Rabu, 31 Mei 2017

Melawan dengan Pasrah: Nyai dalam Lintasan Sejarah Masa Kolonial

Pengantar; Mengapa Perempuan dan Seksualitas?

Tahun 1991, Julia I Suryakusuma menyuguhkan tulisan menarik mengenai seksualitas. Di Indonesia, kajian mengenai seksualitas sebagai bidang studi ilmu sosial, masih belum lahir. Demikian juga di Barat, relatif masih baru.[1] Julia menyinggung bahwa seksualitas adalah persoalan sensitif yang sering hadir dalam gejolak sebuah peristiwa. Ia sangat ekspresif, agresif, dan kerap menundang ketegangan serta rasa ingin tahu.

Seksualitas adalah bagian dari kehidupan yang tidak hanya ’hidup’ tetapi membumi. Dalam beragam pandangan, ia dikaji, ditempatkan, dan diposisikan dengan bahasa ’nakal’ yang kerap membuat geli. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang makin pesat, kajian seksualitas bukan lagi menjadi hal baru, termasuk dalam lini yang paling privat.

Seksualitas yang digambarkan baik secara esensial maupun non esensial, menjadi kajian yang menarik. Faruk HT misalnya menuliskan bahwa secara sadar maupun tak sadar, kita telah dicekoki dengan konsep tertentu mengenai seks[2].

Seksualitas juga menjadi jalan radikal bagi kaum perempuan untuk menunjukan identitas diri dalam menggugat budaya patriarki yang menegasikan seks pada perempuan. Sejumlah karya sastra bertema seksualitas yang dihasilkan perempuan, menurut Faruk HT, merupakan keberhasilan dalam menundukan wacana bahwa seks hanya milik kaum laki-laki.[3]

Fenomena monumental Larung dan Saman digarap Ayu Utami, kemudian diikuti ‘muridnya’—antara lain: Djenar Maesa Ayu dan Herlina Tiens[4]. Dengan jalan radikal, mereka sampai pada tahap gugatan terhadap makna sebuah ‘kesucian’. Seks kemudian tampil sebagai medium paling ‘apik’ untuk menggugat laki-laki.

Jalan yang mereka tempuh secara sadar diamini oleh sebagian laki-laki. Faruk HT misalnya menulis, “Karena dalam konteks Indonesia kecenderungan untuk menempatkan wanita sebagai makhluk yang sakral, religius, dan alat reproduksi demikian kuatnya, shock terapy yang berupa penghancuran mitos wanita perlu dilakukan. Dan Ayu Utami dan beberapa penulis sastra lainnya sudah mengambil jalan yang tepat”.[5]

Secara historis, untuk bisa bicara seks secara ’blak-blakan’, mengalami kurun yang panjang. Pada mulanya, dalam kategori lisan dan tulisan, seksualitas hampir tidak pernah dimunculkan. Kecuali dalam tradisi seni, simbol seksualitas hampir selalu menghiasi keindahan relief candi atau bahkan digambarkan dalam bentuk lingga-yoni—lambang kesuburan laki-laki dan perempuan. Itulah realitas zaman tradisional yang menempatkan seks sebagai ritual yang mistis sekaligus romantis[6].

Menginjak masa Islam, penggambaran seks mulai ditutup dengan bingkai normatif trasendensi, melalui tuturan bahasa Al Quran atau hadits nabi. Sama halnya zaman Hindu-Budha, Islampun menempatkan seksualitas sebagai wacana yang sakral. Islam menyandarkannya dalam budi yang berujung pada: ibadah. Ini artinya, seks yang ditempatkan pada posisi yang benar, maka akan bernilai ibadah.

Secara psikologis dari sisi perkembangan manusia, seks bukan hal yang aneh, karena memang harus dilewati sebagai jembatan menuju pewarisan generasi. Menurut Ali Akbar, laki-laki ditempatkan pada pemilik seksual agresif, sementara perempuan bersifat pasif atraktif[7].

Perjalanan sejarah membawa perubahan pada wajah kehidupan masyarakat perbumi. Sejak kedatangan bangsa Barat yang kemudian memunculkan VOC sebagai persekutuan dagang, realitas sosial dihadapkan pada sifat kemodernan yang membawa banyak konsekuensi.

Demikian pula saat Pemerintah Belanda menguasai, wajah masyarakat ’dibedaki’ dengan ’pupur’ budaya Barat. Salah satu dampak yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai identitas dan seksualitas perempuan—makhluk yang sering ditempatkan atau dinegasikan sebagai ”yang lain” atau the second sex. Lebih khusus, akan dijelaskan mengenai keberadaan Nyai[8] yang selalu digambarkan dalam tabir hitam putih kisah romantis masa kolonial.

Nyai dan Romantisme Seksualitas

Bahwa setiap perjalanan sejarah tidak bisa lepas dari perempuan, adalah benar. Sejarah kedatangan bangsa Barat dalam misi penaklukan dan pendudukan wilayah koloni misalnya, juga dibayangi oleh satu ‘kekuatan’ bernama perempuan. Perjalanan panjang sarat tantangan yang terkadang melemahkan psikologis, hanya dapat direduksi dengan seksualitas. Semua itu tersedia lewat perempuan. Sebuah pergulatan antara seks, perempuan, dan kekuasaan pada abad 18 misalnya, digambarkan dengan begitu mendebarkan oleh Mayon Sutrisno dalam novelnya, Banda Neira.

Selain penaklukan dan pendudukan, awal perjalanan VOC meninggalkan titik sejarah bernama seksualitas dan perempuan. Pelayaran selama hampir setahun, mewajibkan laki-laki untuk tidak mengikutsertakan keluarga. Dalam posisinya sebagai tentara militer, mereka juga diwajibkan membujang dan menjauhkan diri seks.

Tindakan homoseksualitas misalnya, mendapat sanksi berupa hukuman mati. J.P. Coen yang saat itu bertindak sebagai Gubenur VOC, sangat keras terhadap persoalan yang satu ini. Secara tegas dikatakan, ”Tidak ada seks dalam pelayaran. Homoseksualitas adalah kematian.”

Menginjak kepemimpinan J.Speck, keadaan berubah. Realitas seks dipahami sebagai kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak dapat dicegah. Penahanan terhadap seks hanya akan meninggalkan gejala kejiwaan (neurosis). Kondisi ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kinerja para tentara.

Sebenarnya pada masa J.P Coen, upaya pengiriman dan pembelian budak dari Vietnam, Filipina, dan India, pun pengiriman perempuan dari Eropa telah dilakukan. Akan tetapi, iklim Hindia Belanda membawa dampak buruk, sehingga banyak yang meninggal. Kondisi ini disikapi dengan cara yang lebih lunak oleh Speck, dengan membiarkan para tentara bergaul dengan perempuan pribumi.Terbentuklah kemudian pranata Nyai[9]. Mereka umumnya berusia muda, cantik, berkulit putih, dan menarik.

Perempuan pribumi dengan segala kemolekannya, menjadi daya eksotik kedua, setelah kekayaan alam yang terbentang. Kepasrahan mereka dalam ’menyediakan’ diri sebagai nyai, menumbuhkan agresifitas libido laki-laki Eropa. Di sisi lain menurut Ong Hok Ham, kedudukan para Nyai ini tidak lebih dari para budak yang tanpa mendapat bayaran.[10]

Fenomena Nyai makin marak pasca diberlakukannya politik liberal pada tahun 1870 yang membuka peluang bagi pengusaha swasta, termasuk kaum borjuis dari Belanda, untuk datang ke Hindia. Pembukaan perkebunan seperti di Deli (Sumatera Timur) yang membawa konsekuensi kedatangan pekerja orang-orang Eropa misalnya, membuat pesatnya praktik pernyaian.[11] Dengan kekayaan yang dimiliki, mereka dapat menyewa pembantu perempuan hingga 12 orang. Mereka tidak hanya melayani kebutuhan makan-minum, tetapi juga seksualitas.

Posisi Nyai memang dilematis. Sejumlah cap buruk disematkan padanya. Sejarah seolah menghukumnya dalam kubangan dosa zaman—sama sekali tak memunculkan nilai kemanusiaan. Ini dikarenakan paradigma seks selalu diarahkan pada tataran biologis, sebagaimana diberikan oleh pandangan esensialis[12].

Pandangan non esensialis akan berkata lain. Seks bukan semata-mata dilihat dari ikatan biologis. Seksualitas dipengaruhi oleh pembentukan proses sosial-budaya yang melampaui apsek-aspek pembentukan lain dari perilaku manusia.[13] Michael Faucault misalnya, menempatkan seksualitas sebagai wacana yang muncul atas kekuatan kuasa dan pengetahuan.

Dari sudut non esensialis, aktivitas Nyai bisa jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi—pesimisme pada nasib yang tidak menguntungkan. Ini artinya, menjadi Nyai adalah sebuah pilihan. Keberadaan Nyai yang secara psikologis mampu melumpuhkan penyakit neurosis laki-laki Eropa, menjadi kekuatan yang tidak ter-sejarah-kan. Demikian sebaliknya, kelemahan laki-laki adalah ketundukannya pada daya seksualitas Nyai.

Dengan demikian, seksualitas bukan hanya milik kaum laki-laki, tetapi juga perempuan. Di sinilah letak nilai diri dari seorang perempuan. Mereka tidak pasrah, tetapi melawan dengan cara memberikan pelayanan. Perlawanan yang halus, tetapi tidak jarang, mematikan jiwa laki-laki.

Identitas Nyai di Balik Seksualitas

Mengapa identitas menjadi penting dalam pembahasan seksualitas? Seksualitas berkaitan dengan tubuh yang dalam posisi otonom merupakan bagian dari ke-diri-an seseorang—perempuan. Sementara itu, pembahasan mengenai identitas, tidak dapat dilepaskan dari karakter budaya: pertama, karena budaya merupakan kumpulan tubuh yang secara kolektif menempatkan prinsip sebagai pandangan hidup; kedua, pemaknaan seksualitas selalu terikat dengan kultur masyarakat pada zamannya.

Hingga pertengahan abad 20, kehidupan masyarakat di Hindia Belanda baik secara ekonomi, politik, maupun ideologi, masih distir secara kuat oleh Pemerintah Belanda. Secara kultural, hal ini mengimbas pada pola dan cara hidup mereka.

Demikian halnya dengan perempuan pribumi. Kehidupan menjadi gundik atau Nyai, masih marak. Dalam posisi tersebut, mereka juga terikat oleh peraturan yang secara manusiawi, tidak menguntungkan. Kapan saja si tuan berkehendak, dengan mudah ia dapat terusir dari rumah. Dan sebaliknya ketika ia punya anak, tidak ada hak kepemilikan baginya. Anak adalah milik tuan yang kemudian di baptis menjadi kristen.

Posisi Nyai hanya sebatas pada playanan tubuh yang termanisfestasi dalam seksualitas. Kedudukannya sebagai perempuan, diwacanakan dengan begitu rendah, meskipun begitu berarti bagi orang-orang Eropa. Ong Hok Ham misalnya menuliskan bahwa Nyai adalah simbol romantisme kisah cinta yang memenangkan kekuasaan kolonial.[14] Tanpa Nyai, para tuan hanya akan menggelepar dalam penderitaan seks.

Bagi para sastrawan yang muncul pada saat itu, baik dari kalangan Belanda maupun Tionghoa, fenomena Nyai adalah ’lahan subur’ untuk menggarap karya-karya bermutu yang sekaligus menjadi kritik sosial atas sikap para tuan yang dinilai merendahkan perempuan. Sebagian besar karya sastra yang muncul dalam bentuk novel, mulai mengangkat citra Nyai yang disimbolkan dalam bentuk perlawanan diri atau sebaliknya kekalahan.

Karya sastra yang sangat terkenal karya G. Francis, Nyai Dasima, misalnya mengisahkan seorang Nyai yang akhirnya kalah oleh situasi dan meninggal dalam kebimbangan. Wieranata dalam tulisannya mengungkap:

Pada Nyai Dasima status perempuan sangat memperlihatkan kerendahan martabat. Pria Barat yang diwakili Edward W. menempatkan tokoh perempuan (Dasima) sebagai Nyai, perempuan piaraan yang dipergunakan sebagai sarana memuaskan kebutuhan biologis, dengan cara memberinya ‘segala rupa barang-barang’ atau uang. Sehingga kesan perempuan disejajarkan dengan budak, tidak dapat dihindarkan.[15]

Lain halnya dengan Tjerita Nji Paina yang ditulis oleh H. Kommer. Ia berhasil menumbangkan hegemoni lelaki kolonial dengan memperaruhkan nyawanya. Ia mengakhiri kekejaman serta pikiran bercabang-cabang dari seorang Eropa yang gila kuasa, sambil merugikan dirinya sendiri. Akan tetapi, pada akhirnya ia menang[16]. Dua cerita tersebu hanya contoh. Puluhan cerita dengan nuansa yang sama, berlatar belakang Nyai, hadir menghiasi karya sastra di abad 20[17].

Rupanya, pengarang pribumi juga tak mau ketinggalan. Pramoedya Ananta Toer adalah satu yang berhasil mengungkap kisah perlawanan Nyai dalam novel monumental bertajuk Nyai Ontosoroh. Pram yang secara pribadi mengaku menghormati perempuan, mencoba menghadirkan Nyai dalam relasi perlawanan dengan situasi zamannya. Sayang, Nyai Ontosoroh banyak dikritik karena terkesan terlalu ’laki-laki’. Secara tidak sadar, upaya Pram untuk menghadirkan otonomi Nyai, justru menenggelamkannya dalam jiwa laki-laki. Sebagai gambaran, simak kutipan Nyai Ontosoroh berikut:

“Hidup sebagai Nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaiknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap segala kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah badan bisa diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan yang syah. Aku telah bersumpah dalam hati: takan melihat orang tua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa itu. Mereka telah bikin aku jadi Nyai begini. Maka kau harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya Ann, aku telah memendam orang tua sendiri. Akan kubuktikan kepada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.[18]

Pram mencoba menghadirkan Nyai dalam wacana sosial yang radikal. Seksualitas bukan digambarkan dalam relasi tubuh, tetapi dalam kuasa perempuan yang menghadirkan perlawanan. Terlepas dari sudut pandang ‘kelaki-lakian’ yang digunakan, dalam posisi ini identitas perempuan muncul dalam karakter yang kuat. Seks bukan lagi dilihat dari tataran: penaklukan, mistisme, atau solidaritas, tetapi menjadi identitas kelaki-lakian dan keperempuanan.

Penutup

Persoalan seks sebagai bagian dari kajian ilmu sosial, tetap menarik untuk ditulis. Dalam perspektif sejarah misalnya, persoalan seks tidak hanya digiring pada diskursus: kekuasaan dan kekuatan laki-laki, tetapi lebih diarahkan dalam upaya membangun perspektif yang androgyni. Seksualitas adalah daya kekuatan yang menjadi milik laki-laki dan perempuan.

Sejarah seharusnya mulai digeser dalam perspektif yang lebih utuh, termasuk saat menempatkan perempuan. Kontruksi yang digunakan bukan lagi selalu berkiblat kepada laki-laki. Perempuan juga punya hak untuk mengkontruksikan diri secara otonom, agar dapat larut dalam sejarah. Dengan begitu, perempuan akan mempunyai identitas yang jelas. Dalam hal ini, seksualitas adalah alat untuk menggiring dan menemukan identitas.

Di sisi lain, seksualitas seharusnya ditempatkan pada posisi yang manusiawi, sehingga memunculkan nilai penghormatan laki-laki dan perempuan. Seks adalah citra sebuah hubungan yang tidak hanya badaniah, tetapi juga sosial. Karenanya pemahaman akan kesucian dan kesakralan, seharusnya tetap dipertahankan, kendati wacana berjubel mencoba menendang kaidah seks yang normatif. Bagaimanapun, agama bukan hanya merupakan ilusi infantil yang menjadi tempat manusia lemah.Tetapi sebaliknya—sandaran manusia dengan setumpuk pemahaman pada makna mati dan hidupnya seks.

Daftar Pustaka

Akbar, A. ”Studi Sejarah Perempuan Islam; Bagaimana Kita Terlibat dalam Kekacauan Ini”, Jurnal Perempuan, Edisi 3 Mei/Juni 1997.

Akbar, A.“Etika Seksual dalam Pandangan Islam”, Prisma, 7 Juli 1991.

Christanty, L. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda”. Prisma No. 10, Oktober 1994.

Darmarastri, H.A. “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, Lembaran Sejarah, Volume 4, No. 2, 2002.

Darmarastri. H.A. 2006. Nyai Batavia, Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Faruk HT, dkk (ed.). 2000. Seks, Teks, Konteks; Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global. Bandung: Kelompok Belajar Nalar Jatinangor dan Unpa.

-------- “Seks dan Kebudayaan dalam Sastra”, Basis, 1983.

Ham, O.H. “Kekuasaan dan Seksualitas; Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, Prisma, 7 Juli 1991.

Haryanto, I. ”Perempuan-Perempuan Pemberontak”, Majalah Basis No 03-04, Tahun ke-54, Maret-April 2005.

Hellwig, T. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Scholten, E.L. 2002. The Nyai in Colonial Java: A Case of Supposed Mediation, yang terdapat dalam Sita van Bemmelen (ed.). Women and Mediation in Indonesia, Leiden: KITLV.

Sedyawati, E. “Peran Pria dan Wanita dalam Beberapa Cerita Daerah”. Prisma. 7 Juli 1997.

Soepangat, P. “Seksualitas dalam Budhisme”, Prisma, 7 Juli 1991.

Suryakusuma, Julia. “Kontruksi Sosial Seksualitas; sebuah Pengantar”. Prisma, 7 Juli 1991.

Suyono. C.R.P. 1995. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, Yogyakarta: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.

Toer, P. A. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

--------. 1980. Nyai Ontosoroh. Jakarta: Hasta Mitra.

Wieranata, “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Perempuan”, Basis, Tahun 1990.



[1] Julia I Suryakusuma, Kontruksi Sosial Seksualitas; sebuah Pengantar, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 3.

[2] Faruk HT, “Seks dan Kebudayaan dalam Sastra”, Basis, 1983, hlm. 455.

[3] Faruk HT, “Tubuh, Kebudayaan, dan Seksualitas” dalam Faruk HT, dkk (ed.), Seks, Teks, Konteks; Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global, (Bandung: Kelompok Belajar Nalar Jatinangor dan Unpa), hlm. 59.

[4] Djenar Maesa Ayu antara lain menyajikan karya menggigit bertajuk Mereka Bilang Saya Monyet; sementara Herliena Tiens mengusung karyanya dengan Garis Tepi Seorang Lesbian.

[5] Faruk HT, “Tubuh, Kebudayaan, dan Seksualitas” dalam Faruk HT, dkk (ed.), op.cit., hlm. 69.

[6] Lihat penjelasan antara lain: Ong Hok Ham, “Kekuasaan dan Seksualitas; Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 21-23; Edi Sedyawati, “Peran Pria dan Wanita dalam Beberapa Cerita Daerah”, Prisma, 7 Juli 1997; dan Parwati Soepangat, “Seksualitas dalam Budhisme”, Prisma, 7 Juli 1991.

[7] Keterangan lanjut lihat Ali Akbar, “Etika Seksual dalam Pandangan Islam”, Prisma, 7 Juli 1991, hlm. 55. Penjelasan lain yang tidak kalah menarik bisa disimak dalam ”Studi Sejarah Perempuan Islam; Bagaimana Kita Terlibat dalam Kekacauan Ini”, Jurnal Perempuan, Edisi 3 Mei/Juni 1997, hlm. 18-29.

[8] Sejauh ini, tulisan tentang sejarah Nyai dibagi dalam dua kategori: sejarah dan sastra. Untuk tulisan Nyai berbahasa Belanda, diantaranya tulisan Elisabeth Locher-Scholten, The Nyai in Colonial Java: A Case of Supposed Mediation, yang terdapat dalam Sita van Bemmelen (ed.), Women and Mediation in Indonesia, yang diterbitkan oleh KITLV, Leiden, 1988. Dia Menggambarkan konteks Nyai di Deli, Sumatera Timur masa Cultuur Stelsel. Beberapa terbitan jurnal Indonesia di antaranya: Onghokham, Kekuasaan dan Seksualitas (Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial), dalam Prisma No. 7, Juli 1991 dan Linda Christanty, Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda, dalam Prisma No. 10, Oktober 1994. Selain jurnal, dalam bentuk buku misalnya karya Capt. R.P. Suyono yang terbit tahun 2005 dengan judul Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, Penelusuran Kepustakaan Sejarah. Nyai ditulis dalam bab 2 berjudul Antara Nyai dan Perempuan Indo. Terakhir tahun 2007, muncul karya Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia. Adapun dalam bentuk karya sastra (novel), Pramoedya Ananta Toer menggambarkannya secara apik dalam Nyai Ontosoroh.

[9] Ong Hok Ham, ibid, hlm. 18. Nyai, sebuah istilah yang terkadang menimbulkan kontroversi karena cara pandang yang beragam. Semula, sebutan Nyai hanya diberikan kepada istri para santri, kemudian merambah bagi sebagian bangsawan. Sebutan Nyai mengandung makna penghormatan atas perempuan. Seiring perubahan kultur, sebutan Nyai mengalami pergesaran makna. Ini sejalan dengan kedatangan kaum kolonial mulai dari Portigis, hingga Belanda yang menggunakan sebutan Nyai untuk perempuan ‘piaraan’ yang berasal dari pribumi. Lihat, Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia, Grafindo Litera Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 68.

[10] Ibid.

[11] Keterangan lebih lanjut lihat Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, Lembaran Sejarah, Volume 4, No. 2, 2002.

[12] Julia I Suryakusuma, op.cit., hlm. 10.

[13] Ibid.

[14] Ong Hok Ham, op.cit.,hlm. 18.

[15] Wieranata, “Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Perempuan”, Basis, Tahun 1990, hlm. 260.

[16] Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 88.

[17] Keterangan lebih lanjut, lihat Ibid., hlm. 103.

[18] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Jakarta: Hasta Mitra, 1980), hlm. 80. Kutipan ini tidak diambil secara langsung, tetapi diambil dari tulisan Ignatius Haryanto, ”Perempuan-Perempuan Pemberontak”, Majalah Basis No 03-04, Tahun ke-54, Maret-April 2005.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Artikel Terbaru