Senin, 31 Oktober 2016

Api yang Tak Pernah Padam; Tiga Srikandi dalam Hidup Sukarno

A. Pengantar; Mengapa Sukarno selalu Butuh Perempuan?

Perikehidupan bakal tertanam, jika tali sekse antara laki-laki dan perempuan dapat tertanam. Tali sekse ini bukan semata biologis, tetapi juga jiwa.
(Sukarno)

Bagi Sukarno, kehadiran perempuan bukan semata teman di ranjang. Lebih dari itu: sosok yang membesarkan jiwa. Sebab itulah, Sukarno membenarkan penyataan Baba O’Illah bahwa laki-laki dan perempuan adalah bagai dua sayap seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya. Namun jika patah satu dari dua sayap itu, maka burung itu tak akan dapat terbang sama sekali.[1]

Sukarno mulai merasa pentingnya kehadiran perempuan, saat ia mengenal Sarinah. Meski nama ini sering dianggap hanya sosok imajiner, namun Sukarno mengatakan bahwa Sarinah memang nyata dalam hidupnya. Bahkan dialah, orang yang pertama kali mengajari arti cinta kepada orang-orang kecil. Jenis cinta inilah yang membuat Sukarno berani menggelorakan kata: ‘merdeka’. Sebab menurutnya, hanya kemerdekaan yang mampu membebaskan manusia dari penindasan.

Sepanjang mengimani kata ‘merdeka’, Sukarno selalu ‘dibayangi perempuan.’ Bahkan di puncak gelora jiwanya pada tahun dua puluhan. Sukarno saat itu tampil paripurna bersama janda cantik bernama Inggit Garnasih. Perempuan yang lima belas tahun lebih tua ini, nyatanya mampu menjadi api yang menyulut semangat perjuangan Sukarno. Bukan semata saat tertatih meraih gelar insinyur di THS. Lebih dari itu, bahkan kala merasakan sepinya penjara dan pembuangan.

Begitupun saat Sukarno rindu dipanggil: ayah. Fatmawati yang akrab dengan panggilan Fatma, memberinya seorang jagoan bernama Guntur. Tak lama kemudian, beruntun nama-nama yang sangat dicintai Sukarno: Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Kehidupan Sukarno dengan segala dinamikanya, tak bisa lepas dari perempuan. Nama-nama seperti: Haryati, Ratnasari Dewi, Hartini, Kartini Manopo, dan Heldy Djafar menghias hidupnya. Mereka adalah istri sah Sukarno dengan segala kekurangan dan kelebihannya. 

Sejarah mencatat Sukarno punya banyak istri. Ia diibaratkan don juan yang mahir bercinta. Sukarno tak bisa jauh dari perempuan. Bahkan ia sendiri mengatakan, “I’am a very physical man. I must have sex every day.” Sebab itulah Fatma mengatakan, “Rayuannya sangat mematikan.” Namun ironi tak dapat dihindari. Saat Sukarno menutup mata, hanya Inggit Garnasih yang datang secara khusus untuk berkirim doa. Sementara Fatma hanya mewakilkan karangan bunga bertulis kata: “Cintamu selalu menjiwai hati rakyat, cinta Fat.”

B. Sarinah; Penebar Cinta Pada Rakyat

Secara psikologis, Sukarno sebenarnya jauh dari ibunya, Idayu Nyoman Rai. Kedekatannya dengan perempuan, justru didapatkan dari Sarinah. Hal inilah yang menjadi misteri dalam sejarah. Bahwa hubungan Sukarno dengan sang ibu memang agak renggang. 

Kerenggangan itu menurut Sukarno, terjadi karena pengaruh sikap ayahnya yang cenderung sangat disiplin. Sikap ini lambat laun menempel dalam diri ibunya. Sukarno mengatakan bahwa kenangan pada ayahnya, menimbulkan rasa segan. Sedangkan jika mengingat ibunya, seolah terpatri gambaran seorang perempuan yang sepintas lemah lembut, tetapi menutup pergaulan. Pada akhirnya, Sukarno menjatuhkan keluh kesah kepada Sarinah. Sejak itulah, ia merasa Sarinah sangat berpengaruh dalam hidup. Seperti dikatakan dalam otobiografinya, “Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah perempuan yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang besar dalam hidupku.” [2]

Sukarno memang punya kekaguman tersendiri pada Sarinah. Rasa itu terbangun ketika perempuan ini mampu menjalani hidup sederhana dan tahan lara-lapa. Sarinah menurut Sukarno, rela melayani keluarganya tanpa gaji sepeserpun. Bahkan lebih dari itu, membawa Sukarno ke samudra kearifan. Sarinah mengajari arti cinta kasih. Bukan semata pada keluarga, tetapi orang banyak. Inilah yang Sarinah sebut sebagai rakyat jelata. Kepada Sukarno, Sarinah kerap berpesan, “Karno, yang pertama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi engkau juga harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”[3] 

Nama Sarinah, terpatri dalam diri Sukarno. Di tahun 1940-an, kala perjuangan kemerdekaan bergema lantang, Sukarno bahkan menyebut nama Sarinah sebagai perlambang perempuan revolusioner. Mereka adalah perempuan yang terbebas jiwanya dari penghambaan yang sempit terhadap laki-laki. Bahwa menurut Sukarno, laki-laki dan perempuan hendaknya saling bergandengan menjemput kemerdekaan. Sebab menurut nya, harmoni perjuangan hanya dapat tercapai kalau tidak ada satu “saf” di atas “saf” yang lain, tetapi dua “saf” itu sama derajat, berjajar yang satu di sebelah yang lain. Yang satu memperkuat kedudukan yang lain. Tetapi masing-masing menurut kodaratnya sendiri[4] . 

Sukarno mengabadikan nama Sarinah dalam buku bertajuk Sarinah; Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia. Secara khusus ia menuliskan “Saya namakan kitab ini “Sarinah” sebagai tanda terima kasih kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Ia mbok saya. Ia membantu ibu saya dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan kasih. Dari dia saya banyak mendapat pelajaran mencintai “orang kecil”. Dia sendiri orang kecil, tapi budinya sangat besar.”[5]

C. Inggit Garnasih; Sosok Ibu, Kekasih, dan Kawan

Inggit Garnasih bagi Sukarno bukan sekedar istri. Lebih dari itu, ia sosok ‘ibu’, kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan hidup Sukarno. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan dalam hidup Sukarno. Sebagai ‘ibu’, Inggit adalah muara kasih sayang. Ia perpaduan antara maternalitas dan feminitas. Inggit mampu menjadi tempat bersandar kala Sukarno dilanda kesulitan. Inggit juga menjadi tempat mencurahkan pikiran, saat Sukarno didera kegelisahan. 

Kesulitan dan kegelisahan itu bermula saat Sukarno berjuang menamatkan kuliah di THS. Kala itu, Sukarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang untuk menopang hingga Sukarno menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan berbunga-bunga Inggit mengatakan,“Aku merasa, aku bukan perempuan sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur sipil.”[6]

Pencapaian itu tak lantas membuat Inggit berhenti berjuang untuk Sukarno. Tahun 1929, kala Sukarno bersuara lantang melalui corong PNI, Inggit makin dihadapkan pada tantangan. Pada akhir desember di tahun yang sama, Sukarno ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Sukarno berpindah tempat, dari Bantjeuj hingga Sukamiskin. Kali ini Inggit harus berjuang sendiri. Ia mengubah diri bukan hanya sekedar istri, tetapi kekasih yang setia mendampingi Sukarno. Dengan beragam taktik, Inggit bahkan menembus penjara untuk mengirimkan pesanan Sukarno. Bukan sekedar makanan, tetapi juga buku-buku. Dari perjuangan inilah, lahir pidato melegenda berjudul Indonesia Menggugat.

Lepas dari penjara, tepatnya di tahun 1933, Sukarno kembali mengalami kesulitan. Ia menghadapi pembuangan ke Ende, Flores. Saat itulah, untuk pertama kalinya Sukarno meneteskan air mata. Inggit iba. Ia merasa remuk batinnya. Tak ada pilihan kecuali mendampingi Sukarno. Ia mengucap setia dalam suka dan duka. 

Selama lima tahun, Sukarno bersama Inggit hidup di Ende. Lima tahun kemudian, di tahun 1938, Sukarno dan Inggit pindah ke Bengkulu. Kala itu, Sukarno terserang malaria. Inggit tetap setia menjadi kawan bagi Sukarno. Bahkan ketika kesulitan makin mendera. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia. Sukarno akhirnya dipulangkan ke Jawa. Kala itu, Inggit tetap berada di samping Sukarno. Namun waktu mengubah segalanya. Cinta mereka retak seketika. Sebab Sukarno kembali jatuh cinta. Inggit menolak dimadu. Sebab baginya sangat tabu. Ia memilih sendiri daripada harus berbagi.

Inggit kembali ke Bandung. Sukarno melenggang ke Jakarta. Hingga pekik merdeka bergema. Sukarno membina hidup baru. Bersama Fatmawati, gadis yang telah dianggap anaknya. Namun dengan segala pengakuan, Sukarno tetap mengatakan bahwa Inggit adalah ratu dalam hatinya. Sejarah juga mengakui bahwa Sukarno tak akan segemilang itu, tanpa pendidikan jiwa dari perempuan yang selusin lebih tua umurnya. 

Hingga senja, Sukarno tetap menanam rasa cinta pada Inggit. Bahkan saat perempuan itu berbaring sakit, Sukarno datang mengunjungi. Kala itu Sukarno bertanya, “Sakit apa Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, “Biasa Ngkus, penyakit rakyat.”[7] Siapa sangka, pertemuan di tahun 1960 itu menjadi akhir perjumpaan. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Sukarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat Sukarno. Saat itu terdengar suara sayu, “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit di doakeun…”[8] Inggit tak sanggup melanjutkan kata-kata. Ia diam bersama air mata.

D. Fatmawati; Arti seorang Jagoan

Juli, 1943. Sukarno menikah dengan Fatmawati. Pernikahan itu berawal dari keyakinan, bahwa Fatma, demikian panggilan akrab Fatmawati, mampu menjadi jalan penerus keturuanan. Sebab harapan inilah, yang membuat Sukarno kerap merasa rendah diri. Kepada Fatma Sukarno mengatakan, “Engkau menjadi terang di mataku. Kau yang memungkinkan aku melanjutkan perjuangan yang maha dahsyat.”[9]

Setahun kemudian, Fatma hamil dan memberi Sukarno seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Guntur. Saat itulah, Sukarno merasa impiannya telah tergenggam. Terlebih secara beruntun, Fatma melahirkan anak-anak yang diberi nama: Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Kali ini, Sukarno merasa menjadi lelaki sejati. 

Bersama Fatma, Sukarno menapaki jalan baru sebagai manusia merdeka. Namun perjuangan belum selesai. Badai politik kembali menghempas Indonesia yang masih muda. Konflik luar-dalam kembali bergema. Tahun 1947, Belanda kembali menjerat Indonesia. Pada bulan April, serangan yang kemudian dinamai agresi militer pertama, dilancarkan. Suasana makin semrawut kala di bulan desember tahun 1948, Belanda kembali melancarkan perang. Peristiwa ini akrab dengan nama agresi militer kedua.

Sukarno kemudian diasingkan ke Yogyakarta. Kala itu, Fatma tetap membersamai. Dalam segala keletihan merawat anak-anaknya, ia tetap menjadi penguat jiwa bagi Sukarno. Fatma hadir sebagai sosok yang diimajinerkan oleh Sukarno. Ia setia mendampingi Sukarno dalam menggelorakan perjuangan. Namun di sisi lain, Fatma juga tunduk dalam kodratnya sebagai perempuan. Sebab kata Sukarno, sehebat apapun perempuan—dalam dunianya, dia tetaplah seorang yang punya dua dimensi: ibu dan istri. 

Selama sepuluh tahun, Fatma berjuang di samping Sukarno. Namun waktu kemudian memutus kebersamaan. Pada Januari 1953, selepas lahir anak kelima, Fatma nekat meninggalkan istana. Hatinya terluka karena Sukarno kembali jatuh cinta. Kala itu, Fatma berucap,“Dapatkah saudara bayangkan dengan perasaan halus, kuatkah perasaan seorang istri untuk mendengarkan permintaan seorang suami seperti yang saya alami? Jika tidak dibantu oleh Yang Maha Kuasa, tak mungkin aku tabah menerimanya.”[10] 

Fatma tetap sendiri. Bahkan hingga Sukarno meninggalkan bumi. Ia hanya berkirim karangan bunga di hari terakhir Sukarno. Namun Fatma tetaplah manusia yang punya sejuta kekaguman pada Sukarno. Ia mengatakan, “Mendampingi Sukarno, memberiku pengalaman beraneka rupa. Bagiku, dia tetaplah mahaputra tanah air Indonesia.”[11]

E. Penutup; Dia yang Tak Mungkin Sempurna

Sukarno, dengan segala kekurangan dan kelebihannya—tetaplah manusia pertama Indonesia yang berani menggemakan kata merdeka. Dia memang tidak sempurna. Sisi manusiawi tetap bersemayam dalam dirinya. Tentang cintanya yang penuh ironi dan bahkan tragedi. Atau bahkan suksesi yang menguras air mata. Namun Sukarno adalah manusia yang tahu diri. Ia sendiri pernah mengatakan, “Aku dipuja seperti dewa dan dikutuk seperti bandit.”

Pemujaan terhadap Sukarno, tumbuh dari kekaguman, baik fisik, pikir, maupun sikapnya yang menawan. Sukarno adalah satu-satunya presiden Indonesia yang meraih 26 gelar doktor honoris causa. Bukan hanya dari Asia, tetapi juga Eropa. Bahkan Amerika juga sempat bertekuk lutut padanya. 

Namun Sukarno tetaplah manusia. Ia tidak akan menjadi bintang tanpa cahaya yang gemilang. Cahaya itu salah satunya bersumber dari perempuan. Di masa kanak-kanak, Sukarno menyerap energi cinta dari Sarinah. Di masa dewasa, pada saat ia berada di titik yang paling nadir dalam perjuangan, Inggit Garnasih hadir sebagai penawar. Selama hampir duapuluh tahun, Inggit mendampingi masa-masa paling menentukan dalam hidup Sukarno. Meski Inggit harus berpisah haluan di akhir perjuangan, Sukarno tetap menempatkannya sebagai guru jiwa.

Begitupun saat Sukarno rindu dipanggil ayah. Fatma hadir sebagai pemberi jagoan. Sukarno tampil semakin percaya diri. Suka-duka sebagai presiden dilalui bersama Fatma. Namun lagi-lagi, Sukarno harus menelan luka. Keinginannya untuk mempersunting Hartini, membuat Fatma memilih pergi. Namun cinta tak lekang. Sukarno tetap menyerap energi cinta Fatma dari anak-anaknya. Mereka setia mendampingi Sukarno. Bahkan pada saat-saat yang paling menyakitkan di akhir hidupnya.

Sejarah memang tak akan kembali. Namun ia berulang, dalam bentuk dan cara berbeda. Sukarno adalah simbol sejarah Indonesia. Dalam gelap ataupun kala telah bercahaya. Namun dia tetaplah manusia biasa. Salah satunya, tak sanggup berjuang jika tanpa perempuan. Sarinah, Inggit Garnasih, dan Fatmawati adalah tiga srikandi. Mereka hadir tepat pada waktunya. Ketika Sukarno ingin tampil paripurna di masanya. 

Sumber

[1] Sukarno. (1963). Sarinah. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno.
[2] Adams, Cindy. Soekarno an Autobiography as Told to Cindy Adams. a.b. Major Abdul Bar Salim. (1966). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
[3] Ibid., hlm. 10.
[4] Sukarno. (1963). Ibid. hlm. 20.
[5] Ibid., hlm. 5-6.
[6] Ramadhan KH. Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. (Bandung: Kiblat Utama, 2002), hlm. 40.
[7] Reni Nuryanti. (2006). Perempuan dalam Hidup Sukarno; Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak. hlm. 340.
[8] Reni Nuryanti, dkk. (2007). Istri-Istri Sukarno. Yogyakarta: Ombak. hlm. 75.
[9] Reni Nuryanti. (2008). Tragedi Sukarno dari Kudeta Hingga Kematiannya. Yogyakarta: Ombak. hlm. 198.
[10] Arifin Suryo Nugroho. (2009). Fatmawati; First Lady. Yogyakarta: Ombak. hlm. 92.
[11] Reni Nuryanti, dkk. (2007). op.cit., hlm. 102
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Artikel Terbaru