalkulasi pernikahan, kau ingin melumat nama perempuan agung itu?”

“Aku bukan picik, tapi sadar diri. Dia beda dengan aku.”

“Kau lupa dengan geliat sejarah? Bukankah setiap zaman, akan memunculkan tokohnya masing-masing. Lakonnya sendiri-sendiri. Dau kau, tokoh saat Aceh bergolak untuk menggapai damai.”

“Kau seolah menganggap hidup ini sebagai film?”

“Ha...ha...ha...” gelak Zahra.

“Kenapa kau tertawa?”

“Sebab kali ini, kau tidak salah bicara.”

“Jadi, kau anggap hidup ini hanya film?”

“Ya. Film di dunia nyata. Film yang luar biasa. Manusia tidak mampu menjadi sutradara. Tuhan penguasa cerita. Dan kau, aku, adalah tokoh yang kebetulan mendapat peran ironis. Dua lelakimu mati tanpa kepala. Kau pernah merasa ini hanya drama. Tapi hingga kini, kau hanya bisa bercinta dengan nisan mereka. Berkali-kali kau tabur soka, mawar, melati, dan kenanga. Kau bahkan melumuri dengan sari kasturi. Tapi setiap kali bercumbu, kau selalu bilang amis. Dan itu merajam kesadaranmu.”

“Cukup, Zahra! Jangan teruskan!” desak Mariana.

“Kau masih beruntung. Kau bisa menikah lagi. Sedangkan aku?”

“Cukup! Kau tidak dengar apa yang kubilang?” bentak Mariana sambil mengguncang bahu Zahra.

***

Zahra mengalah. Meski matanya tiba-tiba basah. Berkali-kali, ia menggosokkan tangannya di kedua mata hingga ujung dahi. Sementara Mariana, sejenak memaku memandangi latar rumahnya. Matanya menelisik serumpun rumbia yang tumbuh disudut jalan.

Mariana kemudian ke dapur untuk mengambil sepiring timphan[3]. Tak lama kemudian, ia kembali duduk di samping Zahra. Mariana menggamit satu timphan dan membuka kulitnya pelan-pelan. Kulit yang terbuat dari daun pisang muda itu, tampak menghijau berkilat minyak. Sangat tipis, sehingga harus hati-hati saat membuka.

“Jangan pikirkan pernikahanku. Ini hanya film,” kata Mariana sambil mengunyah timphan, “Yang nyata adalah ini,” lanjutnya seraya menyodorkan makanan itu kepada Zahra.

Zahra memaku. Ia sama sekali tak ingin melihat timphan.

“Makanlah, Zahra. Timphan yang membuat kita betah berlama-lama di Benteng Inong Balee. Bukankah kau paling suka membuatnya? Aku masih ingat saat kau begitu bersemangat meremas santan dan mengaduk ketan bercampur pisang raja. Lalu, kau mencicip srikaya serta parutan kelapa, dan memasukannya dalam adonan. Sejam kemudian, kau hidangkan timphan hangat untukku dan perempuan-perempuan malang itu. Sejak itulah, kau dikenal sebagai ratu timphan?” lanjut Mariana sambil bercanda.

“Aku tidak butuh timphan. Aku hanya ingin pengakuan. Mariana, adakah pernikahan yang menisbikan hubungan badan? Adakah lelaki yang tak peduli dengan seks? Adakah lelaki yang tahan untuk tidak memuntahkan air suci di gua garba? Adakah lelaki yang mau hidup dengan aku yang tak mungkin memberikan sejatinya pelayanan seks? Adakah lelaki yang menerima kekuranganku? Bukankah kelak, kesabaran mereka bakal dihadiahi bidadari yang senantiasa perawan? Mereka molek jelita dan setiap saat bisa membawa ke nirwana? Apakah alasanku layak dipertimbangkan Tuhan, Mariana?” tanya Zahra beruntun, yang seketika membuat Mariana tiba-tiba memuntahkan timphan dari mulutnya.

Mariana sejenak memejamkan mata. Ia seolah bertamasya ke masa lalu yang justru membuat darahnya tiba-tiba bergolak. Mariana menggigit bibir. Ia menarik napas panjang sambil memegangi dadanya yang terasa dihantam senjata laras panjang.

“Dadaku sakit, Zahra,” kata Mariana sambil menyandarkan kepala.

“Kau butuh obat?” tanya Zahra dengan nada datar.

Zahra paham dengan perasaan Mariana. Perempuan bermata biru mungkin sedang membayangkan dua lelakinya yang mati tanpa kepala. Atau bisa jadi, tiba-tiba teringat diasporan[4] yang akan segera menikahinya.

“Aku butuh nisan,” jawab Mariana sambil tersenyum datar.

“Kau yakin tak butuh diasporan itu?”

Mariana tersenyum tipis. Ia kembali memegangi dadanya.

“Kau masih ragu padanya?” desak Zahra, “Bukankah banyak orang bilang kalau dia pejuang? Bukankah dia juga dikenal sebagai penggagas perdamaian Aceh? Bahkan dia juga turut serta dalam perundingan Helsinki. Apalagi yang kau ragu? Bukankah ketampanannya juga sepadan dengan dua lelakimu? Atau...”

“Apa?” tanya Mariana tiba-tiba.

“Kau selamanya akan menjadi pengantin batu? Atau kau telah tabu bersentuhan dengan sekerat daging yang nikmatnya melebihi kopi Arabica?”

Mariana terdiam. Tiba-tiba ia berdiri dan berteriak sambil mengacak-acak rambutnya. Ia kemudian berlari menghampiri sebuah lemari dan membuka paksa isinya. Mariana kemudian mengeluarkan senjata laras panjang. Ia memegang erat. Memandangi pangkal hingga ujung. Seolah tak puas, Mariana kemudian melemparkannya. Ia kemudian membuka sebuah kotak kayu di bawah lemari. Kali ini di tangannya tergenggam belati. Mariana kemudian mengelus-elus dan mengacungkannya. Saat itulah, tiba-tiba Zahra berteriak histeris.

“Buang Mariana! Buang! Aku benci belati. Pecundang-pecundang itu telah melenyapkan mahkotaku dengan senjata busuk itu. Kau tahu, belati itu yang membuat aku tak akan bisa menikah. Kau paham kan, aku perawan tanpa mahkota?”

Mariana terdiam. Matanya masih terlihat merah. Ia seperti menyimpan dendam yang tak kunjung padam.

***

“Zahra, kau sungguh-sungguh tak ingin datang ke Benteng Inong Balee?”

“Tidak. Tak akan pernah.”

“Meski kau bakal berkalung gelar?”

“Persetan dengan gelar. Aku berjuang bukan untuk penghormatan.”

“Tapi kata orang, kau sudah berkorban segalanya.”

“Bahkan hingga mahkotaku juga ikut melayang. Iya, bukan?”

“Aku tidak ingin membahas itu. Kau kehilangan mahkota. Aku kehilangan dua lelakiku. Apa bedanya? Kau pikir, kehadiran diasporan itu mampu membuatku melupakan percintaan dengan nisan? Tidak akan pernah, Zahra.”

“Tapi sebentar lagi, dia akan menikahimu.”

“Dan sebentar lagi, aku akan menemukan dua kepala lelakiku. Bagaimana menurutmu?”

Zahra tak menjawab. Ia hanya memandang Mariana yang pagi itu berdandan lebih cantik dari biasanya. Mariana tampak menyisir rambut panjangnya. Ia kemudian menggelung dan meletakkan songkok di atasnya. Mariana kemudian mengenakan kerudung berwarna keemasan. Wajahnya terlihat berbinar, terlebih dengan bedak di pipi dan gincu merah saga. Tubuh langsingnya tampak semampai terbalut baju lengan panjang berwarna hitam dan celana panjang senada. Demikian, dengan sabuk berwarna keemasan yang melekat indah di pinggangnya. Kakinya juga terlihat lebih jenjang dengan sepatu hitam berukuran sedang.

“Kau seperti hendak perang?” tanya Zahra, “Bukankah Serambi Mekah telah lengang dari suara senapan. Bukahkah tanah rencong telah wangi dari anyir darah. Kini segalanya telah reda. Tak akan ada lagi perempuan memegang rencong, pistol, atau bahkan belati. Mereka akan menerima pinangan, berpesta dalam pernikahan, dan bergembira menimang bayi. Dan kau berhak untuk itu, Mariana,” lanjutnya sambil terus menatap wajah Mariana.

“Hanya ada pesta bersama dua lelakiku,” jawab Mariana seraya memasuki kamar. Sekejap ia ke luar sambil menenteng rencong. “Aku pergi dulu, Zahra. Demi Keumalahayati, kau harus datang ke Benteng Inong Balee pagi ini,” lanjut Mariana seraya meninggalkan Zahra.

***

Seperti digiring rasa penaran yang tiba-tiba menusuk pikiran, Zahra segera menyusul Mariana. Kakinya terus melangkah ke Benteng Inong Balee. Meski hatinya ragu. Akankah ia sanggup menatap benteng di Ujung Timur Teluk Krueng Raya itu. Di sana, saat bumi Aceh diguncang operasi militer, ia bersama para janda dan perempuan muda, kerap bersekutu dengan senjata. Mereka laksana hidup di zaman Keumalahayati. Bertahan di dalam benteng, demi berperan menjaga keamanan.

Zahra kerap mereguk damai bersama Mariana. Mereka duduk di puncak bukit. Alam terasa ramah, berdentang dengan ciutan burung perkutut dan burung hutan. Mata mereka tak bosan memandang tebing putih serta pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Begitupun pesona pantai Kreung Raya, sejenak membuat Mariana lupa pada dua lelakinya.

Keindahan itu seolah sirna dari kepala Zahra. Ia justru merasa tulang tubuhnya lumpuh seketika.

Tangan Zahra mengepal. Bibirnya gemetar. Matanya mendadak nanar. Ia kemudian menggamit rencong dan menggenggam erat. Zahra menatap senjata itu dari pangkal hingga ujung. Dipandangnya lekat lafaz La illaha illa Allah yang melekat di dua sisi rencong. Tiba-tiba, Zahra terisak sambil memegang selangkangan.

“Tuhan, aku perempuan tanpa mahkota.”

Zahra seperti diseret ke masa lalu. Kala di senja hari, lima orang lelaki berbadan kekar dan bertutup kepala hitam, menyeretnya ke bibir pantai. Tanpa ampun, tubuh Zahra di lempar ke bawah pohon. Zahra paham. Mereka pasti ingin memperkosanya. Tiba-tiba sebuah pilihan melintas di kepala.

“Bunuh saja aku!” teriak Zahra.

Lima lelaki itu tetap menyerbu tubuh Zahra. Tak ada suara, selain hati yang menyeru dengan seribu doa. Zahra tenggelam dalam mimpi tanpa ujung. Senja menjadi saksi. Saat sebuah belati dengan cepat mengiris dan membuang mahkota. Perhiasan itu, hanyut bersama air laut.

Zahra tersentak dari lamunannya. Tiba-tiba ia teringat satu nama: Mariana.

***

Zahra bergegas mendekati kerumunan perempuan di tengah Benteng Inong Balee. Canda dan tawa meriuhkan suasana. Mereka seperti berada di perjamuan rindu. Saling peluk, cium, bahkan tak sedikit yang saling usap air mata.

Tak jauh dari kerumunan perempuan, sekelompok lelaki berpakaian rapi tampak bercakap-cakap. Salah satu di antara mereka terlihat tersenyum bahagia. Zahra tak asing dengan lelaki berperawakan tinggi dan berkulit putih itu.

“Diasporan,” kata Zahra, “Tapi di mana Mariana?” lanjutnya.

Zahra berbalik arah. Ia kemudian pergi ke makam Keumalahayati. Biasanya, Mariana duduk bersimpuh sambil memeluk nisan.

Kali ini sepi. Zahra menatap sekitar. Matanya tiba-tiba terbelalak melihat seorang perempuan berdiri di puncak bukit.

“Tak salah lagi. Itu Mariana,” kata Zahra sambil berlari ke arah bukit.

Zahra berteriak. Mariana tak bergeming. Ia tetap berdiri menatap laut yang tenang. Di tangannya masih tergenggam rencong. Mariana kemudian hanya menoleh sambil berkata pelan.

“Zahra, aku sudah menemukan dua kepala lelakiku. Aku pastikan, akan ada pesta besar pagi ini. Pesta di dunia maya dan nyata.”

Tak sempat Zahra menimpali, Mariana dengan cepat menjatuhkan dirinya ke dasar laut.

“Mariana, apakah ini bukti bahwa diam itu lebih terhormat daripada bergelimang kata, tapi justru menjadi petaka,” bisik hati Zahra sambil menatap laut yang tiba-tiba bergelombang.


Aceh, 16 September 2017


[1] Pesantren

[2] Kampung

[3] Salah satu makanan tradisional Aceh.

[4] Orang Aceh yang tinggal di luar negeri dan masih mempertahankan adat serta kebudayaan Aceh.
Share:

6 komentar:

  1. Juosss meski saya gak terlalu paham dgn sejarah.....

    BalasHapus
  2. Masih belajar, Bang Hary. Terima kasih ya, udah baca cerpenku.

    BalasHapus
  3. Keren...sangat menghibur, mendidik dan menginspirasi

    BalasHapus
  4. Subhanallah...
    Semoga saya dan anak juga bisa meng_inspirasi seperti kk ya...

    BalasHapus

Arsip Blog

Artikel Terbaru